Friday 31 January 2014

Penghilangan Paksa

Dimuat di Buletin We Prevent Crime Departemen Kriminologi Universitas Indonesia Edisi Oktober 2013 halaman 4-5

The Universal Declaration of Human Rights yang diprakarsai oleh Sidang Umum PBB pada 10 Desember 1948 bukan sekadar dokumen bagi masyarakat internasional. Deklarasi ini merupakan perwujudan dari tekat bangsa-bangsa di dunia untuk menjaga keadilan yang berperi kemanusiaan. Pasal 10 dari deklarasi tersebut menyataka bahwa setiap orang memiliki hak sepenuhnya untuk diadili oleh pengadilan yang tidak tunduk pada kekuasaan atau pengaruh apapun (independent) serta tidak memihak (impartial) guna menentukan apakah ia bersalah atas kejahatan yang didakwakan kepadanya. Pasal 11  ayat 1 menjunjung asas praduga tidak bersalah yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan bahwa ia melakukan kejahatan melalui mekanisme hukum dan pengadilan yang terbuka untuk umum serta kepadanya diberikan jaminan bahwa ia berhak untuk melakukan pembelaan diri.


Tiga tahun sebelum PBB mendeklarasikan hak-hak azasi manusia yang universal, para pendiri Bangsa (founding fathers)  telah meletakkan lima pilar filosofis yang menunjang berdirinya Bangsa Indonesia yang merdeka dalam konstitusi 1945 yang lebih kita kenal dengan Pancasila. Sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” menunjukkan bahwa salah satu tujuan utama bangsa ini adalah menjadi bangsa yang memanusiakan manusia dan menjalankan keadilan secara beradab.

Nilai-nilai keadilan yang berperikemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila dan deklarasi HAM PBB sebenarnya telah diejawantahkan dalam hukum acara pidana Indonesia. Seorang yang dinyatakan oleh penguasa sebagai musuh negara dan musuh masyarakat sekalipun harus dibuktikan kesalahannya didepan pengadilan yang terbuka untuk umum, diberikan hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang meringankan, memberikan keterangan secara bebas tanpa  adanya tekanan atau intimidasi, diberikan akses untuk menghubungi keluarganya, penasihat hukumnya, dokternya dan rohaniwan. Ia juga ditempatkan disuatu tempat yang jelas dimana badan-badan kemanusiaan dapat menemukannya dengan mudah.

 Dimasa lalu kasus-kasus penghilangan paksa oleh rezim berkuasa dilakukan terhadap lawan-lawan politik penguasa, para rohaniwan dan mereka yang menentang ketidak adilan sosial, mereka yang memilih untuk bersikap tidak mengikuti arus utama (mainstream), mereka yang menunjukkan warna yang berbeda tanpa melalui suatu proses peradilan.

 Penghilangan paksa bukanlah merupakan proses hukum namun lebih merupakan strategi politik machiavelian yang memaksakan kepatuhan atas dasar rasa takut. Kontrol absolut diberlakukan dan ruang untuk berbeda atau berwarna lain dipersempit atau dimatikan. Penghilangan paksa merupakan strategi meredam gerakan-gerakan individual berubah menjadi gerakan kelompok yang berpotensi untuk bertransformasi lagi menjadi gerakan massal. Akan sangat sulit bagi penguasa untuk meredam perlawanan massa namun  lebih mudah menghilangkan elemen-elemen yang dapat memberikan kontribusi pada gerakan massa.

 Sejarah Indonesia mencatat bahwa ketika hukum menjadi subordinat politik dan penegak hukum terkooptasi kedalam kekuatan-kekuatan politik maka penghilangan paksa menjadi jalan pintas atas nama stabilitas nasional. Tokoh-tokoh pergerakan sosial seperti Buruh Marsinah, wartawan Udin, penyair Wiji Thukul mendadak lenyap, dan tidak terhitung figur-figur politik yang juga hilang tak tentu rimbanya. Negara dijadikan negara polisi dimana polisi justru tidak berfungsi. Penghilangan paksa adalah simbolisasi kegagalan hukum menjadi penyeimbang antara kekuasaan dan kehendak rakyat.

Cara yang paling efektif untuk tidak mengulang pengalaman buruk dimasa lalu adalah jika kita menolak untuk lupa. Filsuf Spanyol George Santayana mengatakan “mereka yang tidak dapat mengingat masa lalunya akan dikutuk untuk mengulanginya kembali.” Kita tidak ingin kembali ke masa yang kelam. Harus ada elemen kontrol atas kekuasaan. Dimasa lalu elemen kontrol seperti hukum dan gerakan sosial dimandulkan. Pada saat itulah ditemukan kebenaran dalam perkataan Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.” Dimasa sekarang ekuilibrium antara kehendak kekuasaan dan kehendak masyarakat hendaknya ditegakkan melalui hukum yang adil dan beradab untuk menghindari Indonesia jatuh kedalam dua kutub yang ekstrim: Negara absolut atau negara anarkis.

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment