Friday 25 February 2011

Penegakan Hukum yang Berkeadilan






PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN

Antara Kenyataan dan Harapan



Oleh:
Ferdinand T. Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D[1]

PENDAHULUAN
Seorang Nenek Minah disidang di PN Purwokerto dengan dakwaan pencurian  3 (tiga) butir kakao dari kebun milik suatu perusahaan dan dijatuhi hukuman 1 bulan dan 15 hari penjara karena terbukti melanggar Pasal 362 KUHP. Seorang kakek Sardjo bin Raswad  di sidang di PN Sumber Cirebon dengan dakwaan pencurian 2 (dua) batang sabun dan setengah kilogram kacang hijau di sebuah minimarket dan dijatuhi hukuman 12 hari penjara karena terbukti melanggar Pasal 362 KUHP. Seorang petani Aspuri  di sidang di PN Serang dengan dakwaan pencurian sehelai kaus bekas dihalaman tetangganya dan dijatuhi hukuman 3 bulan dan 5 hari penjara karena terbukti melanggar Pasal 362 KUHP.

Hakim Muslih Luqmono dalam perkara Nenek Minah terlihat menangis saat membacakan putusan. Ia juga mengatakan, ”kasus ini kecil namun sudah melukai banyak orang.” Majelis memberikan hukuman percobaan selama 3 bulan, sehingga Nenek Minah tidak perlu mendekam di penjara. Hakim Sulasdiyanto dalam perkara Kakek Sardjo memberikan hukuman percobaan selama 12 hari sehingga, seperti Nenek Minah, Kakek Sardjo pun yang sempat mendekam 14 hari di tahanan penyidik tidak harus kembali ke penjara. Hakim Sabarudin dalam perkara petani Aspuri menjatuhkan hukuman yang persis sama dengan masa tahanan Aspuri sehingga ia bisa langsung bebas. Majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur pasal 362 KUHP namun karena nilai barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) maka rasa keadilan majelis membuat mereka menjatuhkan hukuman yang membuat Aspuri tidak perlu lebih lama lagi mendekam dibalik jeruji besi.
Ketika melalui berbagai media sebagian orang bersuara keras mengecam proses peradilan dan menuding hukum tidak berpihak kepada mereka yang lemah dan terpinggirkan sementara mereka yang mempunyai akses politik, finansial dan memiliki daya penekan terhadap penegak dan institusi hukum seolah menjadi “the untouchables”- tak tersentuh oleh hukum. Equality before the Law seolah hanya menjadi utopia, karena pada kenyatannya (das sein) “some people are more equal than the others before the Law.”  Apakah benar demikian?

Pada hakikatnya adakah keadilan dalam penegakan hukum pada perkara Nenek Minah, Kakek Raswad, Petani Aspuri dan banyak perkara lain yang serupa? Penyidik, Penuntut Umum hingga Hakim tidak salah dalam menerapkan hukum. Secara yuridis perbuatan ketiga pesakitan tersebut telah terbukti memenuhi unsur-unsur pidana yang dituduhkan penuntut umum dan mereka pun menjalani persidangan sesuai dengan prosedur hukum acara. Namun  masih ada suara yang berteriak meminta keadilan.  Apakah para penegak hukum itu tidak menegakkan hukum yang berkeadilan?

Hukum memang ditegakkan, prosedur beracara memang dipatuhi, namun peradilan yang dijalankan adalah peradilan yang bersifat mekanis, dimana aparat hanya terpaku pada segala aturan yang tertera pada kitab-kitab hukum baik itu kitab-kitab yang mengatur hukum materiil maupun yang mengatur hukum formil. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim lebih cenderung menggunakan pendekatan legalistik dalam penanganan perkara, pendekatan yang relatif paling menjamin kepastian hukum dan secara administratif paling aman bagi para penegak hukum karena mereka mengikuti standard operating procedure (SOP) hampir-hampir secara harafiah. Hal ini merupakan pilihan logis, karena bila pada suatu saat unit pengawasan internal pada instansi-instansi tersebut melakukan eksaminasi terhadap pelaksana hukum, para pelaksana hukum tersebut dapat berlindung di balik SOP.

Keadilan mekanis berdasarkan penegakan hukum yang prosedural inilah yang kemudian berbenturan dengan naluri keadilan publik. Disatu sisi sebagian masyarakat menyalahkan lembaga peradilan karena seolah-olah hanya bertaring terhadap mereka yang lemah namun disisi lain lembaga penegak hukum merasa tidak ada yang salah dengan metode penegakan hukum mereka karena sudah sesuai dengan textbook.

Tulisan ini beranjak dari hipotesis bahwa penegakan hukum melalui proses peradilan di Indonesia belum memberikan keadilan sosial. Hukum ditegakkan namun seringkali penegakannya dilakukan dengan cara-cara yang melawan hukum. Kalaupun hukum ditegakkan namun yang ditegakkan adalah hukum yang kosong karena roh dari hukum itu sendiri yaitu Keadilan tidak hadir disitu.

Tulisan ini dimulai dengan menunjukkan adanya ikatan yang tidak terpisahkan antara hukum dan keadilan, kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dalam penegakan hukum yang berdampak pada terhambatnya keadilan. Masalah-masalah ini berasal baik dari dalam lembaga  penegakan hukum itu sendiri maupun dari luar yang secara signifikan menjadi pemicu kehancuran hukum secara sistematis. Bagian terakhir tulisan ini mencoba menyumbangkan alternatif dalam mereposisi penegak hukum dan lembaga penegak hukum Indonesia untuk menghidupkan harapan kembalinya penegakan hukum yang berkeadilan.
PERSPEKTIF TENTANG KEADILAN DAN HUKUM[2]
Keadilan merupakan roh dan esensi dari hukum. Melayani keadilan adalah tujuan tertinggi dari penegakan hukum. Hukum tidak dapat dikerdilkan menjadi hanya sekadar  alat pengatur dan penjaga ketertiban masyarakat. Hukum itu sendiri adalah pengejawantahan dari keadilan atau dengan kata lain hukum adalah representasi nyata dari keadilan. Walaupun keadilan dan hukum adalah unsur yang berbeda mereka adalah satu dan tidak terpisahkan. Untuk dapat berfungsi dengan baik salah satu unsur tersebut memerlukan unsur lainnya, sama seperti jiwa dan raga. Keadilan bila berdiri sendiri adalah hal yang abstrak, yang hanya ada pada tataran ide yang bersifat normatif. Hukum lah yang memberikan daging, rangka dan darah pada keadilan sehingga keadilan tidak hanya dirasakan atau diperdebatkan tetapi juga dapat dilaksanakan.

Menurut Lawrence Friedman, seorang pakar hukum dari Amerika Serikat, masyarakat pada umumnya merujuk “keadilan” sebagai suatu rasa tentang sesuatu yang benar yang terkandung didalam nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.[3]  

Rasa keadilan itu bersifat universal. Walaupun tidak ada satu definisi yang disepakati mengenai apa itu “keadilan” namun tidak terdapat masyarakat dimana konsep keadilan sama sekali tidak dikenal. Didalam konteks Bangsa Indoesia,  rasa keadilan itu adalah adalah sebagaimana tercantum dalam dua sila pada Pancasila. Keadilan menurut nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia adalah keadilan yang beradab, yang artinya adalah keadilan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Sesuai dengan karakternya, maka keadilan  bagi Bangsa Indonesia adalah keadilan yang berorientasi kepada keadilan sosial, yang artinya rasa keadilan masyarakat seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.


PENEGAKAN HUKUM YANG MENGHAMBAT KEADILAN

Kalimat diatas seolah kontradiktif. Apakah mungkin hukum yang ditegakkan malah menghambat keadilan? Bila memperhatikan keadaan faktual penegakan hukum kita, maka tidak ada yang kontradiktif didalam kalimat tersebut. Kasus-kasus yang menjadi pembuka tulisan ini secara ringkas dan tepat menunjukkan bahwa hukum yang ditegakkan adalah hukum yang tanpa roh karena keadilan tidak ada didalamnya. Masalah timbul ketika perasaan keadilan ditekan untuk memberi jalan kepada ritual hukum.

Masalah kedua kedua adalah ketika para penegak hukum bermain aman dengan berlindung dibalik kitab undang-undang dan doktrin-doktrin akademis dan bukannya mengambil risiko seperti menjadi Don Quixote yang berdiri melawan kincir angin demi sebuah keyakinan akan yang haq dan yang bathil. Para penegak hukum memilih untuk bermain aman dan tidak lagi menjadi pengambil risiko. Jaksa Agung Soeprapto tahu apa akibatnya ketika ia menolak perintah Soekarno untuk tetap menahan Schmitt, seorang tentara Belanda. Soeprapto mengatakan bahwa secara hukum Schmitt harus bebas dan menahannya tanpa dasar hukum adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ia sebenarnya bisa menemukan justifikasi hukum bagi perintah sang presiden namun ia memilih menggunakan rasa keadilannya. Pada akhirnya ia kehilangan jabatannya. Jaksa Agung Gatot Taruna Mihardja tetap memerintahkan penyidikan atas penyelundupan mobil mewah dari Singapore melalui Pelabuhan Tanjung Priok yang dilakukan oleh perwira-perwira militer. Dimasa tahun 50-an secara de facto militer adalah penguasa. Atas perintah Jendral A.H. Nasution ia ditangkap. Atas campur tangan Soekarno Gatot dilepaskan, namun ia harus kehilangan jabatannya. Dua contoh diatas menunjukkan karakter sedikit penegak hukum. Mereka tidak bermain aman tetapi mengambil risiko. Mereka tidak memilih menjadi penegak hukum yang baik namun menjadi penegak hukum yang benar.

Masalah ketiga adalah ketika sistem peradilan terbelah menjadi dua. Dipermukaan para penegak hukum menegakkan keadilan yang normatif. Mereka bertindak seperti dewi keadilan yang menjalankan keadilan dengan mata tertutup. Pedang keadilan terhunus untuk siapa saja, tanpa memandang status sosial, koneksi politik, latar belakang ekonomi dan parameter-parameter lainnya. Namun mereka juga menciptakan dan memelihara dunia keadilan yang lain, yaitu “keadilan dibawah tanah” (underground justice) yang memiliki norma dan nilai-nilai sendiri. Didalam salah satu episode dalam cerita komik Superman, pengarangnya menceritakan bahwa ada satu dunia yang persis sama dengan dunia yang didiami Superman, namun yang terjadi disana adalah kebalikannya. Para penghuni dunia itu disebut bizarro. Dunia itu juga memiliki Superman, namanya Superman Bizarro.

Cerita ini mirip dengan situasi peradilan kita. Didalam prakteknya, justru keadilan bawah tanah yang lebih dominan. Dalam versi keadilan bawah tanah ini peradilan telah berubah identitas menjadi pasar. Inilah yang kemudian menimbulkan Pasar Gelap Keadilan (Black Market of Justice). Sebagaimana pasar pada umumnya, di pasar ini ada penjual dan pembeli serta ada komoditi yang diperjual belikan. Para penegak hukum dan para perantaranya berperan sebagai penjual, sementara mereka yang terjerat masalah hukum dan juga perantaranya berperan sebagai pembelinya. Yang diperjual belikan tidak lain adalah hukum itu sendiri. Transaksi yang terjadi tidak selalu bersifat ekonomis, walaupun mayoritasnya memang begitu. Transaksi juga bisa merupakan media barter kepentingan. Penegak hukum memiliki kepentingan dengan pelanggar hukum dan pelanggar hukum memiliki kepentingan agar ia dilepaskan dari jerat hukum atau paling tidak mendapat keringanan yang seringan-ringannya.

Masalah keempat adalah kemauan politik (political will). Hukum yang berkeadilan tidak dapat ditegakkan tanpa adanya kemauan politik. Suka atau tidak suka hukum adalah produk politis, dan penegakannya sedikit banyak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konstelasi politik. Walaupun lembaga kehakiman dan advokat relatif lebih independen, tidak demikian  halnya dengan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian. Pimpinan Kejaksaan dan Kepolisian adalah pilihan politik dari presiden (political appointee), sehingga sudah merupakan keniscayaan bila kepentingan-kepentingan politis selalu mewarnai pemilihan kedua pimpinan lembaga tersebut. Hal ini memperkuat posisi konstitusional Kejaksaan dan Kepolisian yang walaupun menjalankan fungsi yudisial karena bagian dari sistem peradilan, namun secara struktural berada dibawah komando eksekutif (presiden). Tekanan politik adalah salah satu cara yang dipakai oleh mereka yang memiliki akses politik untuk merubah jalannya suatu proses peradilan. Sehingga dalam banyak hal keadilan tergeser oleh kepentingan.

Masalah kelima adalah integritas para penegak hukum. Ketika pekerjaan bukan lagi menjadi kebanggaan, ketika wewenang tidak lagi dipakai untuk mempertahankan jalan lurus, ketika jabatan bukan lagi amanah dan tanggung jawab maka korban pertama dari penegakan hukum adalah keadilan itu sendiri, dan yang merasakan akibatnya adalah mereka yang secara hukum termarginalisasi dan mereka yang tidak mampu mempertahankan diri mereka sendiri. Ketika semua tingkatan dalam proses penegakan hukum bermutasi sifatnya menjadi transaksional, ketika itulah hukum kehilangan rohnya – keadilan. Ideologi yang populer bagi penegak hukum adalah ideologi sukses. Bagi para penasihat hukum, sukses berarti memenangkan mendapatkan klien yang mendatangkan keuntungan. Bagi Jaksa, Polisi dan Hakim bagaimana caranya mendapat keuntungan dari pekerjaannya, baik keuntungan finansial, keuntungan politis, keuntungan sosial dan keuntungan-keuntungan lainnya. Penegak hukum seperti Kapolri Hugeng atau Jaksa Agung Baharuddin Lopa atau Hakim Bismar Siregar menjadi tokoh-tokoh yang langka. Mereka tidak menganut teologi sukses, karena menegakkan keadilan tidak selalu berbanding lurus dengan sukses.

Masalah keenam adalah ego sektoral. Sistem peradilan kita yang seharusnya berpola sistem peradilan terpadu (integrated justice system) dalam kenyataannya dijalankan secara parsial. Masing-masing lembaga masuk kedalam kotaknya masing-masing dan mengusung agendanya sendiri-sendiri. Kita tidak berusaha melihat suatu peradilan didalam gambaran yang utuh. Masing-masing lembaga memberikan perspektifnya sendiri-sendiri dan bertahan terhadap perspektif tersebut adalah harga mati, karena dibalik perspektif tersebut ada kepentingan yang harus dipertahankan.


MASIH ADAKAH HARAPAN?
Ada dua orang didalam penjara sedang memandang keluar jeruji besi pada suatu malam yang terang setelah badai selesai. Yang satu melihat lumpur dan yang lain melihat bintang. Ada atau tidak ada harapan pada pembangunan hukum di Indonesia terletak dari sudut pandang mana kita melihatnya. Bagi yang pesimistis, maka masa depan hukum kita adalah suram dan dingin. Bagi yang optimistis masa depan hukum kita adalah terang walaupun untuk mencapainya kita harus bekerja keras.

Harapan akan hukum kita selalu ada. Pengadilan dan Peradilan dapat diperbaiki. Pertama, semua kita harus JUJUR untuk mendiagnosis apa yang salah dengan sistem kita. Kedua, kita harus bekerja bersama-sama untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diidentifikasi tadi. Ketiga harus ada dukungan penuh dan tulus kepada penegak hukum dan penegakan hukum kita, baik itu dukungan politis, ekonomis, sosial dan semua jenis dukungan. Keempat mekanisme rekruitmen, penjenjangan karier, penempatan para penegak hukum harus dirombak total sehingga menciptakan penegak hukum yang memiliki integritas dan bermartabat dan kebanggaan.

Kata Akhir: Masih ada harapan, tapi kita harus bekerja keras, SEKARANG!

End/











[1] Analis, Penyidik dan Penuntut Umum pada Satuan Khusus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan Agung RI; Pengajar pada Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok dan pada Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang; Instruktur pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Ragunan, Jakarta Selatan. Materi ini merupakan bahan yang dipersiapakn untuk Symposium Berjudul “Masih adakah Harapan pada Pembangunan Hukum di Indonesia?” yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar Universitas Indonesia pada Selasa 22 Februari 2011 bertempat di The Financial Hall Graha Niaga Lt.II, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Selatan.
[2] Tulisan ini merupakan bagian dari Disertasi Doktoral Penulis pada Law School, the University of Auckland, New Zealand, yang berjudul “The Prosecutorial Corruption during the New Order Regime, Case Study: The Prosecution Service of the Republic of Indonesia.”
[3] Friedman, Lawrence, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York, hal. 17.

Penyidikan Kejaksaan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang


UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 DARI PERSPEKTIF PENYIDIKAN
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

oleh:
FERDINAND T. ANDI LOLO, SH, LL.M, Ph.D[1]


PENDAHULUAN
Pada 22 Oktober 2010 telah disahkan dan diberlakukan Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003. Undang-undang ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan penegakan hukum dan menyesuaikan praktek-praktek pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang nasional dengan praktek-praktek yang berlaku sesuai dengan standar internasional.

          Pemerintah mengkategorikan tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu tindak pidana yang sangat serius karena jika dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, efektif dan efisien, praktek-praktek pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan tetapi juga, dalam konteks yang lebih luas, membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
          Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein dengan tepat menganalogikan pertarungan antara aparat penegak hukum dengan para pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai pertarungan sepakbola dilapangan hijau. Dengan diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang yang baru, pemerintah sebagai “pelatih” menerapkan strategi yang lebih agresif. Jika dahulu striker (penyerang) hanya dibebankan kepada POLRI maka sekarang, sang “pelatih” memasukkan lebih banyak striker lagi. Setiap penyidik pada tindak pidana asal (predicate crime), dengan undang-undang ini, memiliki kewenangan menjadi  penyidik tindak pidana turutannya, yaitu pencucian uang. Striker POLRI akan bekerja bahu membahu dengan striker-striker lain seperti Kejaksaan, KPK, dan Para Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi-instansi terkait.
Dengan demikian kekuatan penyerangan aparat penegak hukum (yang diibaratkan oleh Yunus Husein sebagai striker-striker dalam penanganan tindak pidana pencucian uang) akan semakin bertambah sehingga diharapkan dapat lebih banyak menekan “gawang” para pencuci uang dan menghasilkan lebih banyak “gol” lagi (atau lebih banyak lagi success story tentang penanggulangan tindak pidana pencucian uang).
          Pemberlakukan undang-undang ini, terutama dalam hal memperbanyak “striker,” akan membawa beberapa perubahan pada instansi-instansi yang menangani tindak pidana asal dari pencucian uang, dimana Kejaksaan RI merupakan salah satunya. Konsekuensi logis dari penambahan wewenang penyidikan Kejaksaan (selain penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat) adalah peningkatan kapasitas dan kapabilitas personil penyidik Kejaksaan serta pengadaan sarana-sarana tambahan yang mendukung teknis operasional para jaksa dalam menjalankan fungsi barunya ini.
          Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya pengenalan oleh Kejaksaan atas suatu “dunia yang relatif baru” yang dibawa oleh undang-undang pencucian uang. Selama ini jaksa hanya berkecimpung dalam tataran penuntutan dan eksekusi untuk perkara-perkara terkait  pencucian uang, dan belum pernah sebelumnya bertindak sebagai penyidik. Dalam tulisan ini akan diobservasi wewenang penyidikan jaksa, sekaligus juga dianalisis faktor-faktor atau hal-hal yang mungkin menjadi penghambat (batu sandungan) bagi jaksa dalam menjalankan wewenangnya tersebut. Dibagian berikutnya dari tulisan ini akan didiskusikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau paling tidak meminimalisir tantangan dan hambatan yang mungkin akan ada dalam pelaksanaan tugas jaksa penyidik.

WEWENANG KEJAKSAAN PRA DAN PASCA UU No.8 TAHUN 2010
Sebelum diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang, Kejaksaan menjalankan fungsi penyidikan didua bidang, yaitu korupsi (bersama-sama dengan POLRI dan KPK) dan dibidang pelanggaran hak asasi manusia yang berat (sebagai satu-satunya penyidik). Sekarang, bertambah satu lagi wewenang jaksa yaitu penyidikan tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asalnya (yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi) disidik oleh Kejaksaan. Bagian ini akan membahas wewenang penyidikan Kejaksaan sebelum dan sesudah diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang.

Wewenang Penyidikan pra UU No.8 tahun 2010
Hukum Pidana formil yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No.8 tahun 1981 atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana[2] membatasi pejabat yang dapat melakukan penyidikan yaitu Pejabat Polisi Negara RI dan pejabat Pegawai negeri sipil di instansi tertentu yang menjalankan fungsi penyidikan.[3]

Pejabat Kejaksaan tidak termasuk kedalam salah satu dari dua kategori tersebut, karena Jaksa bukanlah polisi dan Jaksa juga bukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Namun, Undang-undang ini tidak secara limitatif memberikan kewenangan kepada kedua pejabat tersebut diatas. Pada bagian lain, yaitu pada ketentuan peralihan, KUHAP masih memberikan wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyidikan[4] tindak pidana tertentu[5], walaupun wewenang ini hanya bersifat sementara saja, karena akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.[6]

Memang beberapa tahun setelah diberlakukannya KUHAP, Jaksa tidak lagi memiliki wewenang penyidikan dalam tindak pidana ekonomi. Wewenang tersebut dilaksanakan oleh Penyidik POLRI atau PPNS terkait, namun wewenang penyidikan atas tindak pidana korupsi masih tetap dimiliki oleh Jaksa, disamping Penyidik POLRI dan Penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[7]

Selain tindak pidana korupsi, masih ada lagi kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Jaksa, yaitu kewenangan penyidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi manusia memberikan wewenang kepada Jaksa Agung secara ex officio untuk melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran hak azasi manusia yang berat.[8] 

Undang-undang tentang Kejaksaan RI menentukan bahwa Jaksa Agung (person-nya atau orangnya) adalah pemimpin dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang institusi Kejaksaan.[9] Selanjutnya, Kejaksaan (institusi atau lembaganya) menurut undang-undang ini adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka dalam dua bidang, yaitu bidang penuntutan dan dibidang  lain dimana Kejaksaan diberikan wewenang untuk itu.[10] Bidang lain yang dimaksud disini adalah bidang diluar penuntutan (pidana umum dan pidana khusus), seperti penyidikan untuk tindak pidana tertentu (sebagaimana telah dijelaskan diatas), bidang perdata dan tata usaha negara dan bidang ketertiban dan ketentraman umum.[11]

Walaupun undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia hanya mengatur bahwa penyidikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung, tidak bisa diartikan secara harafiah hanya Jaksa Agung melakukan penyidikan dalam konteks ini. Prinsip yang berlaku di lembaga Kejaksaan dan diadopsi oleh undang-undang kejaksaan adalah “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.”[12] Hal ini menunjukkan bahwa secara fungsi dan wewenang, jaksa adalah satu. Setiap jaksa adalah personifikasi atau representasi dari jaksa agung, sehingga tindakan yang dilakukan seorang jaksa pada dasarnya adalah tindakan jaksa agung sendiri, walaupun nantinya tindakan tersebut harus dipertanggung jawabkan secara hierarkis oleh jaksa yang bersangkutan kepada atasannnya dan seterusnya hingga ke pemimpin tertinggi, jaksa agung.[13]

Berdasarkan prinsip dan prosedur pertanggung jawaban ini [yang diatur dalam undang-undang kejaksaan] maka wewenang penyidikan yang melekat kepada jaksa agung dalam penyidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat [yang diatur dalam undang-undang pengadilan hak asasi manusia] dapat didelegasikan kepada jaksa-jaksa dibawahnya.


Wewenang Penyidikan pasca UU No.8 tahun 2010
          Salah satu tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang didalam undang-undang tersebut adalah korupsi.[14] Selanjutnya, undang-undang ini, pada Pasal 74, mengatur bahwa Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
         
          Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Kejaksaan adalah salah satu lembaga yang berwenang melakukan penyidikan atas tindak pidana korupsi. Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka kewenangan penyidikan Kejaksaan bertambah satu lagi. Bila dalam penyidikan tindak pidana korupsi tersebut terdapat juga dugaan terjadi tindak pidana pencucian uang yang merupakan hasil dari korupsi maka Kejaksaan kini berwenang untuk menindak lanjutinya dengan penyidikan, tanpa perlu menyerahkan berkasnya kepada POLRI.

Dengan bertambahnya kewenangan ini maka bertambah juga tanggung jawab Kejaksaan. Sebelumnya domain Kejaksaan dimulai dari tahap pra penuntutan, yang meneliti / mempelajari berkas perkara pencucian uang yang disidik oleh POLRI serta memberi petunjuk untuk kelengkapan berkas. Namun sekarang, domain tersebut diperluas. Bukan lagi mulai dari tahap pra penuntutan tapi sudah dimulai lebih awal lagi, yaitu tahap penyidikan.

Sebagaimana dua sisi mata uang. Selain manfaatnya, terdapat juga tantangan / hambatan bagi Kejaksaan dalam mengemban fungsinya yang baru ini. Hal-hal tersebut sebagaimana akan diuraikan lebih jauh pada bagian tulisan dibawah ini.


Manfaat Penambahan “Striker
Undang-undang yang baru, khususnya pasal 74 ini, telah memperluas lingkup penyidikan yang pada undang-undang sebelumnya hanya terbatas pada domain POLRI. Berdasarkan undang-undang yang baru ini siapapun instansi penyidik tindak pidana asal[15] berwenang pula menyidik tindak pidana turutannya.

Pasal ini merupakan salah satu dari beberapa terobosan baru yang dimuat oleh undang ini. Banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan adanya pasal ini. Pertama: penanganan perkara menjadi lebih ekfektif dan efisien, karena tindak pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana turutannya (yaitu pencucian uang) ditangani secara terintegrasi ditangan satu instansi penyidik. Bandingkan dengan sebelumnya dimana kedua tindak pidana tersebut ditangani oleh dua instansi yang berbeda dengan sistem birokrasi penanganan perkara yang berbeda. Sistem penanganan yang terdahulu jelas tidak mengacu kepada prinsip peradilan pidana kita yang [seharusnya] cepat dan murah (speedy and inexpensive criminal justice system).

          Kedua: Mengingat begitu kompleksnya masyarakat Indonesia ditambah populasinya yang sangat besar (sekitar 230 juta jiwa), maka merupakan pilihan yang strategis jika pembuat undang-undang menambah daya serang aparat penegak hukum dengan mengikut sertakan lembaga-lembaga penyidikan lain, selain POLRI, untuk bersama-sama “mengeroyok” pelaku tindak pidana pencucian uang. Ibarat jaring penangkap ikan, pemerintah dengan undang-undang ini lebih “merapatkan jaring” dengan menambahkan instansi-instansi lain, seperti Kejaksaan, sehingga “ikan” akan lebih sulit lolos. Terlalu berat tanggung jawab POLRI bila instansi tersebut sendiri yang harus menangani tindak pidana yang skala dan intensitasnya semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Ketiga: Diharapkan akan terjadi duplikasi bahkan multiplikasi sumber daya – sumber daya manusia yang handal dalam menangani tindak pidana pencucian uang. Pada mulanya adalah penyidik-penyidik POLRI yang menjadi pionir dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang, karena undang-undang yang terdahulu mengamanatkan demikian. Kapabilitas dan kapasitas penyidik POLRI tentunya dapat dipelajari dan jika mungkin dikembangkan (benchmarking) oleh penyidik dari intansi-instansi lain, termasuk Kejaksaan yang relatif masih “hijau” dalam penyidikan jenis ini. Dengan terciptanya penyidik-penyidik handal di berbagai instansi penyidikan yang relevan, maka Pemerintah dan Negara Indonesia akan memiliki lebih banyak “striker” dan peluang untuk terjadinya “lebih banyak gol ke gawang lawan” akan menjadi lebih besar secara signifikan.

Keempat: Dengan tersebarnya penyidik tindak pidana pencucian uang diberbagai instansi maka masing-masing instansi akan memperoleh dan membagikan keuntungan kepada instansi  rekannya (counterpartnya). Misalnya kegagalan dan keberhasilan instansi A dapat dibagikan kepada instansi B dan instansi-instansi lain sehingga intansi-instansi tersebut tidak mengulangi kegagalan instansi A dan dapat menjadikan keberhasilan instansi A sebagai model atau bahkan lebih meningkatkannya dengan menyesuaikan dinamika situasi dan kondisi setempat.   

Tantangan dan / atau Hambatan
          Fungsi penyidikan tindak pidana pencucian uang adalah fungsi yang baru bagi Kejaksaan. Saat ini masih belum ada sosialisasi internal Kejaksaan mengenai implementasi undang-undang ini dan implikasinya bagi pelaksanaan tugas jaksa. Tantangan dan mungkin juga hambatan riel saat ini adalah belum siapnya sumber daya manusia Kejaksaan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menangani perkara-perkara pencucian uang.

Untuk menangani tindak pidana asalnya (korupsi) Kejaksaan tidak memiliki masalah karena pengalaman bertahun-tahun ditambah lagi dengan dukungan struktur dan pelatihan yang secara reguler diadakan telah mampu menciptakan penyidik-penyidik tindak pidana korupsi yang handal. Namun untuk penanganan tindak pidana pencucian uang, ceritanya bisa berbeda. Pencucian uang (Money Laundering) dalam beberapa tahun terakhir sudah dimasukkan dalam kurikulum Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, terutama dalam pelatihan dan pembentukan calon-calon jaksa. Namun modul-modul yang diberikan masih berada dalam tataran pengenalan umum. Tidak seperti tindak pidana korupsi yang bukan hanya membekali calon-calon jaksa dengan dasar-dasar teoritis namun juga melatih mereka dengan simulasi-simulasi seperti  latihan penanganan korupsi dari tingkat penyelidikan dan penyidikan hingga tingkat penuntutan (dalam bentuk simulasi peradilan semu atau moot court), dan dilengkapi juga dengan praktek kerja lapangan ke kejaksaan-kejaksaan negeri yang merupakan unit kerja kejaksaan yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.
Karena begitu intensnya pendidikan dan pelatihan mengenai penanganan tindak pidana korupsi (dengan  begitu banyak jam pelajaran yang digunakan baik teori, praktek maupun penulisan kertas kerja) maka secara legal yuridis dan psikologis jaksa-jaksa yang baru menyelesaikan pendidikannya akan lebih siap menangani tindak pidana korupsi dibanding tindak pidana pencucian uang.

          Dalam dunia kerja jaksa, tantangan dan / hambatan yang serupa juga terjadi. Sudah ada standard operating procedure (SOP) yang baku dan seragam dalam  penanganan tindak pidana korupsi bagi jaksa-jaksa yang bertugas di seluruh wilayah Indonesia. Disamping itu, jaksa-jaksa yunior bisa menjadikan jaksa-jaksa senior sebagai tempat bertanya dan menimba ilmu, karena jam terbang mereka yang sudah tinggi dalam menangani berbagai jenis tindak pidana korupsi. Tidak demikian halnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Dalam konteks penyidikan, tidak ada senioritas karena semua jaksa, dengan perkecualian bagi mereka yang diperbantukan di PPATK, jam terbangnya masih rendah dalam hal penanganan tindak pidana pencucian uang ditingkat penyidikan. Belum ada SOP dan tidak ada tempat bertanya.

          Selain  kapasitas dan kapasitas sumber daya manusia Kejaksaan yang masih terbatas, tantangan dan / hambatan yang lain adalah masalah teknis yuridis penyidikan. Undang-undang yang baru ini sebagian besar mengacu kepada KUHAP dalam melakukan acara penyidikan tindak pidana pencucian uang, padahal dari segi hakekat KUHAP berbeda dengan hakekat undang-undang anti pencucian uang. KUHAP pada hakekatnya adalah serangkaian peraturan yang lebih menitik beratkan pada penanganan tindak pidana umum, sementara pencucian uang dengan ciri-ciri khasnya lebih tepat  bila digolongkan kedalam tindak pidana yang khusus. Yang menjadikan penyidikan lebih rumit adalah bagaimana melakukan penanganan tindak pidana pencucian uang yang pada hakekatnya bersifat khusus dengan berpedoman pada aturan-aturan yang pada hakekatnya mengatur tindak pidana yang bersifat umum?

          Kita ambil satu contoh, yaitu teknis penyitaan. KUHAP menganut asas in Persona, yaitu yang dianggap jahat adalah orangnya (pelakunya atau personnya). Sedangkan dalam tindak pidana pencucian uang, penyitaan akan lebih efektif dilakukan bila memakai asas In rem, yaitu yang dianggap jahat adalah barangnya. Bila mengacu kepada KUHAP maka banyak hasil dari transaksi keuangan yang mencurigakan tidak dapat disita. KUHAP membatasi upaya penyidikan hanya kepada benda-benda atau tagihan yang dikaitkan dengan tersangka dan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka (vide Pasal 39 KUHAP). Para tersangka tindak pidana pencucian uang pada umumnya adalah pelaku-pelaku yang memiliki intelegensi tinggi, mempunyai akses politik, hukum dan keuangan dan dibantu dengan orang-orang yang ahli dibidangnya. Mereka akan selalu berupaya memutuskan rantai yang dapat mengkaitkan mereka dengan hasil tindak pidana dan dengan tindak pidananya. Berbagai cara dapat dilakukan seperti menyamarkan aset dengan menggunakan nama atau bantuan pihak lain, memecahkan kemudian mereingtegrasi aset, dan masih banyak lagi.

Bila menggunakan prinsip In persona yang masih konvensional seperti yang diatur dalam KUHAP maka akan susah menyita aset-aset tersebut. Amerika Serikat dan beberapa negara lain telah sukses menyita aset-aset yang berada didalam wilayah abu-abu (grey area) sebagai hasil dari upaya pengaburan identitas (aset-aset tersebut), misalnya aset-aset dari kejahatan terorganisir (narkoba atau terorisme) dan korupsi. Metode yang mereka pakai bukan lagi metode In Persona, karena tidak ada label nama pelaku pada aset-aset abu-abu tersebut. Mereka menggunakan metode yang lain yaitu metode in rem. Secara singkat cara kerjanya adalah sebagai berikut: Pihak berwenang akan menyita aset-aset yang dicurigai walaupun tanpa didahului oleh suatu tindakan penyidikan. Pihak berwenang tidak mencari siapa yang memiliki aset-aset ini, karena yang dianggap bermasalah adalah aset-aset itu sendiri, sehingga harus disita. Bila ada pihak yang berani mengklaim bahwa aset-aset itu adalah miliknya dan didapat secara legal dan dapat membuktikannya melalui jalur hukum (pengadilan) maka pihak berwenang akan melepaskan aset-aset yang mereka sita. Namun bila tidak, atau tidak ada yang mengklaim, maka aset-aset tersebut menjadi milik negara. Dengan mengajukan klaim, tentu pihak terkait menyadari risiko bahwa ada kemungkinan ia akan disidik bila ternyata dikemudian hari klaimnya tidak memiliki dasar hukum. Inilah yang menghambat pelaku pencucian uang (seperti kartel, organisasi-organisasi teroris atau pelaku korupsi) untuk menyembunyikan hartanya dengan aman
         
Contoh lainnya adalah  teknis pemblokiran. Pada Pasal 71 ayat (1) huruf a undang-undang memberi wewenang kepada Penyidik (berarti Kejaksaan juga memiliki wewenang) untuk melakukan  pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diketahui merupakan hasil tindak pidana dari setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK. Sebagaimana dilembaga penyidikan lainnya, ada 2 fase dalam proses penyidikan, yaitu fase penyidikan awal (preliminary investigation) atau yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyelidikan” dan fase penyidikan lanjutan (investigation) yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyidikan.” Pada fase penyelidikan, unit penyidikan suatu instansi hanya berfungsi untuk mengumpulkan data dan keterangan (data and information gathering/collection) untuk memetakan persangkaan atau dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana, mengumpulkan minimal dua alat bukti yang saling berkaitan dan mendukung persangkaan atau dugaan telah terjadinya tindak pidana dan mengidentifikasi pelakunya.

Di fase ini, unit penyidikan hanya memiliki wewenang yang sangat terbatas. Pengumpulan data dan keterangan hanya dapat dilakukan dari pihak-pihak yang dimintai keterangan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan secara sukarela (voluntary consent) dari yang bersangkutan. Wewenang yang sangat sempit ini karena dibatasi oleh KUHAP yang mengadopsi prinsip asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sejalan dengan kaidah-kaidah perlindungan hak asasi manusia, termasuk juga kepada mereka yang berpotensi menjadi tersangka.

Upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan atau pemblokiran belum dapat dilakukan pada fase kedua yaitu fase penyidikan. Masalah yang kemudian timbul adalah pada laporan PPATK. Dari penjelasan umum undang-undang ini dapat diketahui bahwa pada hakekatnya PPATK adalah unit intelijen dibidang keuangan (financial intelligence unit). Sebagai unit intelijen, produk yang dihasilkannya, termasuk juga laporan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan yang disampaikan ke penyidik, adalah berupa produk Intelijen. Penyidik-penyidik pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tidak dapat menggunakan data intelijen sebagai dasar yuridis untuk memulai suatu  penyidikan. Yang dapat dilakukan adalah mengolah data tersebut melalui proses penyelidikan (fase pertama). Bila elemen-elemen pembuktiannya memenuhi syarat yang ditetapkan oleh KUHAP, barulah dapat ditingkatkan ke penyidikan, dimana penyidik dapat melakukan upaya paksa seperti pemblokiran.

Secara teknis yuridis, produk PPATK bukan produk hukum oleh karena itu Kejaksaan tidak dapat serta merta melakukan upaya paksa hukum berdasarkan produk non yuridis (bukan pro justitia). Selain itu untuk melakukan tindakan hukum, terutama upaya paksa, instansi penyidik harus berdasarkan pada analisis yuridis sementara melakukan analisis yuridis tidak berada didalam domain fungsi PPATK. Analisis yang dilaporkan PPATK adalah analisis keuangan (finansial) yang berpotensi mempunyai implikasi tindak pidana tetapi bukan analisis yuridis.


KESIMPULAN DAN SARAN
Implementasi dilapangan dapat dipastikan tidak semudah yang dijabarkan dalam aturan-aturan tertulis, seperti undang-undang ini. Akan ada banyak kegamangan, kebingungan dan bahkan mungkin ketakutan akan suatu hal yang “baru dan belum bersifat pasti” terkait dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang jaksa yang baru ini. Diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang yang baru membawa negara dan pemerintah Indonesia selangkah lebih maju lagi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana yang serius ini. Namun Kemajuan legislasi kita harus juga diimbangi dengan kesiapan aparat hukum yang akan melaksanakannya dilapangan.
Kejaksaan berada didalam masa transisi dalam konteks implementasi fungsi barunya sebagai penyidik tindak pidana pencucian uang (yang terkait dengan tindak pidana asal yaitu korupsi). Untuk dapat melalui masa ini dengan baik, Kejaksaan mau tidak mau harus bekerjasama dan berkoordinasi dengan PPATK dan lembaga-lembaga lain, terutama POLRI yang memiliki pengalaman, sumber daya manusia dan sarana dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang. Selain kerjasama dan koordinasi antar lembaga, dukungan penuh pemerintah memainkan peran yang sangat krusial dalam membantu menciptakan dan menambah penyerang-penyerang yang handal.
Bila tidak ada kerjasama dan koordinasi yang baik, serta dukungan yang hanya setengah hati dari pemerintah maka striker-striker yang diharapkan dapat tercipta dan bertambah oleh undang-undang ini hanya akan menjadi macan kertas, dan hal itu jelas tidak sesuai dengan tekad kita semua untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mempertahankan integritas finansial Indonesia.
           


[1] Analis dan Penyidik pada Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK) Kejaksaan Agung RI; Penuntut Umum pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Instruktur pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Jakarta; Pengajar pada Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Disampaikan pada Rapat Koordinasi dalam rangka Pengimplementasian UU TPPU di Hotel Sahira, Bogor, 22-24 November 2010.
[2] Vide Pasal 285 KUHAP.
[3] KUHAP, Pasal 1 angka 1: Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan  Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil [PPNS] tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan; Menurut Pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
[4] PP 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bab VII Penyidikan terhadap Tindak Pidana Tertentu, Pasal 17: Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik [vide pasal 6 ayat (1) KUHAP], jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Fungsi penyidikan Jaksa diperkuat lagi dalam UU 16/2004 Pasal 30 ayat (1) huruf d: Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
[5] Penjelasan KUHAP Pasal 284 ayat (2) huruf b, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana ekonomi (UU No.7 Drt tahun 1955) dan UU No.3 tahun 1971).
[6] Pasal 284 ayat (2) KUHAP: Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
[7] Pasal 26 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi [tindak pidana tertentu] dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku [KUHAP] kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Untuk Jaksa selaku penyidik berlaku pasal 284 ayat (2) KUHAP juncto Pasal 17 PP 27/1983; Lebih lanjut kewenangan Penyidikan Jaksa diatur dalam UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI Pasal Pasal 2 ayat 1: Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Yang dimaksud dengan “kewenangan lain” antara lain adalah penyidikan atas tindak pidana tertentu sebagaimana termaktub pada Pasal 30 ayat (1) huruf d: Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang ...[d]... melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Pengertian “tindak pidana tertentu” adalah sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 284 ayat (2) huruf b KUHAP, yang salah satunya adalah tindak pidana Korupsi. Wewenang Polisi selaku penyidik diatur didalam KUHAP Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1). Wewenang  anggota KPK selaku penyidik diatur dalam UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 45.
[8] UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 21 ayat (1) mengatur: Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
[9] UU 16/2004, Pasal 18 ayat (1): Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
[10] UU 16.2004 Pasal 2 ayat (1): Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang; Pasal 2 ayat (2): Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
[11] UU 16/2004, Pasal 30.
[12]UU 16/2004 Pasal 2 ayat (3): Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
[13] UU 16/2004, Pasal 8 ayat 92): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
[14] UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1) huruf a: Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yangdiperoleh dari tindak pidana: [a] korupsi.
[15]UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1): korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; bidang perbankan; bidang pasar modal; bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; bidang perpajakan; bidang kehutanan; bidang lingkungan hidup; bidang kelautan dan perikanan; tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.