Saturday 15 September 2012


Tulisan ini dimuat di Majalah REQuisitoire, volume 19/2012
Bagian Ketiga dari Tiga Tulisan

PENUNTUTAN JARINGAN PENYELUNDUPAN MANUSIA
 
Ferdinand T. Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

 

 
Tindak Pidana yang dilakukan Jaringan[1]

Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian mendefinisikan Penyelundupan Manusia sebagai perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak. Definisi ini menunjukkan bahwa tindak pidana penyelundupan manusia merupakan suatu tindak pidana yang secara praktis tidak dapat dilakukan oleh pelaku tunggal. Untuk dapat secara efektif memutuskan rantai penyelundupan manusia atau paling tidak menghambat pergerakan arus imigran gelap memasuki wilayah Indonesia dan keluar dari wilayah Indonesia maka penuntut umum seyogyanya melihat tindak pidana ini dilakukan oleh suatu jaringan sebagaimana kita melihat suatu gambaran puzzle yang utuh atau suatu gambar yang tersusun dari banyak mozaik, karena jika hanya melihat tindak pidana ini dilakukan oleh orang per orang maka benang merah yang menghubungkan antara pelaku satu dengan pelaku yang lain menjadi tidak tampak sehingga upaya penuntutan menjadi kurang berhasil guna. Seorang pelaku yang dituntut dan dihukum dapat dengan mudah digantikan tempatnya oleh orang-orang lain. Banyak yang bersedia karena imbalannya yang cukup menggiurkan, terutama bagi mereka yang berada dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah. Namun bila jaringan yang di hancurkan atau dirusak maka perlu waktu untuk membangun kembali jaringan itu atau untuk membuat jaringan baru. Hal lain mengapa penuntut umum seyogyanya melihat pelaku tindak pidana sebagai suatu jaringan adalah jika penuntut melihat pelaku tindak pidana ini adalah perorangan maka penuntututan akan menjadi terbatas pada orang itu saja, dan ini tidak menyusahkan jaringan karena orang yang dituntut dan dipidana itu dapat segera tergantikan. Konsekuensinya adalah disadari atau tidak penuntut umum justru tetap melestarikan operasi penyelundup manusia. Namun memang tetap harus diingat, konteks menjerat para pelaku sebagai suatu jaringan harus tetap berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang cukup dan tidak berdasarkan pada asumsi semata.

 

Skala operasi penyelundupan manusia cukup luas karena merupakan kejahatan lintas negara (transnational crime) yang paling sedikit melibatkan tiga wilayah, yaitu wilayah asal para imigran gelap (origin), wilayah transit atau penghubung (hub) dan wilayah tujuan (destination). Indonesia adalah wilayah transit atau penghubung yang sangat penting bagi para pelaku tindak pidana penyelundupan manusia karena wilayah perairannya di bagian selatan berbatasan langsung dengan wilayah perairan Australia bagian utara. Selain itu para penyelundup manusia sangat tergantung kepada kerjasama orang-orang setempat sebagai pelaksana atau pembantu pelaksana mobilisasi para imigran gelap melalui wilayah Indonesia. Tenaga-tenaga setempat yang memiliki pengetahuan, keahlian dan koneksi sangat berperan besar dalam kegiatan ini. Banyak peran yang mereka lakukan. Ada yang berperan sebagai pengangkut, penyedia alat angkut dan pengatur perjalanan baik melaui darat, laut maupun udara. Ada yang berperan sebagai penyedia akomodasi dan pengatur akomodasi. Ada yang berperan sebagai  penyedia dokumen atau surat-surat identitas atau surat-surat perjalanan palsu atau dipalsukan, ada yang berperan sebagai fasilitator aliran dana ataupun sebagai penampung dan penyalur aliran dana. Ada yang berperan sebagai perekrut tenaga-tenaga lokal. Ada yang berperan sebagai perekrut imigran-imigran gelap baik yang masih ada diluar negeri, misalnya di Malaysia atau di Thailand maupun yang sudah berada di Indonesia namun belum menemukan orang yang menyeberangkan mereka ke wilayah Australia. Ada yang berperan sebagai penghubung (liaison) dengan oknum-oknum aparat agar tidak ada hambatan dalam pergerakan para imigran gelap beserta penyelundupnya. Ada yang berperan sebagai penyedia atau  pengatur logistik seperti bahan bakar, bahan makanan, suku cadang dan perlengkapan alat angkut.

 

Selain melibatkan banyak orang dengan berbagai peran, tindak pidana penyelundupan manusia juga melibatkan pelaku dengan berbagai tingkat. Pada tingkat paling bawah (tingkat pertama) adalah pelaksana-pelaksana lapangan, tingkat kedua adalah para koordinator yang mengkoordinir kegiatan pelaksana lapangan, tingkat ketiga adalah pengendali yang mengendalikan kegiatan para koordinator dan berkoordinasi dengan pengendali. Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tidak membedakan derajat kesalahan pelaku berdasarkan peranannya. Selama unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi maka apapun peranannya para pelaku diancam dengan hukuman pidana yang berlaku pada pasal yang dilanggar. Walaupun demikian penggambaran peranan berdasarkan tingkat (level) ini dapat membantu hakim memahami dan karenanya meyakinkan hakim bahwa tindak pidana penyelundupan manusia adalah tindak pidana yang dilakukan oleh jaringan.

 

Dengan mengacu kepada peran dan tingkatan pelaku penyelundupan manusia sebagaimana disampaikan diatas maka modus operandi yang umum dipakai oleh para penyelundup manusia dan seyogyanya dipahami oleh penuntut umum adalah menggerakkan atau memobilisasi imigran gelap masuk kedalam wilayah keimigrasian Indonesia, mengatur akomodasi, transportasi dan logistik dan akses selama transit di Indonesia dan menggerakkan atau memobilisasi para imigran gelap keluar dari wilayah keimigrasian Indonesia.

 

Terkait dengan imigran gelap, tidak semua imigran gelap adalah murni imigran gelap atau orang yang diselundupkan. Dalam beberapa kasus terdapat imigran gelap yang berperan ganda, yaitu sebagai orang yang diselundupkan sekaligus berperan sebagai penyelundup. Modus operandinya adalah tokoh ini berasal dari kalangan yang sama dengan orang-orang yang diselundupkan (misalnya etnis nya atau kewarga negaraan atau adanya pertalian kekerabatan) yang kemudian mengatur keberangkatan para imigran gelap, biasanya adalah anggota kelompok atau komunitasnya. Setelah semua berada ditempat transit dan siap diberangkatkan ke wilayah tujuan, maka tokoh ini berubah peran dari penyelundup menjadi orang yang diselundupkan karena dia ikut bergabung dengan kelompok yang diselundupkan. Namun penuntut umum seyogyanya jeli untuk memilah para imigran gelap yang diduga menggunakan modus operandi ini. Harus dibedakan antara tokoh yang berperan sebagai pemimpin informal diantara kelompoknya yang membimbing atau mengarahkan kelompoknya masuk ke wilayah Indonesia dan keluar dari wilayah Indonesia ke wilayah tujuan dengan tokoh yang memenuhi unsur-unsur Pasal 120 Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang perbuatan yang dikategorikan sebagai penyelundupan manusia. 

 

Penuntutan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia

Penuntutan tindak pidana penyelundupan manusia adalah hal yang baru bagi sebagian besar Jaksa karena disamping undang-undang yang mengatur tentang hal ini yaitu Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian masih relatif baru, yaitu baru diundangkan pada tanggal 5 Mei 2011, para jaksa juga masih lebih memahami Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.  Belum adanya sosialisasi internal dan petunjuk pelaksanaan dari Kejaksaan Agung RI membuat pejabat-pejabat baik di tingkat Kejaksaan Tinggi maupun ditingkat Kejaksaan Agung seringkali berbeda dalam mengambil keputusan terkait penanganan tindak pidana penyelundupan manusia.

 

Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan jaksa terkait hal ini. Pendapat pertama adalah tindak pidana keimigrasian dapat ditangani baik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Imigrasi maupun penyidik dari Kepolisian RI sebagaimana diatur dalam KUHAP.  Namun ada juga yang berpendapat bahwa yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian hanyalah PPNS Imigrasi, dan Kejaksaan hanya bisa menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterbitkan oleh PPNS Imigrasi.

 

Walaupun ada dua pendapat yang berbeda ini, mayoritas Jaksa terutama yang bertugas didaerah-daerah dimana sudah terdapat perkara penyelundupan manusia menggunakan pendapat pertama, yaitu menerima SPDP baik dari PPNS Imigrasi maupun dari Penyidik Polri berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama adalah pertimbangan yuridis. Undang-undang keimigrasian yang baru memberikan wewenang kepada PPNS Imigrasi untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana imigrasi, namun pun demikian undang-undang ini tidak pernah membatasi kewenangan penyidikan atas tindak pidana imigrasi hanya kepada PPNS Imigrasi saja, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Bahkan undang-undang ini juga mengacu kepada KUHAP dalam hal penyidikan. Pada KUHAP sendiri jelas disebutkan bahwa penyidik terdiri dari penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Undang-undang imigrasi menegaskan otoritas PPNS Imigrasi untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian disatu sisi  sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 6 tahun 2011 memberikan pengertian penyidik tindak pidana keimigrasian (PPNS Keimigrasian) adalah pejabat Imigrasi yang diberi wewenang oleh undang-undang melakukan tindak pidana keimigrasian, namun di sisi lain tidak menafikan peran penyidikan oleh Polri jika kita merujuk pada Pasal 105 yang kemudian dilanjutkan dengan pasal 104 Undang-undang yang sama.

 

Jika kita cermati, Pasal 105 UU No.6 tahun 2011 PPNS keimigrasian diberi wewenang sebagai penyidik tindak pidana keimigrasian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Ketentuan yang dimaksud didalam undang-undang ini, walaupun urutannya terbalik, justru berada di pasal sebelumnya. Pasal 104 UU No.6 tahun 2011 mengatur bahwa penyidikan tindak pidana keimigrasian dilakukan berdasarkan hukum acara pidana.  Selanjutnya, berdasarkan hukum acara pidana sebagaimana di KUHAP, penyidikan dilakukan oleh 2 institusi yaitu Polri dan Imigrasi. Pasal 1 angka 1 KUHAP mengatur bahwa Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Selanjutnya, Pasal 6 (1) KUHAP berbunyi: Penyidik adalah: (a) pejabat polisi negara Republik Indonesia; (b) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

 

Penyelundupan manusia yang ditangani oleh Polri dan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan adalah: Ronald Nussy dkk yang di P21 oleh Kejaksaan Negeri Wonosari (tembusan ke Kejaksaan Tinggi Yogyakarta); Lukmianul Hakim bin Abdul Majid alias Bakor dan Timotius Omid Hussein Ali Jillarry alias Hamid kecil alias Omoy bin Majid yang di P21 oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (tembusan ke Kejaksaan Negeri Cibadak); Rasul Ahmad Yari bin Ahmad yang di P21 oleh Kejaksaan Tinggi Lampung; Subagiyo bin Maslan, Raden Ibrahim, Turmudi dan Agus Gogo alias Brewok yang di P21 oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (tembusan ke Kejaksaan Negeri Pontianak).

 

Selain mayoritas Jaksa di daerah-daerah tidak membedakan antara SPDP dari penyidik imigrasi atau SPDP dari penyidik Polri, hingga saat ini belum ada tercatat perkara penyelundupan manusia dengan menggunakan Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 yang ditolak oleh pengadilan negeri diwilayah manapun dengan alasan penyidiknya adalah Polri.

 

Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Pengadilan Negeri Pontianak menerima dan mengadili perkara-perkara penyelundupan manusia yang disidik oleh Polda terkait, seperti perkara Rasul Ahmad bin Yari (Tanjung Karang) dan Subagiyo bin Maslan (Pontianak)

 

Pertimbangan kedua adalah pertimbangan efektivitas. Secara merata disemua daerah sumber daya manusia PPNS Imigrasi sangat terbatas jika dibandingkan dengan penyidik Polri. Jumlah imigran gelap bisa mencapai ratusan orang dan datang dengan tidak mengenal waktu.  Penanganan imigran gelap dalam jumlah yang besar sudah merupakan kerumitan tersendiri, belum lagi ditambah dengan pola kerja para penyelundup manusia (people smuggler) yang berbentuk jaringan dan lapisan sehingga makin menambah kerumitan yang sudah ada. Dengan dilakukannya penyidikan baik oleh PPNS Imigrasi maupun penyidik Polri maka kerumitan-kerumitan tersebut dapat ditanggulangi bersama, sehingag proses penanganan tindak pidana ini dapat menjadi lebih efektif dan efisien.

 

Pertimbangan ketiga adalah telah terjalinnya koordinasi yang baik antara jaksa dengan penyidik Polri dan antara jaksa dengan PPNS Imigrasi sehingga segala kesulitan penanganan tindak pidana ini dapat dicarikan solusinya. Koordinasi juga terjalin antara sesama penyidik sehingga dapat saling membantu bilamana menemukan kendala dilapangan. Misalnya saja dibeberapa tempat dimana Penyidik Polri telah lebih dahulu menangani perkara penyelundupan manusia bersedia memberikan pendampingan kepada PPNS Imigrasi yang baru pertamakalinya melakukan penyidikan sehingga hasil penyidikannya dapat diterima dan dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum.

 

Sebagaimana telah disampaikan diatas, pola kerja penyelundup manusia berbentuk jaringan dan berlapis. Oleh karena itu Jaksa tidak dapat melihat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penyelundupan manusia sebagai suatu tindak pidana perorangan atau tindak pidana yang berdiri sendiri. Karena jika menggunakan sudut pandang yang demikian maka Jaksa akan melihat tindak pidana yang dilakukan oleh penyelundup manusia sebagai tindak pidana terputus, padahal untuk mendapat gambaran yang utuh jaksa harus menggunakan imajinasi konstruktif sehingga terlihat bahwa pelaku tersebut terkait dengan pelaku lainnya dan tindak pidana yang dilakukannya merupakan terkait dan merupakan bagian dari satu tindak pidana yang besar (grand crime) yang melibatkan banyak orang melalui mekanisme kerjasama dan koordinasi.

 

Bila jaksa tidak menggunakan imajinasi konstruktif maka yang terjaring hanya pelaku-pelaku yang memiliki peran kecil, yang dapat dengan mudah digantikan oleh pelaku-pelaku lainnya. Namun Jika jaksa melihatnya sebagai suatu jaringan maka bukan hanya pelaksana lapangan saja yang dapat terjaring namun aktor-aktor intelektual dan penyandang dananya juga dapat terjaring. Jika hal ini terjadi maka dapat melumpuhkan jaringan penyelundup atau paling tidak membuat mereka tidak dapat berfungsi untuk waktu yang lama. Sebaliknya bila jaksa tidak menggunakan imajinasi konstruktif, dan hanya menangani perkara tanpa berusaha mengembangkannya maka secara tidak sadar jaksa bisa berada didalam situasi dimana ia justru melanggengkan tindak pidana penyelundupan manusia dengan hanya menangani agen-agen kecil. Ditangkap dan dihukumnya agen-agen kecil sama sekali tidak mempengaruhi operasi penyelundupan karena banyak agen lain yang bersedia mengganti posisi agen-agen yang tertangkap. Hal ini lumrah karena keuntungan dari tindak pidana ini membuat para pelaku mengenyampingkan risiko hukum yang dihadapinya.

 

Jaksa, terutama jaksa peneliti harus jeli membaca berkas yang disampaikan oleh penyidik di Tahap I, untuk melihat apakah konstruksi penyidik sudah tepat. Selain itu juga untuk melihat kemungkinan adanya rekayasa perkara oleh penyidik. Jika hal itu tidak dilakukan maka Jaksa dapat kehilangan fungsi crime controlnya dengan melakukan pembiaran praktek-praktek kolusif dan koruptif dalam tindak pidana penyelundupan manusia.

 

End/



[1] Bagian ini diambil dari bab terkait penuntutan pada buku petunjuk bagi petugas lapangan dalam menangani tindak pidana penyelundupan manusia. Penelitian diadakan untuk merevisi buku panduan bagi petugas lapangan terkait penanganan penyelundupan manusia (people smuggling) tahun 2009 sehubungan dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Keimigrasian Nomor 6 tahun 2011 menggantikan Undang-undang Nomor 9 tahun 1992. Tim Peneliti dengan koordinator Prof. Adrianus Meliala (Dep. Kriminologi UI) berasal dari POLRI (Bareskrim dan Polair); Ditjen Imigrasi; Ditjen Pemasyarakatan; Kemenlu; FHUI dan Dep. Kriminologi FISIP UI. Penelitian ini didukung oleh the Australian Federal Police (AFP) dan difasilitasi oleh International Organization for Migration (IOM) dan berlangsung dari November 2011 hingga Februari 2012. Saat ini sudah memasuki tahap pembacaan draft final oleh expert readers dari instansi-instansi penegak hukum terkait.
 
Tulisan ini dimuat pada Majala REQuisitoire,  volume 18/2012, hal.32-33
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan

Perbedaan Penyelundupan Manusia dan Perdagangan Orang
 
Ferdinand T. Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

Bukan hanya masyarakat umum yang sering menyamakan Penyelundupan orang (people smuggling) dengan Perdagangan orang (trafficking in persons), 90 % jaksa yang penulis temui tidak dapat membedakan kedua tindak pidana tersebut, walaupun diatur didalam undang-undang yang berbeda. Penyelundupan orang diatur didalam Undang-undang No.6 tahun 2011 tentang Keimigrasian sedangkan Perdagangan Orang diatur dalam Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Memang ada persamaan diantara keduanya, yaitu: keduanya melibatkan pergerakan orang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Namun secara substansi, metode dan tujuan keduanya berbeda.

 

Penyelundupan orang selalu dilakukan dengan cara lintas batas negara secara illegal, sementara perdagangan orang tidak selalu dilakukan dengan cara melintasi batas negara. Orang yang menggerakkan gadis-gadis belia dari Sukabumi di Jawa Barat ke Batam di Kepulaun Riau untuk dieksploitasi sudah dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang. Bahkan ia pun sudah melakukan tindak pidana perdagangan orang walaupun hanya memindahkan gadis-gadis tersebut dari Ragunan di Jakarta Selatan ke Blok M yang juga di daerah Jakarta Selatan.

 

Hubungan antara orang yang  diselundupkan (the smuggled people) dan orang yang menyelundupkan (the smugglers) adalah hubungan yang seimbang. Hubungan para pihak mirip dengan hubungan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa (vendor-client relationship). Dalam hubungan seperti ini orang yang diselundupkan masih sepenuhnya memilliki kehendak bebas. Orang yang diselundupkan memberikan persetujuan (consent) kepada para penyelundup dalam melakukan tindak pidana dan membiarkan dirinya menjadi bagian dari tindak pidana itu. Oleh karena itu tidak tepat jika dikatakan bahwa imigran gelap adalah korban tindak pidana penyelundupan manusia, karena pada intinya mereka adalah orang-orang yang bekerja sama melakukan tindak pidana dengan pelaku baik dengan cara aktif maupun dengan cara pasif.

 

Hubungan antara orang yang diperdagangkan dan orang yang memperdagangkan adalah hubungan yang tidak seimbang, dimana orang yang diperdagangkan adalah barang dagangan orang yang memperdagangkan sehingga mereka berada didalam kontrol absolut dari para penggerak perdagangan orang. Dalam hubungan yang tidak seimbang antara  pelaku yang dominan dan mereka yang diperdagangkan maka lebih tepat digambarkan sebagai hubungan pelaku dan korban. Mereka yang diperdagangkan biasanya berangkat atas dasar tipu muslihat pelaku (misalnya dijanjikan dipekerjakan sebagai artis namun ternyata dijadikan pekerja seks komersial) atau penyesatan, sehingga mereka tidak sepenuhnya memberikan persetujuan atas dasar pengetahuan dan kesadaran namun memberikan persetujuan atas dasar tipu muslihat, atau bahkan tidak memberikan persetujuan sama sekali, misalnya dalam kasus-kasus dimana yang diperdagangkan adalah anak-anak dibawah umur. Kalaupun memberikan persetujuan, orang yang diselundupkan seringkali berada dibawah tekanan atau paksaan ketika memberikan persetujuan. Adanya persetujuan tersebut akan dipakai oleh pelaku sebagai alibi bahwa apa yang dilakukannya bukanlah tindak pidana karena atas dasar kesepakatan, ataupun kalau itu tindak pidana maka pelaku bisa berdalih bahwa itu dilakukan bersama-sama.

 

Proses rekruitmen orang-orang yang akan diselundupkan dan orang-orang yang akan diperdagangkan berbeda. Penyelundup manusia bersikap lebih pasif. Mereka mengambil tindakan menunggu untuk didekati oleh orang-orang yang ingin diselundupkan. Mereka akan datang ke tempat-tempat tertentu dimana orang asing sering berkumpul, misalnya di daerah sekitar Jalan Jaksa di Jakarta Pusat, atau di daerah Puncak di Jawa Barat. Setelah terjadi kesepakatan diantara mereka, dimulailah proses penyelundupan manusia keluar dari wilayah Indonesia. Sebaliknya, pelaku perdagangan orang bersikap lebih agresif. Mereka akan langsung ke daerah kantong-kantong kemiskinan, menebar janji tentang pekerjaan, masa depan dan penghasilan yang besar dengan sedikit kerja, mengumpulkan mereka yang termakan rayuan dan dimulailah tindak pidana  perdagangan orang.

Tulisan ini dimuat di Majalah REQuisitoire, volume 18/2012 hal.26 - 31
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan

PENYELUNDUPAN MANUSIA: INDONESIA TERKEPUNG IMIGRAN GELAP
 

Oleh: Ferdinand T. Andi Lolo[1]

 

Sebut saja namanya Sartika, perempuan muda dan orang tua tunggal dari anak berusia 3 tahun yang ayahnya sekarang tidak lagi jelas rimbanya. Nada bicaranya riang dan bersahabat. Tidak Nampak kekhawatiran dimatanya ketika penulis menemuinya. Kami tidak bertemu dengannya disebuah cafe di mall untuk membahas tentang gaya hidup, tetapi di ruang kepala penjara disuatu tempat di Sumatra akhir Januari lalu untuk membahas tentang kegiatan yang mungkin menjadi pilihan hidupnya. Penjara bukan hal yang asing bagi ibu muda ini, inilah kali kedua dia berada di situ. Ia adalah seorang  residivis tindak pidana penyelundupan manusia, atau ia mengistilahkan pekerjaannya sebagai “agen perjalanan.” Pertama kali dia di pidana penjara tahun 2010 karena penyelundupan imigran-imigran illegal ke Australia. Sartika menjalani pidananya selama 1 tahun 7 bulan dan dibebaskan pertengahan 2011. Kata-kata perpisahannya masih diingat jelas oleh kepala penjara. Ia menitipkan ternak ayamnya, katanya “tolong jaga ternak saya, saya pergi hanya sebentar dan akan segera kembali lagi,” Ketika tiga bulan kemudian kepala penjara bertemu  lagi dengannya pada saat diantar oleh penyidik imigrasi untuk ditahan atas perkara penyelundupan manusia yang lain, barulah kepala penjara mahfum dengan salam perpisahan Sartika. Segera setelah ditahan kembali, Sartika langsung mencari ayam-ayamnya dan seolah tidak terbeban dengan ancaman hukuman berdasarkan undang-undang No.6 tahun 2011 yang baru diberlakukan pada saat ia jeda menghirup udara bebas. Berdasarkan undang-undang yang baru Sartika terancam hukuman antara 5 hingga 15 tahun. Tidak kurang dari itu. Ia akan dipenjara dalam waktu yang lama dan mungkin anaknya sudah tidak mengenalinya lagi ketika ia pulang ke kampungnya di daerah Bogor.

 

Lain lagi cerita Raden Ibrahim dari Kalimantan Barat. Suatu hari ia mendapat telepon dari Agus Gogo alias Agus Brewok untuk menjemput beberapa orang di daerah perkebunan di Entubuh yang masuk wilayah Entikong (Kalimantan Barat) tepat diperbatasan dengan Malaysia. Tepat seperti apa yang dikatakan Agus, Raden Ibrahim menemui beberapa warga negara Afganistan (berpaspor Pakistan) sudah menunggu disana. Mereka masuk dari wilayah Malaysia tanpa dokumen resmi ke wilayah  Indonesia melalui jalan tikus yang merupakan rute Tenaga Kerja Indonesia illegal masuk ke dan keluar dari Malaysia. Raden Ibrahim, yang merupakan petani setempat, hafal betul wilayah perkebunan itu dan memandu para imigran gelap melewati perkebunan hingga sampai di tepi jalan raya di Dusun Entikong bukanlah pekerjaan sulit baginya. Ditepi jalan sudah menunggu Subagiyo bin Maslan yang diperintahkan oleh Agus untuk menjemput para imigran gelap yang diantar oleh Ibrahim dan membawanya ke Bandara Supadio Pontianak untuk kemudian diterbangkan ke Surabaya. Rencananya dari Surabaya, rombongan ini akan dijemput oleh sindikat lain dan diatur keberangkatannya ke wilayah Australia, baik melalui perairan Jawa Timur ataupun melalui perairan Nusa Tenggara Timur. Tujuan para imigran gelap adalah masuk dan mendarat diwilayah Australia lalu kemudian minta suaka. Namun Subagiyo terlambat sampai ke bandara. Pesawat terakhir ke Surabaya, bahkan Jakarta, sudah lepas landas. Agus kemudian memerintahkan Subagiyo menemui Turmudi yang kemudian mengatur akomodasi bagi para imigran gelap itu hingga meninggalkan Pontianak. Para imigran gelap itu tidak pernah meninggalkan Pontianak. Mereka lebih dahulu ditangkap oleh penyidik Polda Kalimantan Barat dan diserahkan ke pihak Imigrasi, sedangkan Agus Brewok dan jaringannya berhasil digulung. Mereka yang berperan, walaupun hanya kecil diganjar 5 (lima) tahun oleh Pengadilan Negeri Pontianak, kecuali Agus Brewok yang masih menjalani persidangan. Raden Ibrahim tidak henti-hentinya menyesali nasibnya. Ia hanya mengantar para imigran gelap melintas perkebunan sampai ke jalan, dan mendapat upah 200 ringgit Malaysia (kurang dari Rp. 600 ribu) tapi harus mendekam dipenjara selama 5 tahun dan anak  istrinya kehilangan pencari nafkah satu-satunya dikeluarga.

 

Orang-orang seperti Sartika, Raden Ibrahim, Subagiyo dan Turmudi adalah orang-orang yang berada dihirarki terbawah dari suatu jaringan penyelundupan manusia, yang terorganisir secara rapih dan bekerja lintas negara. Upah yang mereka dapat tidaklah seberapa. Yang menikmati keuntungan dari bisnis besar ini adalah mereka bukanlah agen-agen lapangan seperti Sartika, tetapi para pengendali (controller) dan para pengambil keputusan (decision maker) yang hampir tidak pernah tersentuh hukum. Banyak dari pengendali dan pengambil keputusan ini sebelumnya adalah imigran gelap. Ketika melihat peluang bisnis haram di Indonesia, mereka beralih menjadi penyelundup manusia (People smugglers). Seorang imigran gelap berani membayar hingga USD. 15.000 atau sekitar Rp. 137 Juta mulai dari tempat asalnya hingga sampai diwilayah Australia. Timbul pertanyaan mengapa harus membayar begitu mahal dan menempuh perjalanan yang sangat berisiko hingga nyawapun menjadi taruhannya padahal ada cara yang lebih mudah, murah, aman dan tentu saja legal untuk masuk ke Australia?

 

Peraturan imigrasi yang semakin ketat baik di Australia maupun dinegara-negara transit (hub) seperti Thailand, Malaysia dan terutama Indonesia membuat banyak imigran tidak dapat memasuki Australia secara sah. Dengan dipetakannya negara-negara “pengekspor imigran gelap” maka warga negara dari negara tersebut akan sulit mendapatkan visa Australia.  Selain itu kebijakan imigrasi Australia terhadap para imigran dengan status pengungsi dianggap sangat menguntungkan para imigran gelap jika bisa mendapatkan status itu dan jalan pintas yang mereka lakukan adalah masuk secara tidak sah dan menyatakan dirinya pengungsi lalu minta diproses sebagai pengungsi. Sementara mereka diproses, maka segala kebutuhan hidupnya dipenuhi dengan standard yang jauh lebih baik dari negara asalnya. Hal ini tentunya lebih dipilih para imigran tersebut daripada harus masuk secara legal dan mengajukan permohonan sebagai pengungsi. Pada saat permohonan mereka diproses (bisa sampai bertahun-tahun dan belum tentu dikabulkan), mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan tidak atas tanggungan negara Australia. Jadi uang banyak yang dikeluarkan oleh para imigran gelap, diperhitungkan sebagai investasi untuk hidup yang lebih baik.

 

Magnet Austalia yang begitu besar, menarik imigran gelap untuk datang. Gelombang imigran gelap tidak pernah putus mengalir ke Australia, dan Indonesia adalah negara tujuan antara para imigran gelap tersebut, mengingat letak geografisnya yang paling dekat dengan wilayah Australia terluar yang menjadi tempat favorit para imigran gelap, yaitu Christmas Island dan Ashmore Reef. Data International Organization of Migration (IOM) tahun 2011 menunjukkan bahwa ribuan imigran gelap telah tertangkap ketika melintas Indonesia. Terbanyak dari mereka adalah warga negara Afghanistan (1.110 orang atau 50,6% dari total 2.193 orang) disusul oleh Srilanka, Iran, Myanmar (orang-orang Rohingya), Iraq, dan Pakistan serta negara-negara lain. Namun angka itu belum menggambarkan jumlah yang sebenarnya karena jumlah yang tidak terdeteksi bisa jadi lebih besar daripada yang terdeteksi.

 

Undang-undang imigrasi yang baru secara signifikan meningkatkan hukuman bagi para penyelundup manusia. Kartika adalah contoh nyata yang dapat menggambarkan peningkatan hukuman tersebut. Pertama kali masuk penjara, Kartika dihukum 1 tahun 7 bulan. Namun ketika untuk kedua  kalinya ia harus berurusan dengan hukum untuk perkara penyelundupan manusia, hanya berselang beberapa bulan dari waktu pembebasannya dalam kasus penyelundupan manusia yang pertama, ia harus bersiap-siap untuk paling tidak mendekam dipenjara selama 5 tahun, karena itulah hukuman minimum bagi penyelundup manusia.

 

Walaupun demikian imigran gelap tetap membanjiri Indonesia dan mereka tidak dapat melintasi wilayah Indonesia sendirian karena ini adalah teritori yang asing bagi mereka. Harus ada jaringan atau komplotan yang dapat mengatur masuknya mereka ke Indonesia dan mengantar mereka keluar dari Indonesia ke wilayah Australia. Dengan mengacu kepada teori Rational Choice,  maka dapat dijelaskan mengapa hukuman yang diperberat berlipat ganda tidak menjadi factor  pencegah (deterrent factor) bagi para penyelundup manusia. Walaupun risikonya jauh lebih berat, bagi penyelundup manusia keuntungan dari tindak pidana melebihi risikonya. Pekerjaan yang mereka lakukan tidak memerlukan waktu yang lama, klien mereka berani membayar mahal dan keuntungan jika dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan berlipat ganda. Jelas ini menjadi pilihan menarik bagi para pelaku. Faktor ini kemudian ditambah berbagai faktor lainnya yang membuat risiko dilapangan menjadi lebih kecil daripada risiko diatas kertas.

 

Masih lemahnya sistem pengamanan perbatasan Indonesia dan ditambah dengan luasnya wilayah Indonesia yang tidak dapat secara efektif dijaga oleh aparat yang jumlah sangat terbatas memberikan banyak peluang kepada para pelaku penyelundupan manusia. Namun ada faktor yang lebih menurunkan risiko hukuman bagi pelaku, yaitu faktor kolusi dan perilaku koruptif para aparat penegak hukum. Mereka menjalankan standar ganda. Disatu sisi secara formal mengupayakan pemberantasan penyelundupan manusia disisi lain melakukan aksi transaksional dengan para penyelundup manusia. Penyelundup sudah mempunyai jatah “koordinasi” dengan aparat, sehingga yang terjadi dilapangan, bila mereka harus tertangkap adalah proses rekayasa dan tebang pilih dengan mengorbankan agen-agen lapangan yang berperan kecil, sementara pengatur yang berperan besar dapat diloloskan. Kerja sama antara aparat dan pelaku adalah semacam kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisma) namun dalam konteks negatif. Salah satu modus operandinya adalah jika pelaku tertangkap, petugas dapat dengan mudah merubah status mereka dari seharusnya tersangka menjadi saksi korban. Atau saksi-saksi yang memberatkan pelaku, bisa di ”hilangkan” oleh petugas, sehingga perkara menjadi tidak kuat dan dapat dipatahkan di pengadilan.

 

Anggota jaringan dari hirarki terbawah sengaja dikorbankan untuk melindungi mata rantai diatasnya. Selain itu jika anggota terbawah ditangkap, tidak memutus atau merusak operasi jaringan, karena agen-agen lapangan dapat dengan mudah digantikan. Hal lain lagi, adalah pelaku dengan level menengah keatas adalah anjungan tunai mandiri (ATM) daur ulang bagi oknum-oknum petugas. Ketika mereka ditangkap, mereka akan dilepaskan lagi agar dapat beroperasi lagi. Ketika mereka dapat beroperasi lagi, maka mereka akan memiliki dana koordinasi untuk petugas. Begitulah siklusnya, mereka dapat berbisnis dan sebagian hasil bisnisnya dipakai untuk menghidupi petugas yang seharusnya membangkrutkan mereka.



[1] Tulisan ini merupakan bagian dari hasil observasi lapangan penulis di Sumatra dan Kalimantan selaku peneliti pada Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dalam rangka revisi buku petunjuk penanganan tindak pidana penyelundupan manusia untuk petugas lapangan.

Thursday 6 September 2012

Phd Thesis Title


 

 

 

 

THE PROSECUTORIAL CORRUPTION

DURING THE NEW ORDER REGIME

 

Case Study: the Prosecution Service of the Republic of Indonesia


 

 

 

 

 

 

 

Ferdinand Tandi Andi-Lolo


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A thesis submitted in partial fulfilment of the requirements

for the degree of Doctor of Philosophy in Law,

The University of Auckland, 2008.