Saturday 15 September 2012

Tulisan ini dimuat pada Majala REQuisitoire,  volume 18/2012, hal.32-33
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan

Perbedaan Penyelundupan Manusia dan Perdagangan Orang
 
Ferdinand T. Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

Bukan hanya masyarakat umum yang sering menyamakan Penyelundupan orang (people smuggling) dengan Perdagangan orang (trafficking in persons), 90 % jaksa yang penulis temui tidak dapat membedakan kedua tindak pidana tersebut, walaupun diatur didalam undang-undang yang berbeda. Penyelundupan orang diatur didalam Undang-undang No.6 tahun 2011 tentang Keimigrasian sedangkan Perdagangan Orang diatur dalam Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Memang ada persamaan diantara keduanya, yaitu: keduanya melibatkan pergerakan orang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Namun secara substansi, metode dan tujuan keduanya berbeda.

 

Penyelundupan orang selalu dilakukan dengan cara lintas batas negara secara illegal, sementara perdagangan orang tidak selalu dilakukan dengan cara melintasi batas negara. Orang yang menggerakkan gadis-gadis belia dari Sukabumi di Jawa Barat ke Batam di Kepulaun Riau untuk dieksploitasi sudah dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang. Bahkan ia pun sudah melakukan tindak pidana perdagangan orang walaupun hanya memindahkan gadis-gadis tersebut dari Ragunan di Jakarta Selatan ke Blok M yang juga di daerah Jakarta Selatan.

 

Hubungan antara orang yang  diselundupkan (the smuggled people) dan orang yang menyelundupkan (the smugglers) adalah hubungan yang seimbang. Hubungan para pihak mirip dengan hubungan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa (vendor-client relationship). Dalam hubungan seperti ini orang yang diselundupkan masih sepenuhnya memilliki kehendak bebas. Orang yang diselundupkan memberikan persetujuan (consent) kepada para penyelundup dalam melakukan tindak pidana dan membiarkan dirinya menjadi bagian dari tindak pidana itu. Oleh karena itu tidak tepat jika dikatakan bahwa imigran gelap adalah korban tindak pidana penyelundupan manusia, karena pada intinya mereka adalah orang-orang yang bekerja sama melakukan tindak pidana dengan pelaku baik dengan cara aktif maupun dengan cara pasif.

 

Hubungan antara orang yang diperdagangkan dan orang yang memperdagangkan adalah hubungan yang tidak seimbang, dimana orang yang diperdagangkan adalah barang dagangan orang yang memperdagangkan sehingga mereka berada didalam kontrol absolut dari para penggerak perdagangan orang. Dalam hubungan yang tidak seimbang antara  pelaku yang dominan dan mereka yang diperdagangkan maka lebih tepat digambarkan sebagai hubungan pelaku dan korban. Mereka yang diperdagangkan biasanya berangkat atas dasar tipu muslihat pelaku (misalnya dijanjikan dipekerjakan sebagai artis namun ternyata dijadikan pekerja seks komersial) atau penyesatan, sehingga mereka tidak sepenuhnya memberikan persetujuan atas dasar pengetahuan dan kesadaran namun memberikan persetujuan atas dasar tipu muslihat, atau bahkan tidak memberikan persetujuan sama sekali, misalnya dalam kasus-kasus dimana yang diperdagangkan adalah anak-anak dibawah umur. Kalaupun memberikan persetujuan, orang yang diselundupkan seringkali berada dibawah tekanan atau paksaan ketika memberikan persetujuan. Adanya persetujuan tersebut akan dipakai oleh pelaku sebagai alibi bahwa apa yang dilakukannya bukanlah tindak pidana karena atas dasar kesepakatan, ataupun kalau itu tindak pidana maka pelaku bisa berdalih bahwa itu dilakukan bersama-sama.

 

Proses rekruitmen orang-orang yang akan diselundupkan dan orang-orang yang akan diperdagangkan berbeda. Penyelundup manusia bersikap lebih pasif. Mereka mengambil tindakan menunggu untuk didekati oleh orang-orang yang ingin diselundupkan. Mereka akan datang ke tempat-tempat tertentu dimana orang asing sering berkumpul, misalnya di daerah sekitar Jalan Jaksa di Jakarta Pusat, atau di daerah Puncak di Jawa Barat. Setelah terjadi kesepakatan diantara mereka, dimulailah proses penyelundupan manusia keluar dari wilayah Indonesia. Sebaliknya, pelaku perdagangan orang bersikap lebih agresif. Mereka akan langsung ke daerah kantong-kantong kemiskinan, menebar janji tentang pekerjaan, masa depan dan penghasilan yang besar dengan sedikit kerja, mengumpulkan mereka yang termakan rayuan dan dimulailah tindak pidana  perdagangan orang.

No comments:

Post a Comment