Wednesday 18 June 2014




PUSAT PEMULIHAN ASET KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

 disusun oleh:
Tim Pusat Kajian Departemen Kriminologi Universitas Indonesia[1]

Catatan [04/06/2014]:

Tulisan ini adalah final draft dari kajian akademik yang digunakan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai dokumen pendukung dalam pengajukan izin pendirian Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia.

Persetujuan pendirian Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI telah diberikan dengan Surat No. B/949/M.PANRB/02/2014 tanggal 18 Februari 2014 sebagaimana tercantum dalam Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-006/A/JA/3/2014 tanggal 20 Maret 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung RI Republik Indonesia No. PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Pusat Pemulihan Aset tercantum pada Pasal 7 angka 11 huruf d dan Bab XIIIA Peraturan Jaksaa Agung Nomor 006 tahun 2014. Pada 20 Mei 2014 Jaksa Agung RI dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. KEP-JA/05/2014 telah mengangkat pejabat Eselon 2 Sebagai Kepala Pusat Pemulihan Aset dan dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. KEP-JA 421/C/2014 mengangkat pejabat-pejabat eselon 3 sebagai (1) Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Pemulihan Aset, (2) Kepala Bidang Pemulihan Aset I, dan (3) Kepala Bidang Pemulihan Aset 2.

Pengutipan tulisan ini tanpa memberikan kredit yang semestinya kepada penulis Ferdinand T. Andi Lolo  SH, LL.M, Ph.D dan/atau Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia adalah pelanggaran hak milik intelektual dan berisiko menghadapi tuntutan hukum dalam berbagai bentuk yang dimungkinkan.

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Walaupun penegakan hukum atas pelaku kejahatan berorientasi harta/aset semakin gencar dilakukan namun angka kejahatan tetap tinggi. Sistem retributif yang diterapkan oleh para penegak hukum yaitu sistem yang mengutamakan pembalasan hanya menitik beratkan pada pembalasan fisik (pidana badan) ternyata tidak efektif. Walaupun ada pidana finansial seperti uang pengganti atau denda, namun jenis-jenis itu hanya lazim di tindak pidana tertentu yaitu korupsi sementara pada tindak pidana lain jenis hukuman ini hampir tidak pernah digunakan. Hanya ada upaya membatasi kemerdekaan si pelaku dan menimbulkan penderitaan psikis seperti rasa malu namun upaya menimbulkan derita secara finansial belum terlalu dioptimalkan. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai Center of Criminal Justice System hingga saat ini memiliki kendala terkait penanganan aset. Lembaga ini belum memiliki instrumen perampasan aset dan penyelesaian aset yang berfungsi secara efektif dengan metode kerja terintegrasi dalam mendukung satuan-satuan kerja operasional.  Ada berbagai faktor, baik eksternal maupun internal, yang menjadi penyebabnya atau berkontribusi pada masalah tersebut.

 Tindak Pidana Berorientasi Harta
Beberapa tindak pidana berorientasi harta di sajikan pada tulisan ini sebagai gambaran betapa besar kerugian yang ditimbulkan jika akses para pelaku terhadap hartanya tidak dihambat oleh suatu mekanisme hukum baik yang bersifat pro justitia (conviction based) maupun non pro justitia (non conviction based) secara efektif dan efisien.

Korupsi
Transparency International (TI) sebuah lembaga non pemerintah internasional yang berpusat di Berlin, Jerman, setiap tahun menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index). Indeks ini, yang menempatkan negara-negara dalam ranking berdasarkan tingkat korupsi mereka, merupakan acuan bagi badan-badan internasional seperti PBB, Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF). Peringkat korupsi negara disusun berdasarkan penilaian para ahli dan pendapat masyarakat.

Skala indeks ini berkisar antara 10 (paling bersih) hingga 0 (paling korup). Berdasarkan indeks tersebut, Indonesia dikategorikan kedalam negara yang tingkat korupsinya masih tinggi. Sejak tahun 2002 hingga 2011 skala Indonesia hanya beranjak dari 1,9 poin (tahun 2002) menjadi 3,0 poin (tahun 2011). Pada tahun 2011 Indonesia berada pada ranking 100 dari 182 negara yang disurvei oleh TI, bersama-sama dengan beberapa negara lain yaitu: Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Mexico, Sao Tome & Principe, Suriname dan Tanzania. Sebagai perbandingan negara terbersih adalah Selandia Baru (9,5 poin). Di tingkat ASEAN peringkat teratas diduduki oleh Singapura (9,2 poin pada ranking ke 5).

Jika diperhatikan, ada kecenderungan bahwa pada negara yang lebih korup dalam Indeks Persepsi Korupsi pendapatan perkapita penduduknya lebih rendah dibandingkan negara yang lebih bersih. Berdasarkan data IMF, ASEAN dan World Economic Outlook Database (April 2012), dalam konteks ASEAN, Indonesia diperingkat 100 dengan pendapatan perkapita USD.3.797 pertahun; Vietnam diperingkat 112 dengan pendapatan perkapita USD. 1.498 pertahun; Kamboja diperingkat 164 dengan pendapatan perkapita USD.932 pertahun. Sedangkan Singapura sebagai salah satu negara terendah tingkat korupsinya di Asia bahkan di dunia (Peringkat 5) pendapatan perkapitanya USD.50.323 pertahun, atau lebih dari 13 kali pendapatan perkapita Indonesia.

Dalam dekade terakhir sejak runtuhnya Rezim Orde Baru dan semakin menguatnya tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta perkuatan lembaga-lembaga hukum yang ada  penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi semakin gencar dilakukan oleh tiga otoritas penegak hukum utama yaitu Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, namun kecenderungan orang melakukan korupsi hampir tidak pernah surut. Kenyataan ini merupakan fenomena yang paradoksal karena ketika upaya pemberantasan korupsi makin ditingkatkan maka seharusnya perkara korupsi makin menurun.

Korupsi selalu menjadi topik yang menarik perhatian masyarakat dan media menangkap ketertarikan masyarakat dengan memberikan prioritas pada pemberitaan-pemberitaan terkait korupsi karena melibatkan banyak tokoh public (public figure) seperti politisi, pejabat, tokoh-tokoh sosial kemasyarakatan, selebritis dan masih banyak tokoh lain. Angka kerugian negara pertahunnya akibat korupsi juga sangat menakjubkan. Memang tidak ada data otoritatif yang dapat menentukan dengan tepat berapa kerugian yang terjadi, namun dari berbagai sumber diperkirakan kerugian yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia adalah berkisar Rp. 2, 169 triliun.
Penyelundupan Manusia (People Smuggling)
International Organization for Migration (IOM) suatu badan internasional yang menangani imigran memperkirakan kerugian akibat penyelundupan manusia ke Australia melalui Indonesia paling tidak berkisar pada angka Rp. 28,8 triliun. Para penyelundup manusia melihat Indonesia sebagai lahan yang menarik karena selain letak geografisnya yang paling dekat dengan Australia, yang merupakan salah satu negara tujuan favorit para imigran gelap, pengamanan wilayah Indonesia dapat dikatakan longgar karena garis pantainya yang sangat panjang sehingga menyulitkan aparat yang sumber daya dan logistiknya terbatas dan disamping itu mentalitas aparat sendiri yang mudah disuap untuk bekerja sama dengan para penyelundup. IOM mencatat bahwa penyelundupan manusia adalah bisnis kejahatan yang berisiko rendah (karena hukum dan penegak hukum masih bersifat transaksional) tapi membawa keuntungan tinggi (karena para imigran bersedia membayar mahal untuk dapat diseberangkan dari pulau-pulau di perairan Indonesia ke wilayah territorial Australia seperti di Christmas Island atau Ashmore Reef). Tanpa adanya hambatan dalam sisi finansial maka para penyelundup dapat beroperasi secara bebas dengan menyuap aparat dan penduduk lokal, menyediakan logistik dan transportasi bagi para imigran gelap, serta membuat dokumen-dokumen palsu yang semuanya memerlukan dana yang tidak sedikit.  
Tindak Pidana Perikanan (Illegal Fishing)
Penelitian dari organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2008 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp. 30 triliun per tahunnya akibat penangkapan ikan liar. Pada tahun yang sama data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan hanya sedikit dari kerugian negara tersebut yang dapat diselamatkan. Estimasi keuangan negara yang dapat diselamatkan dari kerugian pada tahun itu hanya Rp. 580 miliar atau kurang dari 2% dari total Rp. 30 triliun.

Sebenarnya ada potensi penerimaan negara bukan pajak dari kapal-kapal yang dipergunakan dalam tindak pidana itu dan berhasil ditangkap oleh aparat. Tercatat 131 unit kapal yang tertangkap dengan tonase antara 1 hingga 227 ton, namun pada saat penelitian dilakukan oleh Pusat Kajian Kriminologi Universitas Indonesia, peneliti tidak mendapat data mengenai bagaimana penyelesaian atas kapal-kapal tersebut.

Pembalakan Liar (Illegal Logging)
Pada tahun 2003 Kementerian Kehutanan mencatat penebangan dan peredaran kayu ilegal merugikan negara sebesar Rp.30,42 triliun per tahun. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010 mengkonfirmasi data Kementerian Kehutanan, walaupun angkanya sedikit lebih rendah. BPK menyebutkan kerugian negara akibat pembalakan liar pertahunnya adalah Rp. 30,3 triliun. penyelundupan kayu di Papua saja telah merugikan negara sebesar Rp.7,2 triliun pertahun sementara peredaran kayu illegal di wilayah sekitar pantai utara Jawa menimbulkan kerugian mencapai Rp. 5,4 triliun pertahun. Kerugian ini akan bertambah secara signifikan jika diakumulasikan dengan kerugian akibat perdagangan ilegal satwa liar. Kementerian Kehutanan juga mencatat pada 2011 kerugian negara akibat penangkapan, pengambilan dan pengangkutan satwa liar mencapai Rp. 6,2 triliun.
Dalam proses pembalakan liar itu para pelaku merusakkan ekosistem hutan hingga 2,1 juta hektar pertahunnya. Kegiatan pembalakan merupakan kegiatan yang melibatkan logistik yang besar seperti alat-alat/kendaraan berat, melibatkan banyak orang yang bekerja secara terorganisir termasuk juga didalamnya aparat-aparat yang korup. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, para pelaku harus mengeluarkan modal investasi kejahatan yang besar pula. Jika dihitung dengan dampak sosial maka kerugian akibat pembalakan liar akan semakin besar. Tanpa adanya hambatan ke investasi dan aset-aset mereka, para  pelaku kejahatan akan terus menghancurkan hutan Indonesia dan menimbulkan berbagai masalah baik sosial, ekonomi maupun politik.
Narkotika dan Obat Terlarang
Penelitian yang dilakukan bersama antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2012 tentang kerugian pribadi dan sosial sepanjang tahun 2011 akibat penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang mencapai angka Rp. 48,28 triliun. Para peneliti juga memprediksi pada tahun 2013 kerugian tersebut akan meningkat menjadi sekitar Rp. 57 triliun. Kerugian pribadi diantaranya: biaya konsumsi narkoba; biaya perawatan dan pengobatan atas penyakit yang terkait dengan narkotika dan obat-obatan terlarang; biaya yang harus dikeluarkan pemakai atau keluarganya jika terjerat hukum. Total kerugian pribadi mencapai Rp. 44,6 triliun. Selain kerugian pribadi ada juga kerugian sosial yaitu beban yang harus ditanggung oleh masyarakat sebagai dampak penyalah gunaan narkoba. Misalnya adanya biaya produktivitas yang hilang karena sanak keluarga yang harus menunggu atau menjaga pengguna yang sakit atau sedang direhabilitasi. Ada juga biaya yang harus dikeluarkan ketika pengguna terlibat kecelakaan atau melakukan tindak pidana sehingga berurusan dengan hukum. Total kerugian sosial pada tahun 2011 menurut BNN dan UI adalah berkisar Rp.3,8 triliun. Yang paling diuntungkan dalam penyalahgunaan narkoba adalah para pelanggar hukum seperti produsen, bandar, pengedar dan oknum-oknum yang memfasilitasi, mempermudah atau membantu tindak pidana ini. Tanpa adanya gangguan atau hambatan finansial maka kegiatan mereka makin berkembang dari tahun ke tahun karena kekuatan uang yang mereka miliki.


IDENTIFIKASI MASALAH
Paling tidak ada tiga masalah dapat teridentifikasi dalam penanganan pelaku tindak pidana berorientasi harta oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Pertama: Kejaksaan masih menggunakan pola penanganan yang lebih mengutamakan pada penghukuman pelaku sementara aset-aset pelaku yang terkait dengan tindak pidananya, baik secara langsung maupun tidak langsung belum ditangani secara optimal.

Kedua: Penanganan aset tidak dilakukan secara terintegrasi. Dalam setiap tahapan acara pidana (penyidikan, penuntutan, dan eksekusi) ditangani oleh satuan-satuan teknis/operasional yang berbeda sehingga aset-aset rawan hilang, rusak, berkurang, berpindah secara ilegal, kehilangan nilai ekonomis terutama pada saat transisi dari satu tahap ke tahap lain. Satuan-satuan kerja teknis/operasional terlalu terbebani dengan penanganan teknis yuridis serta administrasi perkara sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menangani aset-aset yang terkait dengan perkara ditambah lagi mereka tidak memiliki cukup kapasitas maupun kapabilitas untuk menangani aset-aset non konvensional seperti kapal, pesawat, benda-benda berharga atau aset-aset yang memerlukan keahlian atau penanganan khusus.

Ketiga: Mekanisme penanganan aset yang kurang transparan dan akuntabel menimbulkan celah bagi jaksa, pegawai kejaksaan atau pihak-pihak yang mempunyai akses ke aset-aset dapat melakukan tindak pidana terhadap aset, misalnya penggelapan atau pencurian aset.

Keempat: Pola penanganan aset Kejaksaan saat ini masih problematik karena hanya bergerak diakhir rangkaian acara pidana yaitu pada tahap eksekusi. Sehingga eksekutor tidak memiliki kesempatan mengantisipasi timbulnya masalah yang terjadi pada tahap-tahap sebelumnya (penyidikan dan penuntutan). Akibat nyatanya pada Kejaksaan adalah sering terjadi ketidak sesuaian antara data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan keadaan faktual dilapangan. Masalah ini terus berulang membuat masalah aset menjadi temuan BPK sehingga menyulitkan Kejaksaan mendapatkan penilaian baik dari sudut audit.

Pendekatan Pelaku
Penegakan hukum  belum berjalan optimal karena masih ada  celah (gap) didalam strategi penegakan hukum. Strategi penindakan  saat ini berjalan timpang karena lebih mengutamakan elemen “pelaku” sedangkan elemen “aset pelaku” kurang diperhatikan.  Otoritas hukum lebih berorientasi kepada pencarian, penangkapan dan penghukuman pelaku tindak pidana, sedangkan penanganan aset-aset hasil tindak pidananya kurang ditangani dengan baik. Preferensi dalam orientasi ini adalah keliru karena pada hakekatnya sasaran utama para pelaku adalah aset, terutama dalam bentuk uang atau setara uang walaupun motivasinya bisa berbeda-beda. Tindak pidana berorientasi harta terus menjadi masalah karena akses para pelaku ke aset-aset hasil tindak pidananya tidak secara efektif dihambat. Para penegak hukum terlalu sibuk memburu, menangkap dan memenjarakan para pelaku, namun tidak terlalu serius merampas aset yang justru merupakan darah dan udara bagi mereka. Kekeliruan strategi ini memberikan pesan kepada para pelaku bahwa secara faktual “crime pays” - Kejahatan itu menguntungkan. Karena “menguntungkan” maka makin banyak orang yang kemudian terjun kedalam dunia kejahatan.
Tujuan penjara sebagai penjeraan terhadap pelaku tidak tercapai ketika para pelaku kejahatan masih memiliki akses ke aset mereka terutama uang sehingga dapat mengkompromikan kondisi mereka.

Penanganan Aset yang tidak terintegrasi
Secara de facto Jaksa pada satuan kerja teknis memiliki tiga beban, yaitu: beban membuat konstruksi perkara, beban administrasi perkara dan beban penanganan barang bukti. Idealnya adalah jaksa hanya diberikan beban membuat konstruksi perkara. Beban administrasi perkara diserahkan ke tenaga administrasi dan beban penanganan barang bukti diserahkan kepada unit yang memiliki kualifikasi yang relevan. Kondisi saat ini adalah Jaksa diberbagai tempat, bahkan di Kejaksaan Agung sekalipun masih menangani perkara dan melakukan pekerjaan administrasi perkara sekaligus karena terbatasnya tenaga administrasi yang mereka sendiri juga (tenaga administrasi) harus mengerjakan berbagai pekerjaan administrasi non pro justitia. Tenaga yang menangani aset-aset tidak ada pada tahap-tahap penyidikan dan penuntutan. Sehingga beban itu dilimpahkan kepada Jaksa baik selaku Jaksa Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sangat memberatkan para Jaksa yang selain tidak memiliki waktu yang cukup juga tidak memiliki keahlian atau kemampuan yang memadai dalam menangani aset.

Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Mekanisme saat ini yang tidak transparan dan akuntabel membuka terjadinya titik-titik gelap (blindspot) dalam penanganan aset hasil tindak pidana. Tanpa adanya pengawasan yang memadai, tanpa adanya sistem yang memungkinkan adanya pengecekan, verifikasi dan konfirmasi maka para penegak hukum yang mempunyai akses ke aset-aset hasil tindak pidana dapat melakukan tindak pidana terhadap aset-aset tersebut atau tindak pidana ganda (double crime) artinya aset hasil tindak pidana pelaku lalu menjadi obyek tindak pidana aparat. Dalam perkara korupsi dikenal istilah double corruption yaitu harta hasil korupsi yang dikuasai oleh penegak hukum kemudian dikorupsi lagi oleh aparat yang menguasainya. Dalam konteks ini tindak pidana bertransformasi dari tindak pidana eksternal (pelakunya adalah orang luar) menjadi tindak pidana internal (pelakunya adalah aparat sendiri)
Sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki akses ke aset-aset hasil tindak pidana, Kejaksaan juga memiliki titik-titik gelap. Titik-titik ini membuka peluang bagi jaksa atau pegawai kejaksaan untuk berkolusi dengan para pelaku. Ada beberapa modus operandi yang biasa dilakukan  untuk melakukan tindak pidana ganda. Jaksa misalnya tidak kunjung merampas harta pelaku yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan melalui putusan yang telah berkekuatan tetap (inkraacht), padahal harta pelaku tersebut secara hukum telah menjadi kekayaan negara.[2] Disisi lain, praktek-praktek semacam ini membuka peluang bagi pelaku untuk dapat menghindarkan aset-aset hasil kejahatannya dari jangkauan negara. Hal ini pada gilirannya tidak membawa efek jera dan efek cegah sehingga tindak pidana yang berorientasi harta tidak pernah menunjukkan tendensi menurun.

Penanganan yang terpaku di Hilir
Mekanisme penanganan aset yang dijalankan Kejaksaan pada saat ini adalah mekanisme penanganan di hilir atau di akhir rangkaian acara pidana, yaitu pada tahap eksekusi. Mekanisme ini dijalankan oleh tiga satuan kerja yaitu “Tindak Pidana Khusus”, “Tindak Pidana Umum” dan “Pembinaan”. Karena hanya bergerak di hilir, maka Kejaksaan kehilangan kesempatan untuk menghilangkan atau meminimalisir masalah akibat tidak optimalnya penanganan aset ditahap-tahap awal acara pidana sehingga membuat aset-aset sulit untuk di eksekusi, baik karena masalah administrasi, finansial maupun karena masalah yuridis.

TUJUAN KAJIAN
Kajian akademik ini bertujuan untuk membantu Kejaksaan Republik Indonesia untuk menelaah kemungkinan didirikannya suatu satuan kerja baru yang minim struktur namun kaya fungsi dan memiliki fleksibilitas untuk bergerak lintas satuan kerja dalam organisasi Kejaksaan; lintas instansi dalam rangka penegakan tugas pokok dan fungsi Kejaksaan di bidang pro yustisia; dan lintas yurisdiksi dalam rangka pelacakan, pengamanan dan pengembalian aset yang berada diluar yurisdiksi Indonesia untuk perkara-perkara yang menjadi tanggung jawab Kejaksaan.

ARGUMENTASI KEBUTUHAN PENDIRIAN
Penegakan hukum pada tindak pidana yang berorientasi pada harta tidak dapat berjalan secara efektif jika pola penanganan yang diadopsi oleh penegak hukum masih berorientasi pada strategi menghukum pelaku namun tidak menghilangkan alasan utama bagi pelaku untuk melakukan kejahatan yaitu mendapatkan harta / aset.
Metode yang lebih efektif adalah para penegak hukum menerapkan strategi ganda yaitu strategi untuk menghukum pelaku dan strategi untuk memutus atau menghambat secara signifikan akses pelaku ke aset-asetnya.  Kedua strategi tersebut jika secara simultan dijalankan akan menimbulkan efek berganda bagi pelaku. Efek berganda itu adalah efek hukuman yang menyerang baik fisik (merampas kemerdekaan atau membatasi kebebasan bergerak); dan menyerang psikis (menimbulkan rasa malu, takut, dan jera) serta menyerang sisi ekonomi (membuat pelaku kehilangan kendali finansial).

Hingga saat ini masih ada celah dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berbasis aset. Celah dimaksud adalah para pelaku tindak pidana masih tetap dapat melakukan aktivitasnya untuk menghindar dari jeratan hukum dan memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain karena mereka masih memiliki akses ke aset-aset hasil tindak pidana mereka sehingga mempunyai “posisi tawar” dan “daya beli” yang tinggi. Penegakan hukum selama ini yang lebih terfokus kepada penindakan pelaku (in personam) dan kurang memperhatikan arti pentingnya menghambat atau menutup aset pelaku atau dengan kata lain merampas aset hasil tindak pidananya (in rem) membuat tindak pidana berbasis aset, tetap tinggi.
Pendirian Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan merupakan bagian dari strategi ganda untuk menimbulkan efek jera dan efek tangkal (deterrent effect) bagi tindak pidana yang berorientasi harta. Pelaksanaan strategi ini merupakan implementasi dari amanat konstitusi untuk memberikan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia dan kebijakan pemerintah memberantas kejahatan-kejahatan luar biasa yang berorientasi harta seperti korupsi, narkotika, dan pembalakan liar.

METODE PENULISAN
Kajian ini disusun dengan menggunakan beberapa metode yang relevan. Secara garis besar metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan komparatif dengan merujuk referensi-referensi terkait penanganan aset baik yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun oleh institusi penegak hukum lainnya. Selain itu komparasi/perbandingan dalam bentuk studi lapangan komparatif juga dilakukan antara satuan penanganan aset dibawah Kejaksaan RI (Satuan Tugas) dengan unit penangan aset di yurisdiksi lain seperti US Marshall di Amerika Serikat, BOOM di Belanda dan unit-unit lain seperti di Belgia, Belanda dan Thailand.

Guna melengkapi bahan-bahan kajian dan juga untuk akurasi data, masih diadakan be berapa kegiatan akademik, diantaranya adalah penelitian ke instansi-instansi seperti Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian dan Kementerian Kehutanan untuk pengumpulan data terkait kerugian negara akibat tindak pidana yang berorientasi harta seperti narkotika, illegal logging dan illegal fishing. Hasil penelitian tersebut kemudian dipaparkan dalam mini seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dan hasil seminar tersebut disosialisasikan melalui media massa nasional serta dimuat  dalam jurnal kriminologi Universitas Indonesia.

Metode berikutnya yang diaplikasikan adalah metode observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan berbagai informan dengan mengacu pada beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh Departemen Kriminologi, misalnya dalam suatu penelitian yang merupakan kerjasama antara Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dengan International Organization of Migration (IOM); POLRI; Kejaksaan Agung; Imigrasi serta Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan penanganan People Smuggling. Kegiatan ini dilakukan di beberapa daerah diantaranya Propinsi Banten, Lampung, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur dengan mewancarai petugas-petugas Imigrasi, Kepolisian dan Kejaksaan serta narapidana/tahanan yang terkait dengan jaringan penyelundupan manusia.

Sebagai pelengkap diadakan beberapa kali focus group discussion internal Kejaksaan, sosialisasi kinerja Kejaksaan terkait penanganan aset dan mendatangkan narasumber-narasumber seperti dari CARIN Eropa, US Marshall dan beberapa narasumber lainnya.



BAB II
LEGITIMASI KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN ASET

Terkait dengan penanganan asset dalam konteks penegakan hukum, Kejaksaan yang memiliki wewenang pro justitia (untuk keadilan) bergerak di tiga tataran yaitu penyidikan, penuntutan (termasuk didalamnya pelimpahan wewenang barang bukti dan penguasaan atas aset selama persidangan) dan eksekusi (atau wewenang eksekutorial).

Wewenang Pro Justitia
Untuk menjawab pertanyaan apakah Kejaksaan berhak melakukan penanganan atas aset, terlebih dahulu harus diperjelas pengertian aset dalam konteks ini. Aset yang dimaksud disini adalah aset yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Jika diperhatikan dengan seksama, KUHAP pasal 1 angka 16 menerangkan tentang aset yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Aset yang dimaksud adalah benda bergerak, atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Terhadap aset-aset tersebut dapat dikenakan tindakan penyitaan. Tindakan penyitaan yang dimaksud dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya aset-aset terkait tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan. Jadi jelas disini tindakan terhadap aset hanya dapat dilakukan oleh aparat penegakan hukum karena tindakan ini adalah tindakan pro justitia. Aparat penegak hukum disini adalah penyidik, baik itu penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau POLRI,  penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS),  penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (khusus korupsi) dan penyidik Kejaksaan (untuk tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak azasi manusia berat).
Penanganan aset tidak hanya ada pada tahap penyidikan. Pada tahap penuntutan ada juga penanganan aset. Setelah berkas penyidikan dinyatakan lengkap maka terjadi penyerahan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Dalam tahap ini hanya jaksa penuntut umum yang memiliki wewenang menangani aset karena dalam sistem peradilan pidana Indonesia kewenangan penuntutan adalah dominus litis (domain) lembaga Kejaksaan, tidak ada aparat penegak hukum lain yang diberikan wewenang oleh undang-undang melakukan tindakan pro justitia di tahap penuntutan seperti halnya di tahap penyidikan. Pada tahap peradilan, walaupun terjadi penyerahan tersangka (menjadi terdakwa) dan berkas perkara (pelimpahan) dari penuntut umum ke pengadilan, namun aset-aset yang merupakan barang bukti masih tetap dalam penguasaan jaksa penuntut umum.
Wewenang Eksekutorial
Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dieksekusi oleh Kejaksaan termasuk juga aset-aset yang telah diputuskan oleh pengadilan cara penyelesaiannya. Sebagaimana penuntutan yang merupakan wewenang khas Kejaksaan, wewenang eksekutorial juga merupakan wewenang khas Kejaksaan. Wewenang eksekutorial ini meliputi pelaksanaan penetapan hakim dan juga pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap[3]
“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang [KUHAP] untuk…melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP.
“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini [KUHAP] untuk…melaksanakan penetapan hakim” pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP.
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa…”pasal 270 KUHAP.
“Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatanganinya…” pasal 278 KUHAP.
“Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai…pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap…” pasal 1 angka1 UU No.16 tahun 2004.
“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk…melaksanakan penetapan hakim.” Pasal 1 angka 2 UU No.16 tahun 2004.
“Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang… melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap…” pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 tahun 2004.
“Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang [kejaksaan] mengendalikan pelaksanaan…putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.” Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 tahun 2004.
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.” pasal 35 huruf a UU No.16 tahun 2004.

Dengan demikian pada setiap tingkatan peradilan pidana Kejaksaan memiliki wewenang menangani aset-aset yang terkait tindak pidana. Ini merupakan justifikasi dan legitimasi bagi Kejaksaan untuk bertindak sebagai Asset Recovery Office (ARO) terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dalam penyidikan (sebagai penyidik tindak pidana tertentu); sebagai  penuntut umum yang menerima penyerahan aset pidana dari penyidik dan tetap menguasai aset hingga ada keputusan pengadilan yang tetap, serta sebagai eksekutor yang melaksanakan putusan dan atau ketetapan pengadilan dimana salah satu fungsinya adalah melakukan penyelesaian (disposal) aset.

Wewenang Manajemen
Barang milik negara didefinisikan sebagai barang yang diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah [non APBN] [UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 1 angka 10 juncto PP 6 tahun 2006 tentang pengelolaan Barang milik Negara/Daerah pasal 1 angka 1 juncto pasal 2 ayat (1) juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindah tanganan Barang Milik Negara Pasal 1 angka 1]. Walaupun telah mendefinisikan barang milik negara namun undang-undang tidak mengklasifikasikan barang mana yang dapat dikategorikan sebagai barang non APBN. Klasifikasi itu terdapat pada PP 6/2006. Menurut Peraturan Pemerintah yang dimaksud dengan barang milik negara yang berasal dari perolehan non APBN adalah barang milik negara yang relevan dengan konteks pemulihan aset, yaitu barang-barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang atau barang-barang yang diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[4]

Dalam konteks Kejaksaan Agung, Jaksa Agung selaku pimpinan lembaga secara ex officio berstatus sebagai “Pengguna Barang” namun secara fungsional kewenangan dan tanggung jawabnya selaku pengguna barang dijalankan oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan.[5] Jaksa Agung Muda Pembinaan mendelegasikan kewenangan  dan tanggung jawab fungsional penggunaan barang kepada kepala biro keuangan yang menyelenggarakan fungsi antara lain: mengelola pendapatan dan uang milik negara serta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan dan mengelola barang rampasan.[6]

Manajemen aset harus dilihat dalam konteks pro justitia/penegakan hukum bukan dalam konteks manajemen pada umumnya.  Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 38 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI mengatur penyelenggaraan fungsi-fungsi Kejaksaan yang diantaranya adalah: “penyelamatan kekayaan negara”[7] dan “ketatalaksanaan serta pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi tanggung jawab [Kejaksaan].”[8]

Menteri Keuangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.08/2011 tentang pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari Barang Rampasan Negara dan Gratifikasi mengakui dan menegaskan fungsi manajemen aset pro justitia Kejaksaan seperti pada Pasal 8 dan Pasal 9 yang menyebutkan Jaksa Agung sebagai pengurus barang rampasan negara.

“Jaksa Agung melakukan pengurusan atas Barang Rampasan Negara sesuai ketentuan peraturang perundang-undangan.” Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.08/2011.

“Dalam pengurusan Barang Rampasan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Kejaksaan memiliki wewenang dan tanggung jawab meliputi: melakukan penata usahaan; …melakukan penjualan secara lelang Barang rampasan Negara…; melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik dan pengamanan hukum terhadap Barang Rampasan Negara yang berada dalam penguasaannya; mengajukan usul penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, pemusnahan dan penghapusan kepada Menteri [Keuangan]…” Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.08/2011.

Disamping itu unit-unit penanganan aset, terutama penyelesaian aset sudah merupakan bagian yang terintegrasi dengan struktur Kejaksaan. Unit-unit tersebut melekat pada Bagian Pembinaan di Tiap-tiap satuan kerja Kejaksaan diseluruh Indonesia. Pada Kejaksaan Agung terdapat Kantor Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan yang lingkup tugasnya antara lain pengelolaan kekayaan milik negara.[9] Dibawah Kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan, terdapat Biro keuangan yang menyelenggarakan fungsi [antara lain] pelaksanaan pengelolaan pendapatan dan uang milik negara serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Kejaksaan [dan] pelaksanaan pengelolaan barang rampasan.[10]

Pada Kejaksaan tinggi, dibawah Asisten Pembinaan, terdapat subbagian Keuangan keuangan yang salah satunya terdapat urusan Pendapatan Negara dan Barang Rampasan. Urusan Pendapatan Negara dan Barang Rampasan mempunyai tugas antara lain melakukan pengelolaan barang rampasan.[11] Pada Kejaksaan Negeri, dibawah Kepala Kejaksaan, terdapat Subbagian Pembinaan yang salah satu tugasnya adalah melakukan pengelolaan teknis barang milik negara yang menjadi tanggung jawabnya.[12]

Hal ini menunjukkan bahwa manajemen aset bukanlah hal baru bagi Kejaksaan. Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi sebenarnya bukanlah lembaga baru, namun merupakan peningkatan fungsi dari satuan kerja yang telah ada agar lebih efektif dan efisien.


BAB III
               MEKANISME PENANGANAN ASET

Secara umum mekanisme penanganan aset di Kejaksaan dapat terbagi atas tiga periode, yaitu periode sebelum Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi (Satgassus) efektif bekerja yaitu sebelum 2011; periode Satgassus yang dimulai dari 2011[13] dan periode pasca Satgassus yang direncanakan akan dijalankan oleh Pusat Pemulihan Aset sebagai satuan kerja integratif yang mendukung kegiatan satuan kerja teknis/operasional.

Periode Pra Satgassus
Tidak jelasnya mekanisme penanganan aset dan begitu besarnya wewenang jaksa ketika bersentuhan dengan aset merupakan kombinasi yang berbahaya.  Wakil Jaksa Agung Darmono mengakui hal itu. Darmono menyatakan bahwa potensi penyimpangan dalam penanganan aset dalam pada lembaga Kejaksaan cukup besar mengingat kewenangan jaksa yang begitu luas sehingga membuka banyak kesempatan bagi oknum kejaksaan untuk melakukan tindak pidana. 
 
Penyimpangan ini, menurut Darmono, dapat terjadi disemua lini mulai dari tahap penyidikan, penuntutan hingga tahap eksekusi putusan pengadilan. Secara spesifik Darmono menyebutkan bahwa penyimpangan terjadi pada penanganan aset-aset pada suatu perkara yang juga [dapat] menjadi kekayaan negara. Jenis-jenis aset tersebut menurut Darmono antara lain barang bukti; barang rampasan; uang pengganti dan denda. Terhadap aset-aset inilah perlu diadakan upaya penjagaan sehingga tidak berpotensi dimaanfaatkan oleh jaksa atau pejabat lain.[14]

Pernyataan Wakil Jaksa Agung tersebut dikuatkan oleh Direktur Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Maulana yang menyatakan bahwa banyaknya perkara korupsi yang dihentikan oleh Kejaksaan dengan praktik-praktik kolusif dengan koruptor yang tidak ingin asetnya dirampas oleh negara.[15]

Titik-titik gelap ini bukan hanya menimbulkan tindak pidana ganda namun juga menimbulkan masalah lain yaitu terbengkalainya aset-aset karena kurangnya kontrol dan tidak tertibnya administrasi  penanganan aset. Tidak akuntabel dan transprannya penanganan aset mengakibatkan  banyak aset yang kemudian menumpuk dan kehilangan nilai ekonomisnya. Konsekuensinya adalah berkurangnya atau bahkan hilangnya penerimaan negara. Aset-aset yang tidak ada penyelesaiannya kemudian menjadi catatan permanen dalam audit oleh lembaga audit negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan instansi yang bersangkutan mendapat rapor merah.

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dilakukan oleh BPK sebagaimana tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2010 Periode 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2010 tanggal 6 September 2010[16] mengungkapkan fakta bahwa terdapat masalah serius dalam penanganan aset hasil tindak pidana oleh Kejaksaan. Beberapa contoh masalah yang disebutkan dalam laporan tersebut adalah:
-          Ketidak patuhan dalam Pengelolaan pendapatan negara sehingga mengakibatkan kekurangan penerimaan yaitu uang pengganti dari perkara-perkara korupsi dari kejaksaan-kejaksaan negeri di lingkungan Kejaksan Tinggi Jawa Tengah yang belum tertagih senilai Rp. 39.730.000.000,-[17]
-     Kekurangan penerimaan yaitu: Pendapatan berupa uang rampasan dari perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkraacht), denda tilang, dan jasa giro belum disetorkan ke kas negara senilai Rp, 4.490.000.000,-[18]
-          Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan yaitu Penggunaan mata anggaran penerimaan (MAP) Kejaksaan Negeri Bangli untuk penyetoran hasil lelang barang rampasan Rp.32.670.000,- dan biaya perkara senilai Rp.797.000,- tidak sesuai dengan ketentuan.[19]
-          Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan yaitu: Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah barang rampasan dari putusan pengadilan yang telah lama mempunyai kekuatan tetap terlambat penyelesaiannya[20]

Direktur Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Maulana, pada tanggal 15 Juli 2012 menyatakan bahwa berdasarkan temuan BPK tahun 2008-2010 ditemukan 473 kasus penggunaan anggaran di Kejaksaan. Dari kasus-kasus tersebut, dengan mengutip BPK, Maulana megemukakan bahwa Kejaksaan berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 5,4 triliun. Posisi Kejaksaan ini diikuti oleh Kementerian Keuangan dengan potensi kerugian negara sebesar Rp. 5,35 Triliun serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di posisi ketiga dengan potensi kerugian negara sebesar Rp. 3,3 triliun. Penyebabnya menurut Maulana adalah tidak diterapkannya prinsip tata kelola keuangan yang baik oleh Kejaksaan sehingga banyak uang rampasan dari terpidana yang tidak kunjung dikembalikan kepada negara.[21]

Periode Satgassus
Mencermati banyaknya masalah dalam penanganan aset-aset hasil tindak pidana sebagaimana tergambar dalam laporan-laporan hasil pemeriksaan BPK dan temuan-temuan dilapangan Jaksa Agung Basrief Arief memerintahkan agar dicarikan solusinya. Solusi yang kemudian dipilih adalah pembentukan Satuan Tugas. Dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia[22] dibentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi yang terdiri dari 1 koordinator, 1 Ketua Pelaksana, 1 sekretaris dan 10 anggota. Satgas ini dilantik pada 27 Januari 2011 dengan tugas untuk menyelesaikan proses perampasan dan penyitaan barang hasil sita eksekusi[23] dengan wilayah kerja Indonesia dan luar wilayah Indonesia.[24]
Prosedur kerjanya secara garis besar adalah unit yang bertanggung jawab atas penuntutan menyerahkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap kepada Kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan untuk kemudian ditindaklanjuti dengan penanganan aset pelaku tindak pidana sesuai dengan amar pengadilan. Namun, tidak semua putusan pengadilan yang memuat asset recovery diserahkan kepada Satgassus untuk diproses. Hanya putusan-putusan atas perkara pidana korupsi yang diadili oleh pengadilan-pengadilan yang memiliki yurisdiksi di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) yang diserahkan sedangkan putusan pengadilan diluar yurisdiksi DKI Jakarta belum ditangani. Masih ada lagi pembatasan penyerahan kategori putusan. Tidak semua putusan pengadilan atas perkara pidana yang diserahkan kepada satgassus, hanya perkara korupsi saja yang ditangani dan tidak semua perkara korupsi di wilayah DKI Jakarta yang diserahkan kepada satgassus, hanya putusan atas perkara-perkara yang dikategorikan sebagai perkara besar dan penyelesaian asset recovery-nya berlarut-larut yang ditangani oleh satgassus.
Jenis asset recovery yang ditangani satgassus sangat terbatas. Secara umum proses asset recovery yang dilaksanakan oleh Satgassus baru dimulai setelah proses penuntutan selesai. Artinya dalam alur penyelesaian perkara yang dimulai dari penyelidikan hingga eksekusi, satgassus hanya ada dibagian hilir ketika putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkraacht) telah dikeluarkan. Konsekuensinya adalah apapun putusan yang berkaitan dengan eksekusi aset harus dijalankan ole satgassus. Kesulitannya adalah dalam praktek dilapangan ada putusan yang tidak jelas sehingga satgassus sulit mengeksekusinya misalnya putusan yang hanya menyebut merk dan warna mobil tanpa keterangan detail, misalnya nomor polisi, nomor rangka atau nomor chasisnya. Hal ini sangat menyulitkan petugas satgassus karena mobil sejenis sangat jumlahnya tidak hanya satu.
Hingga Desember 2011 baru dua Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan yang diterbitkan untuk dilaksanakan oleh satgassus. Perintah yang pertama diterbitkan pada 18 Februari 2011[25] untuk menangani dan menyelesaikan barang rampasan perkara tindak pidana atas nama terpidana:
1.      Hendra Raharja, dan kawan-kawan;
2.      Andrian Herling Waworuntu, dan kawan-kawan;
3.      Arie Lestario;
4.      Widjanarko Puspoyo;
5.      David Nusa Wijaya;
6.      Edy Tanzil;
7.      Muhammad Hasyim;
8.      Sudjono Timan;
9.      Mohammad Hasan;
10.  Edward Cornelis William Neloe, dan kawan-kawan.

Perintah yang kedua diterbitkan pada 23 September 2011[26] untuk menangani dan menyelesaikan barang rampasan perkara tindak pidana atas nama terpidana: Bambang Sutrisno, dan kawan-kawan dan atas nama terpidana Dra. Hardieni Soegito.
Laporan Kemajuan Kinerja Satgassus[27]
No
Nama Terpidana
Rencana
(unit)
Penyelesaian
(unit)
Persentase
Penyelesaian
1
Hendra Raharja dkk
203
0
0%
2
Andrian Herling Waworuntu dkk
37
10
27%
3
Arie Lestario
64
0
0%
4
Widjanarko Puspoyo
4
0
0%
5
David Nusa Wijaya
352
11
3%
6
Edy Tanzil
0
0
0%
7
Muhammad Hasyim
2
0
0%
8
Sudjono Timan
0
1
?
9
Mohammad Hasan
21
0
0%
10
Edward C. William Neloe dkk
9
0
0%
11
Bambang Sutrisno, dkk
0
0
0%
12
Dra. Hardieni Soegito
12
0
0%
Total
704
22
3%

Data diatas menunjukkan masih rendahnya kinerja Satgassus. Hanya 3% (22 unit) dari perencanaan penyelesaian aset (704 unit) yang dapat diselesaikan. Penyebabnya adalah terjadi masalah dalam akurasi data dan tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan aset ditingkat penyidikan dan penuntutan serta dibiarkannya terbengkalai aset-aset yang ada sehingga menyulitkan Satggassus dalam penyelesaiannya.

Periode pasca Satgassus
Kecepatan, fleksibilitas, efisiensi adalah tiga faktor kunci dalam penanganan aset yang efektif. Dalam struktur besar Kejaksaan struktur pusat adalah struktur yang paling mengakomodasi faktor-faktor kunci diatas untuk menangani kompleksitas pekerjaan penanganan aset.

Kecepatan dan efisiensi
Walaupun berperan sebagai unsur penunjang bagi satuan-satuan kerja namun Pusat bukanlah bagian dari satuan-satuan kerja, dengan demikian Kepala Pusat tidak bertanggung jawab kepada kepala-kepala satuan kerja yang dalam konteks ini adalah para jaksa agung muda yang merupakan unsur pembantu pimpinan. Kepala Pusat bertanggung jawab langsung kepada unsur pimpinan, dan lebih spesifik lagi adalah kepada Jaksa Agung.[28] Dengan ditempatkannya Pusat dalam garis komando yang langsung dengan Jaksa Agung maka hambatan birokrasi yang hirarkis dapat diminimalisir. Jika unit pemulihan aset dikembangkan kedalam struktur seperti direktorat atau biro maka alur tanggung jawab dari unit ini akan menjadi semakin panjang karena yang berlaku di Kejaksaan adalah pertanggung jawaban berjenjang. Konsekuensinya adalah rentang waktu komunikasi dan koordinasi sampai ke level Jaksa Agung menjadi lebih lama padahal dalam hal-hal tertentu, seperti pelacakan aset (asset tracing) memerlukan kecepatan dalam keputusan dan bertindak. Panjangnya jenjang pertanggung jawaban dan panjangnya rentang waktu komunikasi pada gilirannya membuat penangangan aset menjadi tidak efisien. Oleh karena itu adalah lebih realistis jika pengelolaan aset ini dibentuk dalam struktur Pusat dibandingkan dengan struktur dalam satuan kerja seperti direktorat atau biro atau struktur se level lainnya.

Fleksibilitas
Selain cepat dan efisien, fleksibilitas juga merupakan elemen penting dalam pergerakan unit pemulihan aset karena unit ini harus beroperasi di berbagai bidang dimana aset berada dan tidak beroperasi berdasarkan pembagian fungsi konvensional pada Kejaksaan seperti tindak pidana Umum, tindak pidana khusus, dan perdata dan tata usaha negara. Jika ditempatkan sebagai bagian dari salah satu satuan kerja operasional maka unit pemulihan aset akan terkungkung pada fungsi konvensional satuan kerja terkait dan akan menjadi lebih sulit bergerak lintas unit.
Lintas Unit Dalam Struktur Kejaksaan
Karena fungsinya Pusat memiliki fleksibilitas untuk bergerak lintas unit kerja (fleksibilitas horizontal). Pusat adalah penunjang unit-unit tersebut namun bukan bagian dari unit-unit dimaksud. Aset-aset terkait tindak pidana atau diduga ada kaitnnya dengan tindak pidana tidak hanya berasal dari korupsi (tindak pidana khusus) namun juga dapat berasal dari tindak pidana lain seperti illegal fishing, illegal logging, terorisme, perdagangan orang, penyelundupan manusia, perdagangan obat-obat terlarang, perdagangan senjata dan lain-lain (tindak pidana umum) serta perkara-perkara perdata dimana ada kepentingan pemerintah (perdata dan tata usaha negara). Jika Pusat tidak berbentuk pusat tapi berbentuk lain, misalnya direktorat, dan berada dibawah satuan kerja tertentu, misalnya dibawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus maka akan terjadi banyak masalah. Diantaranya adalah aset-aset yang berasal dari satuan kerja lain, misalnya tindak pidana umum tidak dapat ditangani oleh unit tindak pidana khusus. Akibatnya adalah penangan aset kembali kepada pola lama yaitu ditangani secara sektoral/parsial dan banyak tercipta daerah abu-abu dimana aset-aset dapat hilang atau dihilangkan, tertukar atau ditukar, berkurang atau dikurangi, berubah atau diubah dan banyak hal lain diluar prosedur.

Pusat bukan saja memiliki fleksibilitas horizontal namun juga fleksibilitas vertikal, artinya Pusat dapat bergerak dalam struktur hirarkis mulai dari tingkat Kejaksaan Agung hingga ke tingkat Kejaksaan Negeri. Bahkan ke tingkat cabang kejaksaan negeri jika diperlukan. Pusat tidak akan mengambil alih fungsi unit-unit yang selama ini telah ada dalam menangani aset-aset hasil tindak pidana yaitu Pembinaan baik ditingkat Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Negeri. Pusat menunjang kinerja Pembinaan dengan mengkoordinir proses eksekusi aset-aset hingga pelepasan (disposal) serta proses kontrol aset sehingga tidak ada aset yang tidak dapat dipertanggung jawabkan atau menjadi tidak jelas keberadaannya.

Dengan mengacu pada kebutuhan akan fleksibilitas horizontal dan vertikal sebagaimana dijelaskan diatas maka sudah tepat jika satuan tugas khusus ditingkatkan dalam bentuk Pusat dan bukan dalam bentuk lain, seperti direktorat atau bagian, karena jika dibentuk dalam bentuk unit yang berada dibawah satuan kerja tertentu fleksibilitasnya akan sangat terganggu sehingga pada gilirannya menghambat efektivitas dan efisiensi upaya pemulihan aset di Kejaksaan.

Lintas Instansi dalam Struktur Nasional
Secara de jure Kejaksaan, Pusat merupakan unsur penunjang namun secara de facto Pusat merupakan titik pusat operasi (operational central point). Dengan Pusat sebagai titik pusat operasi upaya koordinasi antar instansi menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien karena instansi lain hanya perlu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Pusat walaupun masalahnya ada diberbagai yurisdiksi Kejaksaan di seluruh Indonesia.

Upaya pemulihan aset (termasuk juga didalamnya pendataan, pelacakan, pengembalian, dan pelepasan) adalah upaya yang kompleks. Kejaksaan pada umumnya dan Pusat pada khususnya memiliki keterbatasan kapasitas dan kapabilitas untuk menangani sendiri upaya pemulihan aset tersebut. Diperlukan kerjasama antar instansi / organisasi untuk secara sinergis. Ada berbagai kegiatan yang memerlukan kerjasama misalnya: adanya keperluan Pusat untuk mengakses database yang dimiliki oleh instansi-instansi lain seperti PPATK, Kemenkumham (Imigrasi), Kementerian Keuangan (Bea Cukai), Kementerian Perhubungan (otoritas bandar udara dan pelabuhan), Bank Indonesia (lembaga-lembaga perbankan) dan badan-badan seperti BKPM, Bapepam, BNN, BNPT dan lain-lain.




Lintas Yurisdiksi
Dengan kemajuan teknologi terutama teknologi transportasi dan komunikasi disertai dengan semakin longgarnya restriksi politis karena alasan-alasan sosial ekonomi maka tindak pidana tidak lagi bersifat lokal, namun sudah berkembang menjadi tindak pidana lintas negara. Banyak tindak pidana lintas negara yang juga melibatkan aset, misalnya korupsi, perdagangan senjata, perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang, perdagangan orang, penyelundupan manusia, terorisme, pencucian uang dan sebagainya. Dalam konteks ini Pusat menjalankan dua fungsi terkait dengan operasi luar negeri dan operasi yang terkoordinasi dengan otoritas dari yurisdiksi lain. Dalam konteks formal Mutual Legal Assistance (MLA) Pusat akan menjadi representasi Kejaksaan sebagai Competent Authority dalam hal operasi pemulihan aset regional dan internasional. Sebagai competent authority, Pusat berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia selaku Central Authority yang diamanatkan oleh undang-undang dan dengan competent authority lainnya seperti Kementerian Luar Negeri, POLRI (Interpol), maupun pihak-phak penunjang seperti Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Bea Cukai dan lain-lain.

Dalam konteks semi formal maupun non formal, kerjasama juga dilakukan oleh Pusat mewakili Kejaksaan RI dengan rekan sejawat Kejaksaan (counterpart) di yurisdiksi lain seperti Kejaksaan Agung maupun dengan organisasi-organisasi ARO seperti CARIN, APARIN, GAFISUD dan lain-lain. Dalam konteks pemulihan aset Pusat juga dapat menjalin kerjasama dengan organisasi jaksa regional seperti Organisasi profesi Jaksa ASEAN dan organisasi jaksa internasional (IAP)

PENINGKATAN KINERJA
Peningkatan satgassus menjadi Pusat tidak hanya terkait dengan peningkatan struktur dan personil namun juga untuk peningkatan. Banyak keterbatasan kinerja satgassus yang harus diperbaiki oleh Pusat. Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain adalah:

Keterbatasan Fungsi
Dilihat dari namanya maka Satgassus hanya memiliki fungsi yang terbatas, yaitu melakukan penyelesaian atas barang rampasan dan barang sita eksekusi, sementara aset-aset hasil korupsi yang belum berada dalam status itu (misalnya sebagai barang bukti) belum dapat ditangani oleh Satgasssus. Jika diibaratkan proses peradilan pidana, khususnya korupsi, adalah aliran sungai maka Satgassus dibentuk untuk menyelesaikan masalah di hilir sementara masalah di hulu tidak ditangani dengan  baik. Proses asset recovery baru dapat dimulai setelah pengadilan mengeluarkan putusan yang bersifat tetap (inkraacht), artinya dalam suatu rangkaian proses peradilan pidana, asset recovery adalah bagian yang terakhir. Oleh karenanya proses ini sangat tergantung pada proses-proses sebelumya. Ketika proses-proses sebelumnya tidak memberikan detail atau arah yang jelas, maka proses asset recovery menjadi sangat sulit dan memakan waktu serta hasilnya pun menjadi tidak optimal.

 Keterbatasan Anggaran
Sumber pendanaan untuk pelaksanaan perintah tersebut dibebankan kepada anggaran Kejaksaan tahun berjalan (Daftar Isian Proyek dan Anggaran atau DIPA). Hampir tidak dimungkinkan untuk mendapatkan dana tambahan dalam tahun berjalan bila semua anggaran untuk kegiatan asset recovery telah terpakai. Sebagai konsekuensinya kegiatan asset recovery yang tidak mendapat dana penanganan akan di tunda hingga tersedianya dana. Keterbatasan anggaran ini menghambat kegiatan operasional satgassus. Aset-aset yang akan dirampas berada diberbagai wilayah di Indonesia bahkan ada juga yang berada di luar negeri. Kegiatan asset recovery adalah kegiatan operasional yang situasional. Sulit untuk diprediksikan secara akurat sebelumnya berapa besar budget yang harus disediakan. Ketika dana yang dialokasikan sudah habis, maka petugas tidak dapat menjalankan tugasnya hingga tersedia dana pada tahun berikutnya (sekitar Bulan Maret setiap tahunnya). Hal ini akan membuat penundaan dan pada gilirannya menimbulkan tumpukan pekerjaan yang kemudian menjadi beban tambahan pada pekerjaan ditahun berikutnya.

Keterbatasan dan inakurasi Data
Tidak adanya database yang akurat sehingga menyulitkan Satgas untuk melacak, menemukan dan merampas aset-aset tersebut. Data/informasi yang diperoleh satgassus pada umumnya diperoleh setelah proses persidangan selesai. Satgassus tidak memiliki kesempatan untuk memverifikasi data sejak awal (sejak tingkat penyelidikan, jika perkara korupsi-nya ditangani oleh Kejaksaan) atau kesempatan untuk melakukan pencocokan data dengan keberadaan aset secara faktual dilapangan. Banyak aset yang kemudian hanya menjadi data diatas kertas. Dilapangan, aset-aset tersebut sangat sulit dilacak keberadaannya. Tidak sesuainya data dan fakta sangat mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kerja satgassus karena dengan sumber daya dan sumber dana yang terbatas harus melakukan pekerjaan ekstra karena tidak akuratnya data.

Keterbatasan Sumber Daya Manusia
Penempatan personil satgassus lebih didasarkan kepada perintah dan bukan didasarkan pada rekruitmen dengan pola tertentu yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan satgassus, sehingga prinsip the right personnel in the right place menjadi tidak terpenuhi. Kurang  cocoknya kualifikasi personil dengan kebutuhan kerja menghambat kemajuan pekerjaan dalam beberapa hal.

Beban kerja yang tinggi akibat keterbatasan jumlah personil juga menjadi kendala yang lain. Personil yang sudah ada mengalami kesulitan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas melalui pelatihan-pelatihan dan studi banding karena sebagian besar waktu kerja mereka yang efektif telah tersita, sehingga hampir tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk peningkatan pengetahuan masing-masing personel.

Minim insentif.
Tidak adanya insentif[29] bagi unit-unit pelaksana dilapangan mengurangi motivasi bagi personel yang menangani asset recovery. Tugas asset recovery merupakan beban kerja tambahan bagi petugas-petugas di Kejaksaan-kejaksaan negeri atau Kejaksaan Tinggi didaerah. Mereka enggan melakukan tugas ini karena selain tidak adanya insentif juga karena tidak adanya anggaran yang khusus dipergunakan untuk kegiatan ini yang memakan biaya yang tidak sedikit. Keterbatasan atau ketiadaan anggaran tersebut mengakibatkan petugas lapangan seringkali harus membiayai operasi sendiri, dan hal ini merugikan mereka secara finansial.[30]

Unit-unit Kejaksaan di daerah yang bertanggung jawab untuk melakukan asset recovery (Sub Bagian Pembinaan pada Kejaksaan Negeri yang bertindak sebagai eksekutor) enggan bekerjasama dengan Satgas karena hal itu merupakan pekerjaan tambahan tanpa adanya insentif kepada mereka. Hal ini mempersulit Satgas karena adanya keterbatasan personel Satgas, cakupan wilayah satgas yang sangat luas dan dalam banyak hal pengetahuan lokal unit setempat sangat membantu dalam upaya pelacakan dan pengembalian aset.

Putusan pengadilan yang tidak jelas
Tidak jelasnya putusan pengadilan terkait detail barang-barang yang ditetapkan dirampas untuk negara sehingga menimbulkan masalah bagi akurasi penentuan obyek dilapangan.[31] Putusan pengadilan menjadi krusial bagi satgassus karena  putusan tersebut menjadi landasan bagi satgassus untuk melakukan pelacakan dan perampasan aset. Ketika referensi kurang akurat, maka satgassus akan menemui kesulitan melakukan tindak lanjut (follow up) dilapangan.


BAB IV
MODEL – MODEL ACUAN PUSAT PEMULIHAN ASET

Ada beberapa model yang diperhatikan oleh satgassus sebagai alternatif dan sebagai referensi dalam pembentukan Pusat. Diantaranya adalah Model Indonesia (Direktorat Penindakan KPK); Model Belanda (BOOM) dan Model Amerika (USMS). Pemilihan model yang sesuai dengan karakteristik Pusat tidak selalu berarti mengadopsi secara utuh salah satu model, namun dapat berupa kombinasi dari unsur-unsur yang relevan dari masing-masing model untuk diaplikasikan dalam struktur, tugas pokok dan fungsi Pusat.
Direktorat Penindakan KPK [32]
Berbeda dengan dua institusi penyidik utama lainnya (Polri dan Kejaksaan), KPK memiliki unit khusus yang menangani aset para tersangka koruptor di tahap penyidikan.[33] Unit-unit yang menangani penyidikan di Polri dan Kejaksaan memiliki dua fungsi yang harus dijalankan secara simultan, yaitu fungsi penanganan perkara dan fungsi penanganan aset-aset yang terkait dengan penanganan perkara. Dengan volume penanganan perkara yang cukup tinggi, keterbatasan personil, kurangnya anggaran, serta keterbatasan pengetahuan terkait manajemen, administrasi dan pengamanan aset-aset maka fungsi kedua seringkali terabaikan padahal fungsi ini memainkan peran yang sangat penting dalam upaya penegak hukum untuk memperkuat efek jera dan efek tangkal bagi para mereka yang berpotensi untuk melakukan tindak pidana.

Dua fungsi ini dijalankan oleh unit yang terpisah di KPK. Penanganan perkara ditangani oleh Unit penyidik yang terfokus pada penemuan alat bukti guna menentukan tersangka serta menyusun struktur perkara yang dapat diterima oleh Unit penuntutan. Pelacakan, dan pengaman, administrasi dan manajemen aset ditangani oleh unit khusus pelacakan.

Ada beberapa keterbatasan unit khusus pelacakan. Walaupun secara struktural kedua unit ini memiliki posisi yang sama, namun secara operasional unit pelacakan hanya dapat bekerja berdasarkan mandat dari unit penyidikan. Unit ini tidak dapat melakukan tindakan secara pro yustisia. Penempatan unit ini dalam struktur organisasi merupakan masalah tersendiri. Unit ini secara struktur organisasi berada dibawah Direktorat Penuntutan padahal fungsi yang dijalankannya masuk kedalam lingkup penyidikan. Akibatnya adalah rantai birokrasi menjadi lebih panjang dan lebih rumit karena bersifat lintas sektoral (sektor penyidikan dan sektor penuntutan).

Unit ini belum berfungsi sebagai one-stop unit, karena ketika perkara berpindah dari domain penyidikan ke domain penuntutan maka penangan aset juga harus berpindah sektor dari sektor penyidikan ke sektor penuntutan yaitu berpindah ke Team Jaksa Penuntut Umum (JPU). Secara operasional tanggung jawab tersebut berpindah ke JPU dan secara administratif tanggung jawab itu berpindah ke bagian Rumah Tangga yang berada dibawah Kesekretariatan. Walaupun perpindahan ini dapat dilakukan secara cepat karena telah tersedianya sistem database yang terintegrasi dan telah tersusunnya protokol transfer namun hal tersebut tetap saja menciptakan rantai birokrasi (red tape) yang baru yang mengurangi efisiensi sistem penangangan perkara yang berasas cepat, murah dan sederhana. Unit ini melihat bahwa sebenarnya akan lebih efisien jika unit ini berada dibawah Deputy Penindakan yang membawahi Direktur Penyidikan dan Direktur Penuntutan.

Selain hambatan internal, terdapat juga hambatan eksternal. Masih banyak hambatan legal praktis dilapangan, misalnya adanya praktek “kuasa menjual” dimana aset dikuasakan kepada orang lain, dan nama pelaku korupsi tidak muncul. Bila hal ini terjadi maka Penyidik atau JPU tidak berani mengeluarkan otorisasi untuk melakukan penyitaan. Hal ini disebabkan karena sistem hukum acara pidana Indonesia masih menganut prinsip in persona (penyitaan ditujukan kepada orang) bukan pada prinsip in rem (penyitaan ditujukan kepada barang).

Cakupan kerja unit ini bukan hanya yurisdiksi Indonesia, namun juga diseluruh dunia, dimana aset-aset koruptor berada. Untuk aset-aset yang berada diluar negeri, unit ini tidak dapat menanganinya sendiri, namun harus menyerahkan prosedur penanganannya kepada Unit lain, yaitu unit internasional yang berada dibawah PJKAKI untuk pembuatan Mutual Legal Assstance (MLA) dan hal-hal lain yang terkait. Hal ini pun juga pada gilirannya menciptakan rantai birokrasi lain.

Terlepas dari hambatan-hambatan birokratis diatas ada beberapa keuntungan yang didapat oleh unit khusus pelacakan aset ini:
-        Dalam pemilihan personil yang akan mengisi posisi pada unit ini, rekruitmen didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas kandidat yang relevan dengan kebutuhan operasional dan administratif unit. Unit diberikan keleluasaan untuk menetapkan kriteria kandidat dan ikut aktif dalam proses seleksi. Sehingga prinsip the right personnel on the right position dapat diterapkan;

-        Aset-aset tersangka ditangani dengan lebih baik, karena unit ini berdedikasi untuk melakukan  hal itu dan personilnya memiliki kapasitas dan kapabilitas, bila dibandingkan dengan unit penyidik yang berada di Polri dan Kejaksaan yang konsentrasi penyidiknya terpecah antara menangani perkara dan menangani aset; Penangan yang lebih baik dapat dilihat dari: teridentifikasnya aset-aset tersebut secara akurat, pengamanan dan manajemen yang memadai atas aset-aset tersangka diberbagai lokasi;

-        Mekanisme kontrol aset yang menjadi barang bukti menjadi lebih transparan dan akuntabel karena akses dapat dilakukan oleh dua unit yaitu unit pelacakan asset dan unit penyidik atau pihak lain yang relevan, sementara dilembaga penyidikan lain, kontrol atas aset lebih menjadi hak ekslusif penyidik dan tanpa mekanisme kontrol yang jelas;

-        Proses verifikasi aset sudah dilakukan sejak awal, yaitu dari proses penyidikan sehingga data yang sampai kepada penuntutan kemudian juga tertuang dalam putusan pengadilan adalah data yang terverifikasi, dengan lokasi dan kondisi aset terdata dengan jelas, sehingga akan memudahkan proses aset recovery oleh eksekutor di tahap akhir. Berbeda dengan  kedua lembaga penyidikan lainnya, yang bekerja secara parsial (antara penyidikan, penuntutan dan eksekusi). Aset seringkali tidak terverifikasi dan posisi serta kondisi aset seringkali tidak diketahui. Membuat proses asset recovery menjadi rumit, memakan waktu dan berbiaya tinggi.

Unit khusus pelacakan aset ini tidak merujuk kepada model tertentu, namun dibentuk sesuai dengan kebutuhan operasional KPK, sehingga dapat berfungsi dengan lebih efektif dan efisien.  Walaupun demikian ada acuan yang dipakai ketika unit ini dibentuk. Acuan-acuan tersebut antara lain adalah ICAC Hongkong; US Marshall; New South Wales Attorney General (Australia) dan beberapa lembaga lain.

Model Belanda (BOOM) [34]
Bureau Ontneming wetsgeving Openbaar Ministerie (BOOM) atau dalam Bahasa Inggrisnya Criminal Asset Deprivation Bureau of the Public Prosecution Service (CADB) merupakan suatu biro yang dibentuk pada 1994 dan berada di bawah Kejaksaan Belanda yang berfungsi sebagai suatu lembaga yang menangani aset-aset yang merupakan barang bukti dalam perkara pidana dan juga menangani eksekusi aset-aset hasil tindak pidana. Pembentukan biro ini berangkat dari pemikiran bahwa uang atau harta berperan sangat penting didalam [banyak] tindak pidana. Para pelaku tindak pidana [banyak] yang tidak jera melakukan kejahatannya karena mendapat keuntungan dari kejahatan tersebut.

Pemerintah Belanda melalui Kejaksaan kemudian melakukan terobosan yaitu menciptakan mekanisme yang mampu secara efektif mengurangi, menghambat dan, jika mungkin, memutuskan akses para pelaku kejahatan ke aset-aset mereka. Mekanisme inilah yang dijalankan oleh BOOM. Pesan yang ingin disampaikan oleh biro  ini kepada pelaku tindak pidana atau calon pelaku tindak pidana secara ringkas dan tepat  tergambar dalam motto mereka “crime does not pay” atau secara bebas dapat diartikan “kejahatan tidak menguntungkan.”

Dengan fungsinya itu BOOM memainkan perang yang sangat strategis dalam membantu Pemerintah Belanda menangani kejahatan yang melibatkan aset dalam jumlah yang signifikan seperti pencucian uang (money laundering). Walaupun sangat berhasil, BOOM tidak menangani semua perkara. Yang ditangani biro ini hanyalah perkara-perkara besar yang bernilai minimum 100.000 Euro (ekuivalen dengan Rp.1,2 Milyar).

Lingkup Tugas dan Koordinasi Dalam Negeri
Praktis lingkup tugas BOOM adalah area hukum acara pidana dari hulu ke hilir, mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan (pre judgment) hingga ke eksekusi dan pelepasan aset (post judgment). Dengan rentang wilayah tugas yang lengkap, maka BOOM dapat secara efektif dan efisien mengkontrol dan menjalankan manajemen aset-aset hasil tindak pidana. Selain itu BOOM juga dapat meminimalisir potensi penghilangan, perpindahan atau perubahan aset yang dilakukan oleh oknum-oknum petugas yang mempunyai akses ke aset-aset tersebut.

BOOM memainkan peran utama (central point) dalam mengkoordinasikan tindakan berbagai unit Kejaksaan Belanda (Kejaksaan Negeri dan Kantor Penuntut Umum pada Pengadilan Banding) dan Biro Penerimaan Yudisial (Central Justitie Incasso Bureau-JCIB atau Central Judicial Collection Agency dalam Bahasa Inggris). Pelaksanaan prosedur hukum acara yang berada dibawah koordinasi BOOM adalah: penyitaan (seizure), perampasan (seizure) dan penyelesaian (settlement).[35] Selain dengan instansi-instansi diatas BOOM berkoordinasi dengan otoritas penanganan aset dalam negeri lainnya seperti Kepolisian, Dinas Intelijen dan Penyidikan Fiskal, dan Dinas Penyidikan Ekonomi. Lingkup tugas yang luas ini menunjukkan bahwa BOOM merupakan lembaga yang beroperasi lintas instansi.

Lingkup Tugas dan Koordinasi Luar Negeri

BOOM tidak hanya beroperasi didalam wilayah yang merupakan yurisdiksi Pemerintah Belanda namun juga beroperasi di luar negeri dengan pola kerjasama internasional. Untuk aset-aset yang berada di luar negeri, BOOM berwenang untuk mengajukan permintaan kepada otoritas hukum setempat untuk melakukan investigasi dan melakukan penyitaan atas aset-aset. Hingga saat ini[36] BOOM menangani aset-aset hasil sitaan yang berasal dari  luar yurisdiksi Belanda senilai 660 Juta Euro (ekuivalen Rp. 8,2 Triliun). Dalam melaksanakan operasi lintas batas BOOM menjalin kerjasama dengan berbagai instansi dan jaringan yang luas, seperti jaringan Asset Recovery Offices (ARO) yang tersebar di Eropa dan Amerika latin, Europol,[37]Interpol, dan jaringan kedutaan besar. Lingkup wilayah operasi didalam dan diluarnegeri menunjukkan bahwa BOOM adalah lembaga yang beroperasi lintas wilayah.

Kerjasama dengan otoritas asing terkait penanganan aset meliputi penyidikan, pengamanan aset dan perampasan aset setelah adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (final confiscation). Penyidikan dilakukan oleh otoritas hukum asing atas permintaan BOOM melalui prosedur Mutual Legal Assistance (MLA). Pengamaan aset dapat meliputi pembekuan (freezing) dan penyitaan (seizure) aset oleh otoritas hukum asing atas permintaan BOOM.  Putusan Pengadilan Belanda yang telah berkekuatan hukum tetap atas aset-aset hasil pidana yang berada diluar yurisdiksi Belanda dapat dimintakan eksekusinya oleh BOOM kepada otoritas setempat.

Jika dalam hubungan dalam negeri, BOOM bertindak sebagai koordinator (central point) bagi otoritas penanganan aset hasil tindak pidana, dalam hubungan luar negeri BOOM bertindak sebagai penghubung (contact point) antara otoritas penanganan aset  hasil tindak pidana dari negara peminta dengan otoritas penanganan aset di Belanda (misalnya Kepolisian). Hal ini dimungkinkan karena Pemerintah Belanda menetapkan BOOM sebagai Asset Recovery Office (ARO) untuk Belanda.[38]

Personil
Jaksa yang bertugas di BOOM dibantu oleh personil berbagai kalangan. Hal ini dimungkinkan mengingat kompleksnya operasi  penanganan aset. Dalam menjalankan tugasnya biro ini mendapat bantuan dari profesi yang lain. Dukungan personil datang dari penasihat-penasihat hukum yang menguasai bidang perdata atau hukum internasional, tata usaha dari Kantor Kejaksaan, akuntan, petugas-petugas pelacak asset yang terlatih, dan tenaga administrasi. Biro ini memiliki cabang dibeberapa daerah[39]

Insentif
Mekanisme insentif telah diterapkan pemerintah. Penerimaan negara yang didapat dari kontribusi BOOM, sebagian dikembalikan ke BOOM untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas biro tersebut. Tahun 2010 BOOM berhasil menyita aset senilai sekitar 55 Juta Euro (ekuivalen Rp. 686, 7 Milyar) Hasil sitaan ini telah dikembalikan BOOM kepada Kementerian Keuangan melalui Kementerian Keamanan dan Keuangan. Sebagai insentif atas keberhasilannya pemerintah Belanda mengucurkan tambahan dana kepada biro ini, yang kemudian digunakan untuk peningkatan sarana dan prasarana sehingga hasil yang dicapai dapat lebih optimal.

Dalam konteks kerjasama internasional, otoritas asing juga mendapat insentif ketika melaksanakan putusan pengadilan Belanda untuk eksekusi aset-aset hasil tindak pidana. BOOM memiliki otoritas untuk merundingkan dan menyepakati pembagian aset hasil tindak pidana yang telah dieksekusi dengan otoritas asing yang melakukan eksekusi.

Model Amerika (USMS) [40]
Amerika Serikat memiliki suatu lembaga yang menangani aset-aset hasil tindak pidana, yaitu Asset Forfeiture Division. Divisi ini berada dibawah the United States Marshals Service (USMS), yang merupakan bagian dari Kementerian Kehakiman (DOJ atau Department of Justice) yang dipimpin oleh Jaksa Agung Amerika Serikat. Di Department of Justice bagian yang menangani aset hasil tindak pidana adalah Asset Forfeiture and Money Laundering Section (AFMLS). Seksi inilah yang berkoordinasi dengan Divisi Asset Forfeiture USMS. Dalam pelaksanaan dilapangan USMS berkoordinasi dengan Kantor-kantor Kejaksaan diseluruh Amerika yang berjumlah 94 (Sembilan puluh empat) kantor.

Fungsi dan Lingkup Tugas
USMS merancang rencana pra penyitaan (pre-seizure planning), melakukan penyitaan (seizure), mengelola aset-aset sitaan (asset management), dan pelepasan aset (Asset Disposal). Dalam rencana pra penyitaan USMS mengumpulkan data dan informasi aset yang akan disita, waktu penyitaan dan mekanisme penyitaannya, dan yang terpenting adalah USMS menentukan apakah aset tersebut harus disita atau tidak. Dalam tindakan penyitaan, USMS berwenang untuk memindahkan aset dari pemilik (owner) atau yang menjaganya (custodian); menutup akses pemilik atau orang yang menjaga aset itu; dan jika aset yang disita itu berupa bisnis, maka USMS dapat menunjuk seseorang atau badan hukum untuk menjalankan bisnis tersebut atas nama USMS.

Jaksa Agung AS memberikan wewenang kepada USMS untuk mengelola dan melepaskan aset dengan cara-cara komersial yang layak. Aset-aset yang dikelola oleh USMS dapat berbagai bentuk misalnya: uang tunai dan instrumen senilai uang (seperti traveller cheque, saham, obligasi); barang-barang pribadi (seperti barang seni, barang antik, perhiasan, mobil); property (seperti rumah, gedung komersial, tanah kosong, bisnis)

Ada beberapa mekanisme pelepasan aset yang dilakukan USMS. Yang paling sering adalah melalui lelang terbuka, baik ditingkat lokal (diwilayah aset tersebut berlokasi) maupun ditingkat nasional. USMS dapat juga menggunakan jasa perantara  (broker) profesional untuk melepaskan aset dimaksud. Dalam keadaan tertentu kontrol atas aset akan dilepaskan dan diberikan kepada pihak ketiga. USMS dapat memusnahkan untuk aset-aset yang tidak bernilai atau berbahaya/tidak diinginkan. USMS juga dapat menyumbangkan aset ke badan-badan layanan sosial.



Insentif
Ada beberapa insentif yang didapat USMS. Aset-aset tertentu yang akan dilepaskan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan tugas USMS (tetapi dengan syarat-syarat yang amat ketat).

Untuk institusi hukum atau institusi lain yang bekerja sama dengan USMS dalam penanganan aset dapat diikutkan dalam program Equitable Sharing, yaitu hasil yang didapat dari pelepasan aset akan dikembalikan kepada kepada institusi yang berpartisipasi. Hasil dari pelepasan aset ini diberikan kembali sampai dengan 80% setelah dipotong biaya-biaya, namun tidak dapat diberikan dalam bentuk uang tunai atau sejenisnya kepada para petugas. Pengembalian ini diberikan dalam bentuk lain yang menunjang pelaksanan tugas lembaga yang bersangkutan, misalnya untuk keperluan pelatihan, keperluan penyidikan dan  pengadaan alat-alat pendukung operasi.

Selain personel USMS dan mitra USMS yang mendapat insentif, korban dari suatu tindak pidana dimana USMS menyita aset dari tindak pidana itu juga dimungkinkan untuk mendapat insentif yang dikenal dengan istilah “restitusi.” Ada beberapa perkara dimana USMS memberikan restitusi, misalnya: Bayou Hedge Fund, Bernard Madoff, Enron dan Health South. Pada tahun 2010 USMS mendistribusikan sekitar USD.345 Juta (ekuivalen Rp. 3,3 triliun) sebagai restitusi kepada para korban tindak pidana.

Personil dan Alat Kerja
Personil USMS Asset Forfeiture Division direkrut melalui prosedur penerimaan pegawai yang terbuka, sehingga semua orang yang memiliki kualifikasi seperti yang diperlukan oleh divisi ini menjadi kandidat potensial. Perekrutannya dilakukan secara transparan dan setelahnya diberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas personil yang bersangkutan. Kandidat dari berbagai keahlian direkrut oleh divisi, mulai dari tenaga administrasi, tenaga manajerial, analis, spesialis operasi, akuntan, auditor para ahli hukum dan lainnya.

Aset yang ditangani oleh USMS tercatat dalam database dan dapat dilacak serta diketahui statusnya melalui suatu program komputer bernama Consolidated Asset Tracking System (CATS). Setiap aset diberi nomor identitas dan deskripsi. Dalam database tersebut juga ada nomor perkara dan nilai aset, lokasi penyimpanan aset serta lamanya aset tersebut berada dibawah pengawasan USMS. Dengan sistem ini pergerakan aset termonitor dari awal hingga akhir (mulai dari penyitaan hingga pelelangan dan pemanfaatan aset) sehingga kecil kemungkinan aset diselewengkan karena ada prosedur otorisasi yang ketat sebelum suatu aset dapat dilepas.

Sistem pelacakan ini adalah sistem berbasis web dan didesain untuk meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan mengikuti perkembangan perkara dan informasi terkait perkara tersebut.

Koordinasi
Divisi Asset Forfeiture USMS berkoordinasi dengan lembaga-lembaga yang berwenang menyita atau merampas aset hasil kejahatan. Dengan adanya divisi ini, maka beban tugas para penyidik dan penuntut umum dapat diringankan karena sebagian tanggung jawab lembaga-lembaga tersebut yang cukup menyita waktu dan tenaga yaitu penanganan barang bukti dapat dialihkan ke divisi. Selain unit-unit lain dalam lingkungan Department of Justice (termasuk juga Kejaksaan), ada lembaga lain yang dapat berkoordinasi dan memanfaatkan layanan divisi. Lembaga-lembaga itu antara lain: The Drug Enforcement Administration (DEA); the Federal Bureau of Investigation (FBI); The Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives (ATF); the United States  Postal Inspection Service, dan the United States Department of Agriculture.

PEMILIHAN MODEL SEBAGAI ACUAN
Dengan mengacu kepada fungsi Kejaksaan yang bergerak dalam tiga level, mulai dari bidang penyidikan, penuntutan hingga eksekusi maka model yang menjadi acuan pembentukan Pusat Pemulihan Aset adalah suatu unit kerja yang bergerak dalam ketiga level tadi. Satgassus hanya bergerak dalam satu level yaitu level eksekusi.

Dengan mengacu kepada kesamaan karakter antara Kejaksaan Belanda tempat BOOM bernaung dan Kejaksaan Indonesia tempat satgassus bernaung dan dengan mengacu kepada kesamaan rumpun hukum (civil law) serta mengacu juga kepada kaitan historis antara lembaga penuntutan Belanda dan lembaga penuntutan Indonesia maka pilihan yang paling logis adalah membentuk Pusat dengan mekanisme kerja yang mengacu pada model Belanda (BOOM). Selain itu BOOM juga merupakan acuan bagi Asset Recovery Offices yang ada di negara-negara Eropa.

Dengan mengacu kepada kesamaan dalam luasnya jaringan kerja unit-unit penanganan aset maka pilihan yang paling logis adalah sistem teknologi dan informasi dalam manajemen aset-aset yang berada dalam penguasaan Pusat dibangun berdasarkan model Amerika (USMS) mengingat letak geografis kantor-kantor pengelola aset di Amerika yang banyak dan berjauhan serta mencakup daerah yang luas mirip dengan karakter kantor-kantor kejaksaan yang tersebar di Indonesia. Salah satu tugas pokok dan fungsi Pusat adalah melakukan koordinasi dan kontrol atas kegiatan unit-unit yang secara geografis tersebar itu, cara yang paling efektif dan efisien adalah melalui jaringan teknologi dan informasi dan hal itu dimiliki oleh Amerika yang telah berpengalaman lebih dari 40 tahun mengembangkan dan menyempurnakan sistemnya.

Dari segi pendanaan/anggaran untuk kegiatan operasional dan manajemen, Pusat tidak bisa menerapkan sistem Amerika karena sistem keuangan Indonesia adalah single state account yang tidak membedakan penerimaan negara dari kegiatan legal dan penerimaan negara sebagai hasil penindakan hukum atas kegiatan ilegal. Amerika menganut double state account dimana penerimaan negara dari hasil penindakan atas kegiatan illegal dimasukkan kedalam pos keuangan penegakan hukum dan dipisahkan dari pos penerimaan dari kegiatan-kegiatan legal.

Sebenarnya sistem Amerika lebih ideal bagi Pusat karena kegiatan pemulihan aset (termasuk juga didalamnya asset tracing, asset recovery dan asset repatriation) bukanlah kegiatan yang regular atau kegiatan yang selalu dapat diprediksikan kapan akan terjadi. Dalam sistem Amerika selalu ada dana siaga yang dapat digunakan sewaktu-waktu tanpa prosedur yang berbelit untuk kepentingan penegakan hukum. Sementara dalam sistem one state account seperti Indonesia dan Belanda maka prosedur pengeluaran dana untuk kegiatan operasional melalui mekanisme yang sama dengan pengeluaran dana untuk kegiatan-kegiatan regular yang terstruktur dan terencana, tidak dikenal unsur dadakan.

Karena kegiatan pusat kadang kala bersifat dadakan, tidak terstruktur dan tidak terencana tergantung dinamika lapangan maka model konvensional yang dijalankan selama ini tentu menyulitkan karena unsur waktu menjadi hal yang krusial padahal unsur waktu (yang cepat) tidak terakomodasi dalam sistem konvensional. Solusinya adalah mengadopsi sistem Australia dimana dapat dibentuk pos anggaran khusus untuk pembiayaan kegiatan mendadak yang dapat diakses tanpa melalui prosedur yang panjang dan berbelit. Pos anggaran ini menjawab kebutuhan praktis akan terkait dengan kecepatan pencairan dana operasional namun tidak melanggar prinsip one state account karena tidak menciptakan account yang baru.

BAB V
PUSAT PEMULIHAN ASET DALAM STRUKTUR KEJAKSAAN

Setelah mendapat gambaran tentang model Pusat terkait dengan fungsinya, mekanisme kerjanya serta anggaran / pendanaannya selanjutnya adalah pembentukan cetak biru pusat dengan mengacu kepada pedoman dan batasan-batasan yang digariskan oleh berbagai undang-undang dan peraturan. Untuk lebih memahami bagaimana suatu Pusat terstruktur terlebih dahulu perlu memahami struktur Kejaksaan secara umum.

Struktur Umum
Secara struktural organisasi Kejaksaan Agung Republik Indonesia terdiri dari empat unsur. Pertama adalah Unsur pimpinan yang terdiri dari Jaksa Agung selaku pimpinan dan penganggung jawab tertinggi Kejaksaan dan Wakil Jaksa Agung yang membantu Jaksa Agung melaksanakan tugas dan kewenangannya.[41]

Kedua adalah Unsur pembantu pimpinan terdiri dari enam Jaksa Agung Muda yang terdiri dari Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAM Bim); Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel); Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum); Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus); Jaksa Agung Muda Bidan Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun); dan Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was).[42]

Ketiga adalah unsur penunjang. Unsur penunjang terdiri dari dua struktur yaitu Badan Diklat (Badiklat) dan Pusat (Pus). Badan Diklat adalah unsur penunjang setingkat jaksa agung muda namun tidak dimasukkan kedalam unsur pembantu pimpinan. Badan Diklat diposisikan oleh peraturan presiden sebagai unsur penunjang tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pendidikan dan pelatihan serta berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[43] Pusat juga merupakan unsur penunjang tugas dan fungsi Kejaksaan serta berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[44]

Walaupun sama-sama berfungsi sebagai unsur penunjang namun Pusat tidak setingkat  dengan Jaksa Agung Muda atau Badan Diklat. Hal itu dapat dilihat dari pejabat yang memimpin satuan-satuan kerja tersebut. Jaksa Agung Muda dan Kepala Badan Diklat adalah pejabat setingkat Eselon IA[45] dan Kepala Pusat adalah pejabat setingkat Eselon IIA.[46]

Keempat adalah unsur Staf Ahli yang berada dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung serta dikoordinir oleh Wakil Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat memiliki staf ahli hingga 6 (enam) ahli. Para ahli bertugas memberikan telaahan kepada Jaksa Agung mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahlian mereka masing-masing.[47]

Struktur Khusus
Berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 pasal 38 ayat (3) juncto pasal 39 ayat (2) suatu Pusat terdiri dari 1 (satu) Bagian dan sebanyak-banyaknya 4 (empat) bidang. Bagian dan bidang berada dalam hirarki yang sama dan dipimpin oleh pejabat setingkat Eselon IIIA.[48] Kepala Pusat adalah pejabat setingkat eselon IIA. Peraturan Presiden juga membolehkan adanya sub bagian dan sub bidang, masing-masing bagian dan bidang dapat memiliki hingga 4 (empat) sub bagian atau sub bidang. Berdasarkan fungsi dan peranannya maka Pusat Pemulihan Aset dapat memiliki struktur sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden namun mengingat bahwa Pusat ini adalah pada hakekatnya adalah unit yang kaya fungsi dan ramping struktur maka Pusat tidak akan menggunakan semua pos yang tersedia untuk mengurangi rantai birokrasi.

Selain pos-pos diatas, dimungkinkan juga adanya pos tenaga ahli pada Pusat berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 pasal 58 yang tujuannya adalah untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, yang dalam konteks ini adalah tenaga-tenaga ahli yang keahliannya relevan dengan upaya asset recovery dan asset management dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Pusat. Peraturan presiden memberikan keleluasan kepada Kejaksaan, dalam hal ini adalah Pusat, untuk merekrut tenaga-tenaga ahli apakah mereka berasal dari pegawai negeri atau juga dari kalangan non pegawai negeri. Dalam konteks pemulihan aset, ada beberapa tenaga ahli yang dapat membantu pelaksanaan kerja Pusat, diantaranya adalah ahli terkait asset recovery dan transnational crime, ahli pelacakan aset, ahli audit forensik, ahli penilai (appraiser), ahli informasi dan teknologi, ahli komunikasi dan lain-lain.

Pusat dibentuk dengan Penetapan Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Per Februari 2013 terdapat tiga Pusat dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung, yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Penerangan hukum dan Pusat Data Statistik Kriminial dan Teknologi Informasi.[49] Secara organisatoris, masih di mungkinkan pengembangan struktur yang dapat mengakomodasi hingga 6 Pusat.[50] Dengan demikian  dengan persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Jaksa Agung dapat menetapkan meningkatkan status Satuan Tugas Barang Rampasan menjadi Pusat dan akan  menjadi Pusat ke empat dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung.

Lingkup Operasi
Secara garis besar Pusat bergerak di tiga ranah yaitu ranah nasional dan ranah regional dan internasional. Dalam ranah nasional, Pusat bergerak dalam lingkup internal (antar unit dalam struktur kejaksaan) dan lingkup eksternal (antar lembaga dan antar instansi dalam struktur penegakan hukum nasional). Dalam ranah regional dan internasional Pusat bergerak baik dalam konteks sebagai Asset Recovery Office maupun sebagai Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal operasi lintas yurisdiksi untuk melakukan tindakan pro yustisia, non pro yustisia (intelijen, capacity building) maupun kerjasama internasional (memberikan bantuan bagi lembaga-lembaga yustisi negara sahabat untuk penanganan aset dalam yurisdiksi Indonesia).

Peran dan Fungsi
Kepala Pusat (Kapus) adalah pembuat kebijakan (policy maker); pembuat keputusan (decision maker) dan pengendali (controller) atas seluruh kegiatan Pusat Pemulihan Aset baik yang bersifat operasional maupun administratif. Wilayah yang menjadi wewenangnya adalah semua wilayah dalam negeri baik internal kejaksaan maupun eksternal kejaksaan (antar instansi/lembaga). Karena Pusat menjalankan fungsi Asset Recovery Office dan Asset Management Office maka maka Kepala  Pusat secara ex officio adalah juga  contact person untuk Asset Recovery Office and Asset Management Office negara-negara lain ataupun jaringan Asset Recovery Office dan Asset Management Office seperti CARIN (Camden Asset Recovery Interagency Network). Dalam menjalankan tugas sehari-harinya Kepala Pusat didukung oleh tiga pilar utama yaitu Kepala Bagian, Kepala Bidang, dan Tenaga Ahli.

Hubungan antara Kepala Pusat dengan Kepala Bagian dan Kepala Bidang adalah hubungan hirarkis (jalur komando), sedangkan hubungan antara Kepala Pusat dengan Tenaga ahli adalah hubungan koordinatif  dan konsultatif. Hubungan antara Kepala Pusat dengan pimpinan-pimpinan satuan kerja yang lain adalah hubungan koordinatif sedangkan hubungan antara Kepala Pusat dengan unsur pimpinan, terutama Jaksa Agung adalah hubungan pertanggung jawaban langsung.

Kepala Bagian dalam  Pusat adalah Kepala Bagian Tata Usaha yang tugas pokok dan fungsi utamanya adalah melaksanakan kegiatan administrasi personel, dokumen, keuangan, dan logistik. Hubungan Kepala Bagian Tata Usaha dengan Kepala Bidang adalah hubungan koordinatif dan hubungan antara Kepala Bagian Tata Usaha dengan tenaga ahli adalah hubungan konsultatif.

Fungsi operasional dan manajemen dijalankan oleh Kepala Bidang Operasi dan Manajemen tugas pokoknya adalah menjalankan operasi pendukung tindakan pro justitia, keperdataan dan tindakan  hukum lainnya terkait dengan pelacakan, penguasaan dan pengembalian aset serta menjalankan manajemen aset mulai dari hulu (masuknya aset kedalam sistem) hingga hilir (keluarnya aset dari sistem). Hubungan Kepala Bidang dengan Kepala Bagian adalah hubungan koordinatif sedangkan hubungan Kepala Bidang dengan Tenaga ahli adalah hubungan konsultatif.

Kepala Bidang dibantu oleh dua Kepala Sub Bidang (Kasubbid) yaitu Kasubbid Operasi dan Kasubbid Manajemen. Kasubbid Operasi melaksanakan operasi dalam yurisdiksi Indonesia dan menjalankan kerjasama lintas negara terkait dengan tindakan pro justitia, keperdataan dan tindakan hukum lainnya. Kasubbid Manajemen melakukan manajemen penerimaan, pengelolaan, pengamanan hingga penyelesaian aset baik untuk aset-aset baik untuk kepentingan penegakan hukum dalam negeri maupun dalam rangka kerjasama internasional. Hubungan Kasubbid operasi dan kasubbid manajemen dengan dengan Kepala Bidang Operasi dan Manajemen adalah Hubungan hirarkis (jalur komando)

Pos tenaga ahli diisi oleh tenaga-tenaga yang memiliki keahlian khusus dan relevan dengan pelaksanaan tugas operasional, manajemen dan administrasi Pusat. Jumlah tenaga ahli disesuaikan dengan kebutuhan Pusat sehingga dapat berkurang atau bertambah. Dari antara tenaga ahli ditunjuk seorang koordinator oleh Kepala Pusat dengan mendengar masukan-masukan dari antara tenaga ahli, kepala bagian dan kepala bidang. Posisi koordinator dalam struktur adalah disetarakan dengan Kepala Bagian dan Kepala Bidang namun tidak dalam hubungan hirarkis (jalur komando) dengan Kepala Pusat ataupun dengan pejabat-pejabat lain dalam struktur Kejaksaan. Hubungan koordinator ahli dengan pejabat struktural Pusat adalah hubungan konsultatif, kecuali dengan Kepala Pusat hubungannya selain konsultatif adalah juga hubungan koordinatif terkait pengambilan kebijakan.

Secara fungsional suatu pusat adalah unsur penunjang tugas dan fungsi kejaksaan.[51] Hal ini berarti dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kejaksaan ada dua unsur yang berperan yaitu unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama  dalam hal ini adalah satuan-satuan kerja yang relevan, misalnya: tindak pidana umum, tindak pidana khusus dan perdata dan tata usaha negara. Unsur penunjang dalam hal ini adalah Pusat Pemulihan Aset.

Sebagai penunjang tindakan pro justitia satuan-satuan kerja kejaksaan, Pusat memiliki tujuh peran yaitu: 
-        peranan pertama sebagai penunjang kegiatan teknis operasional seperti penyitaan, perampasan, pelacakan dan pengembalian aset;
-        peranan kedua sebagai penunjang administratif berupa pembuatan database aset;
-        peran ketiga membantu pimpinan melalui mekanisme kontrol atas aset sehingga memudahkan pimpinan mendapatkan informasi/data terbaru serta untuk membuat kebijakan taktis dan strategis;
-        peran keempat sebagai pengelola (manager) aset-aset yang dikuasai oleh satuan-satuan kerja untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut nilainya tidak berkurang, hilang, atau rusak;
-        Peran kelima sebagai penunjang satuan kerja terkait dalam proses penyelesaian atau pelepasan aset yang sudah berkekuatan hukum tetap melalui jalur-jalur yang tepat untuk sehingga mendatangkan manfaat bagi negara, masyarakat dan institusi kejaksaan sendiri.
-        Peran keenam adalah berkoordinasi dengan satuan kerja lain seperti satuan intelijen dan jaksa penyelidik untuk melakukan identifikasi atas aset-aset subyek hukum yang menarik perhatian karena diindikasikan melakukan tindakan melawan atau melanggar hukum.
-        Peran ketujuh adalah melakukan penilaian (appraisal) atas aset-aset untuk mendapatkan nilai indikatif untuk memberikan patokan harga dalam proses pelepasan aset.

LANGKAH KEDEPAN
Ke depannya Pusat mengantisipasi akan melakukan kegiatan bukan saja penindakan tetapi juga pencegahan. Untuk penindakan bukan hanya untuk pemulihan aset berdasarkan prinsip in persona (conviction based) namun juga berdasarkan prinsip in rem (non conviction based). Lingkup pemulihan aset tidak terbatas pada pemulihan secara pidana namun juga secara perdata mengingat Kejaksaan memiliki kewenangan keperdataan dan sangat terbuka ruang untuk mengoptimalkan pemulihan aset melalui jalur-jalur perdata. Sehingga Pusat akan memiliki opsi yang lebih luas dalam penanganan aset apakah lewat jalur pidana atau perdata.

Pusat mengantisipasi munculnya legislasi baru terkait dengan perampasan dan pemulihan aset yang menggunakan prinsip in rem. Landasan pemikirannya adalah: negara adalah korban dan karena itu memiliki hak untuk mengambil kembali harta yang diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana. Kesulitannya adalah jika memakai sistem in personam seperti yang diterapkan oleh KUHAP maka aset-aset yang dapat disita hanyalah aset-aset yang terkait atau dapat dikaitkan dengan pelaku. Unsur pelaku dan aset harus ada dan keduanya harus saling terkait. Pusat mengantisipasi legislasi perampasan dan pemulihan aset akan menerapkan sistem in rem. Dalam sistem ini tidak diperlukan adanya pelaku. Filosofinya adalah: “yang jahat itu adalah barang nya bukan orangnya.” Jangkauan sistem ini lebih luas daripada jangkauan sistem in personam karena aparat dapat merampas aset-aset yang tidak jelas kepemilikannya atau kepemilikannya disamarkan atau barang-barang temuan. Sistem in rem diaplikasikan dalam perampasan aset tanpa adanya pidana (non conviction based) sedangkan sistem in personam diaplikasikan dalam perampasan aset dalam peristiwa pidana yang diketahui pelakunya (conviction based).

Pusat dapat bergerak dalam dua tataran yaitu tataran penanganan aset terkait tindak pidana (menggunakan undang-undang yang telah ada) dan tataran penanganan aset yang tidak atau belum terkait tindak pidana (menggunakan undang-undang perampasan dan pemulihan aset). Tataran ini diperluas lagi dengan tataran perdata yang memungkinkan para jaksa melakukan gugatan-gugatan perdata atau meminta  penetapan hakim terkait status aset.

Jaringan internasional yang telah dirintis oleh satgassus seperti tergabungnya satgassus dalam CARIN yang saat ini merupakan satu-satunya wakil Asia akan lebih diperluas. Kerjasama sama akan dilakukan disegala lini, bukan saja secara formal dengan bekerja sama dengan perangkat hukum dan lembaga-lembaga/institusi negara atau pemerintah negara-negara sahabat tetapi juga secara informal melalui jaringan-jaringan.




 BAB VI 
PENUTUP

KESIMPULAN
Orientasi penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berorientasi pada harta/aset yang lebih menekankan pada menangkap dan menghukum pelaku terbukti masih belum efektif untuk menekan angka tindak pidana. Salah satu parameter yang jelas adalah indeks persepsi korupsi Indonesia yang tidak kunjung membaik walaupun pemberantasan korupsi gencar dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Kejaksaan. Para pelaku tindak pidana masih bebas bergerak karena mereka masih dapat membiayai operasi mereka dan menikmati hasil dari tindak pidana mereka.

Kejaksaan memiliki legitimasi yang sangat luas dalam penanganan aset dalam rangka tindakan pro justitia mulai dari penyidikan hingga eksekusi, demikian juga penanganan aset dalam rangka pelaksanaan wewenang Kejaksaan dibidang perdata. Namun mekanisme penanganan aset saat ini masih belum terintegrasi dan belum ada suatu unit yang didedikasikan untuk keperluan tersebut. Hal ini menimbulkan efek berlebihnya beban jaksa, tidak terkontrolnya pergerakan aset sehingga menimbulkan ekses-ekses seperti aset yang hilang, berkurang, berubah bentuk sehingga mempengaruhi nilai keekonomiannya, serta rawan untuk digelapkan.

Mekanisme penanganan aset selama ini yang hanya aktif di hilir (eksekusi) namun kurang diberdayakan di hulu (penyidikan dan penuntutan) menimbulkan banyak masalah  terutama dengan pertanggung jawaban Kejaksaan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan.

Pendirian Pusat Pemulihan Aset membawa paradigma baru yaitu dilakukan dua pendekatan secara simultan yaitu pendekatan pelaku yang dilakukan oleh satuan kerja teknis dan pendekatan aset yang dilakukan oleh Pusat Pemulihan Aset dengan tujuan memotong atau paling tidak secara signifikan menghambat akses para pelaku kejahatan ke aset-aset mereka. Bagi pelaku aset-aset tersebut ibaratnya darah atau oksigen. Jika hal yang vital itu dihambat maka pelaku akan kehabisan upaya atau kekurangan pilihan untuk mempertahankan dirinya, melarikan diri dari hukum atau mengulangi kejahatannya.

Upaya menjauhkan aset dari pelakunya adalah bagian dari pesan penegak hukum kepada para pelaku kejahatan bahwa kejahatan itu tidak menguntungkan (crime does not pay). Jika pesan ini diterima oleh pelaku atau calon pelaku, mereka kemudian melakukan pilihan rasional yaitu tidak melakukan kejahatan karena risiko dan biayanya lebih besar daripada keuntungan yang didapat. Penindakan berupa perampasan aset dan pemulihan aset yang memiskinkan pelaku tindak pidana disatu sisi dan mendatangkan keuntungan bagi negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah sasaran antara bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah jika angka kejahatan yang berorientasi harta dapat ditekan secara signifikan karena pilihan para pelaku atau calon pelaku dikurangi dengan cara menghilangkan alasan utama mereka (harta) dan masyarakat turun berperan serta menghilangkan alasan utama tersebut dengan cara berbagi informasi dengan Pusat Pemulihan Aset. Pada akhirnya Pusat Pemulihan Aset akan beralih peran dari ujung tombak menjadi instrument, sedangkan masyarakat akan berperan lebih aktif menjadi ujung tombak dan memanfaatkan instrument untuk menghambat tindak pidana berorientasi harta.

Pusat Pemulihan Aset melakukan penanganan aset secara terintegrasi dengan cara bergerak di tiga tataran yaitu penyidikan, penuntutan dan eksekusi. Hal ini merupakan perubahan yang sangat signifikan dalam mekanisme penanganan aset dan juga memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah-masalah kronis yang dihadapi Kejaksaan. Dengan hadirnya Pusat Pemulihan Aset pada tiga tataran maka tugas satuan kerja teknis dan tenaga administrasi menjadi sangat diringankan karena pada perkara-perkara dimana terdapat aset-aset yang harus ditangani para jaksa dan tenaga administrasi dapat berkonsentrasi pada menyusun struktur perkara serta menjalankan administrasi perkara, sementara pekerjaan penanganan aset akan dilaksanakan oleh Pusat Pemulihan Aset. Hal ini mengurangi beban kerja jaksa dan tenaga administrasi karena aset sudah ditangani oleh satuan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Pusat penanganan aset yang bergerak ditiga ranah juga akan menutup atau mengurangi kemungkinan terjadinya masalah pada aset-aset seperti berkurang, hilang, rusak atau kehilangan nilai ekonomisnya karena hanya ada satu unit yang menangani aset walaupun secara administrasi perkara berpindah dari satu tahap ke tahap lain.

Pusat Pemulihan Aset yang bergerak di tiga ranah akan secara signifikan mengurangi masalah terkait dengan ketidak sesuaian antara temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan aset-aset yang ada di tahap eksekusi dan juga meminimalisir risiko aset-aset yang tidak dapat di eksekusi.

Pusat Pemulihan Aset tidak tumpang tindih atau mengambil alih tugas satuan kerja teknis karena tugas pokok dan fungsinya berada pada level yang berbeda dengan satuan kerja teknis. Pusat Pemulihan Aset berada pada level terbawah atau pada level pelaksana lapangan (field operator) yang memperlancar kerja satuan-satuan kerja teknis yang berada di level diatasnya.

Dalam konteks penerimaan negara, Pusat Pemulihan Aset jika sudah berfungsi secara optimal akan mendatangkan keuntungan pada negara melalui penerimaan negara bukan pajak dari hasil-hasil pelepasan aset (asset disposal). Karena Pusat Pemulihan Aset dirancang dalam struktur yang ramping namun kaya fungsi maka anggaran negara tidak terbebani karena rantai birokrasi yang ringkas namun efektif dan efisien.


SARAN
Berdasarkan kajian diatas maka disarankan agar dibentuk Pusat Pemulihan Aset pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang memiliki fungsi penunjang satuan kerja teknis/operasional di Kejaksaan dan bergerak diranah pidana dan perdata baik didalam negeri (melalui kegiatan lintas satuan kerja Kejaksaan dan lintas instansi nasional) maupun diluar negeri (lintas yurisdiksi).


End/


[1] Penulis Ferdinand T. Andi Lolo S.H, LL.M, Ph.D, sebagian data terkait tindak pidana berorientasi harta diolah dari data Tim Peneliti Asset Recovery Pusat Kajian Kriminologi, Universitas Indonesia yang terdiri dari Iqrak Sulhin, Truly Hitosoro, Bayu.
[2] Keterangan Direktur Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Maulana dalam diskusi bertajuk “Sepuluh Kementerian/Lembaga Berpotensi terkorup dan merugikan negara,” yang diadakan oleh FITRA pada 15 Juli 2012 sebagaimana dikutip oleh Harian Kompas 16 Juli 2012.
[3] KUHAP pasal 1 angka 6 juncto pasal 270 juncto pasal 278; UU No.16 tahun 2004 pasal 1 angka 1 dan angka 2 juncto pasal 30 ayat (1) huruf b.
[4] PP 6/2006 pasal 2 ayat 2 huruf c dan d.
[5] Permenkeu No.96/PMK.06/2007 pasal 3 ayat 3 huruf b.
[6] PERJA No.PER-009/A/JA/01/2011 pasal 81 huruf f dan g.
[7] Vide pasal 3 huruf c PERJA 009/2011.
[8] Vide pasal 3 huruf b PERJA 009/2011.
[9] Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI pasal 12 ayat (2).
[10] Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI pasal 81 huruf f dan g.
[11] Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia pasal 506 juncto Pasal 407 ayat (3).
[12] Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia pasal 597.
[13] Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi berdiri pada tahun 2010 namun baru mulai efektif pada 2011.
[14] Tempo.co.id, 16 Juli 2012.
[15] Harian Kompas 16 Juli 2012.
[16] Vide surat Ketua BPK Nomor 85/S/I/09/2010 yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI); Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik  Indonesia (DPD RI); Presiden Republik Indonesia; Ketua DPRD Provinsi / Kabupaten /Kota di seluruh Indonesia; Gubernur  / Bupati / Walikota di seluruh Indonesia.
[17] IHPS I 2010 halaman 18; 133.
[18] IHPS I 2010 halaman 43.
[19] IHPS I 2010 halaman 131.
[20] IHPS I 2010 halaman 131.
[21] Harian Kompas, 16 Juli 2012.
[22] Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-X-361/C/11/2010 tanggal 25 November 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi yang merupakan revisi dari Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-X-308/C/10/2010 tanggal 27 Oktober 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi.
[23] Dasar pertimbangan Jaksa Agung Muda Pembinaan dalam memerintahkan Satgas untuk menyelesaikan proses perampasan barang perkara tindak pidana korupsi, contoh Surat Perintah No. Prin-021/C/Cu.3/02/2011 tanggal 18 Februari 2011; Surat Perintah No. Prin-170/C/Cu.3/2011 tanggal 23 September 2011.
[24] Untuk saat ini belum ada kegiatan asset recovery diluar negeri.
[25] Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor Prin-021/C/Cu.3/02/2011.
[26] Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor Prin-170/C/Cu.3/09/2011.
[27] Update pertanggal 20 Oktober 2011, data Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi
[28] Perpres 38/2010 pasal 33.
[29] Tidak selalu harus dalam bentuk insentif finansial. Bisa berbentuk lain seperti pengembangan karir misalnya: penempatan pada jabatan struktural dan daerah tertentu, kesempatan pendidikan lanjutan dan lain-lain.
[30] Wawancara dengan Ketua Pelaksana Satgas Chuck Suryosumpeno (07 Oktober 2011) dan Sekretaris Satgas Murtiningsih (21 Oktober 2011) di Kantor Satgassus, Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan.
[31] Wawancara dengan Ketua Pelaksana Satgas Chuck Suryosumpeno (07 Oktober 2011) dan Sekretaris Satgas Murtiningsih (21 Oktober 2011) di Kantor Satgassus, Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan.
[32] Diolah dari wawancara dengan Daly Rustamblin penanggung jawab unit khusus pelacakan aset pada Direktorat Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 November 2011.
[33] Satgassus baru mulai menangani aset-aset hasil korupsi pada level akhir (setelah terbitnya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap) sementara unit KPK sudah mulai aktif terlibat pada level yang lebih awal (tahap penyidikan).
[34] Bagian tulisan ini diambil dari berbagai referensi yaitu: Majalah Requisitoire vol.16/2012; publikasi situs resmi BOOM (www.om.nl) diakses pada 28 Agustus 2012.
[35] Penyelesaian aset sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak dikenal dalam sistem hukum acara pidana Indonesia. Di Kejaksaan, mekanisme seperti ini masuk kedalam domain Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN) bukan domain Bagian Tindak Pidana Umum (PIDUM) atau Tindak Pidana Khusus (PIDSUS).
[36] Tahun 2012 menurut situs resmi BOOM yang diakses pada 28 Agustus 2012.
[37] European Union Police Office, merupakan Dinas Intelijen Eropa yang menangani tindak pidana. Europol mulai beroperasi 1 Juli 1999.
[38] Berdasarkan Keputusan Dewan Uni Eropa (EU Council Decision) Nomor 2007/845/JBZ ditetapkan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus menetapkan lembaga penghubung khusus (special contact point) bagi penanganan aset hasil tindak pidana. Lembaga khusus ini bertugas untuk mengadakan tukar menukar informasi dan berbagi pengetahuan tentang cara-cara praktis terbaik penanganan aset hasil tindak pidana.
[39] Leeuwarden, Zwolle, Amsterdam, Rotterdam dan Den Bosch.
[40] Bagian dari tulisan ini diambil dari presentasi oleh (Ms). Kimberly Beal – USMS yang disampaikan pada Third Annual Asset Forfeiture Conference, Four Seasons Hotel, Jakarta 21-25 Mei 2012.
[41] Perpres 38/2010 pasal 6 juncto pasal 8 ayat (2) juncto pasal 9 juncto pasal 10.
[42] Perpres 38/2010 pasal 8 ayat (3).
[43] Perpres 38/2010 pasal 29 ayat (1).
[44] Perpres 39/2010 pasal 33 ayat (1).
[45] Per JA No.PER-009/A/JA/01/2011 Pasal 483 ayat (1).
[46] Per JA No.PER-009/A/JA/01/2011 Pasal 483 ayat (3).
[47] Perpres 38/2010 pasal 32.
[48] Per JA No.PER-009/A/JA/01/2011 Pasal 483 ayat (5).
[49] Vide bagan struktur Organisasi Kejaksaan Agung pada Perpres 38/2010 juncto Pasal 7 angka 11 Per-009/A/JA/01/2011.
[50] Vide Perpres 38/2010 pasal 39.
[51] Vide Perpres 38/2010 pasal 33 ayat 1.