Dimuat di Buletin We Prevent Crime Departemen Kriminologi Universitas Indonesia Edisi Oktober 2013 halaman 4-5
Nilai-nilai keadilan yang berperikemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila dan deklarasi HAM PBB sebenarnya telah diejawantahkan dalam hukum acara pidana Indonesia. Seorang yang dinyatakan oleh penguasa sebagai musuh negara dan musuh masyarakat sekalipun harus dibuktikan kesalahannya didepan pengadilan yang terbuka untuk umum, diberikan hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang meringankan, memberikan keterangan secara bebas tanpa adanya tekanan atau intimidasi, diberikan akses untuk menghubungi keluarganya, penasihat hukumnya, dokternya dan rohaniwan. Ia juga ditempatkan disuatu tempat yang jelas dimana badan-badan kemanusiaan dapat menemukannya dengan mudah.
Dimasa lalu kasus-kasus
penghilangan paksa oleh rezim berkuasa dilakukan terhadap lawan-lawan politik
penguasa, para rohaniwan dan mereka yang menentang ketidak adilan sosial,
mereka yang memilih untuk bersikap tidak mengikuti arus utama (mainstream),
mereka yang menunjukkan warna yang berbeda tanpa melalui suatu proses
peradilan.
Penghilangan paksa
bukanlah merupakan proses hukum namun lebih merupakan strategi politik
machiavelian yang memaksakan kepatuhan atas dasar rasa takut. Kontrol absolut
diberlakukan dan ruang untuk berbeda atau berwarna lain dipersempit atau
dimatikan. Penghilangan paksa merupakan strategi meredam gerakan-gerakan
individual berubah menjadi gerakan kelompok yang berpotensi untuk
bertransformasi lagi menjadi gerakan massal. Akan sangat sulit bagi penguasa
untuk meredam perlawanan massa namun
lebih mudah menghilangkan elemen-elemen yang dapat memberikan kontribusi
pada gerakan massa.
Sejarah Indonesia mencatat
bahwa ketika hukum menjadi subordinat politik dan penegak hukum terkooptasi
kedalam kekuatan-kekuatan politik maka penghilangan paksa menjadi jalan pintas
atas nama stabilitas nasional. Tokoh-tokoh pergerakan sosial seperti Buruh
Marsinah, wartawan Udin, penyair Wiji Thukul mendadak lenyap, dan tidak
terhitung figur-figur politik yang juga hilang tak tentu rimbanya. Negara
dijadikan negara polisi dimana polisi justru tidak berfungsi. Penghilangan
paksa adalah simbolisasi kegagalan hukum menjadi penyeimbang antara kekuasaan
dan kehendak rakyat.
The Universal Declaration
of Human Rights yang diprakarsai oleh Sidang Umum PBB pada 10 Desember 1948
bukan sekadar dokumen bagi masyarakat internasional. Deklarasi ini merupakan
perwujudan dari tekat bangsa-bangsa di dunia untuk menjaga keadilan yang berperi
kemanusiaan. Pasal 10 dari deklarasi tersebut menyataka bahwa setiap orang
memiliki hak sepenuhnya untuk diadili oleh pengadilan yang tidak tunduk pada
kekuasaan atau pengaruh apapun (independent) serta tidak memihak (impartial)
guna menentukan apakah ia bersalah atas kejahatan yang didakwakan kepadanya. Pasal
11 ayat 1 menjunjung asas praduga tidak
bersalah yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang harus dianggap tidak
bersalah sampai dapat dibuktikan bahwa ia melakukan kejahatan melalui mekanisme
hukum dan pengadilan yang terbuka untuk umum serta kepadanya diberikan jaminan
bahwa ia berhak untuk melakukan pembelaan diri.
Tiga tahun sebelum PBB
mendeklarasikan hak-hak azasi manusia yang universal, para pendiri Bangsa
(founding fathers) telah meletakkan lima
pilar filosofis yang menunjang berdirinya Bangsa Indonesia yang merdeka dalam
konstitusi 1945 yang lebih kita kenal dengan Pancasila. Sila kedua “Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab” menunjukkan bahwa salah satu tujuan utama bangsa ini
adalah menjadi bangsa yang memanusiakan manusia dan menjalankan keadilan secara
beradab.
Nilai-nilai keadilan yang berperikemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila dan deklarasi HAM PBB sebenarnya telah diejawantahkan dalam hukum acara pidana Indonesia. Seorang yang dinyatakan oleh penguasa sebagai musuh negara dan musuh masyarakat sekalipun harus dibuktikan kesalahannya didepan pengadilan yang terbuka untuk umum, diberikan hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang meringankan, memberikan keterangan secara bebas tanpa adanya tekanan atau intimidasi, diberikan akses untuk menghubungi keluarganya, penasihat hukumnya, dokternya dan rohaniwan. Ia juga ditempatkan disuatu tempat yang jelas dimana badan-badan kemanusiaan dapat menemukannya dengan mudah.
Cara yang paling efektif
untuk tidak mengulang pengalaman buruk dimasa lalu adalah jika kita menolak
untuk lupa. Filsuf Spanyol George Santayana mengatakan “mereka yang tidak dapat
mengingat masa lalunya akan dikutuk untuk mengulanginya kembali.” Kita tidak
ingin kembali ke masa yang kelam. Harus ada elemen kontrol atas kekuasaan. Dimasa
lalu elemen kontrol seperti hukum dan gerakan sosial dimandulkan. Pada saat
itulah ditemukan kebenaran dalam perkataan Lord Acton “Power tends to corrupt
and absolute power corrupts absolutely.” Dimasa sekarang ekuilibrium antara kehendak
kekuasaan dan kehendak masyarakat hendaknya ditegakkan melalui hukum yang adil
dan beradab untuk menghindari Indonesia jatuh kedalam dua kutub yang ekstrim:
Negara absolut atau negara anarkis.
No comments:
Post a Comment