Saturday 15 September 2012


Tulisan ini dimuat di Majalah REQuisitoire, volume 18/2012 hal.26 - 31
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan

PENYELUNDUPAN MANUSIA: INDONESIA TERKEPUNG IMIGRAN GELAP
 

Oleh: Ferdinand T. Andi Lolo[1]

 

Sebut saja namanya Sartika, perempuan muda dan orang tua tunggal dari anak berusia 3 tahun yang ayahnya sekarang tidak lagi jelas rimbanya. Nada bicaranya riang dan bersahabat. Tidak Nampak kekhawatiran dimatanya ketika penulis menemuinya. Kami tidak bertemu dengannya disebuah cafe di mall untuk membahas tentang gaya hidup, tetapi di ruang kepala penjara disuatu tempat di Sumatra akhir Januari lalu untuk membahas tentang kegiatan yang mungkin menjadi pilihan hidupnya. Penjara bukan hal yang asing bagi ibu muda ini, inilah kali kedua dia berada di situ. Ia adalah seorang  residivis tindak pidana penyelundupan manusia, atau ia mengistilahkan pekerjaannya sebagai “agen perjalanan.” Pertama kali dia di pidana penjara tahun 2010 karena penyelundupan imigran-imigran illegal ke Australia. Sartika menjalani pidananya selama 1 tahun 7 bulan dan dibebaskan pertengahan 2011. Kata-kata perpisahannya masih diingat jelas oleh kepala penjara. Ia menitipkan ternak ayamnya, katanya “tolong jaga ternak saya, saya pergi hanya sebentar dan akan segera kembali lagi,” Ketika tiga bulan kemudian kepala penjara bertemu  lagi dengannya pada saat diantar oleh penyidik imigrasi untuk ditahan atas perkara penyelundupan manusia yang lain, barulah kepala penjara mahfum dengan salam perpisahan Sartika. Segera setelah ditahan kembali, Sartika langsung mencari ayam-ayamnya dan seolah tidak terbeban dengan ancaman hukuman berdasarkan undang-undang No.6 tahun 2011 yang baru diberlakukan pada saat ia jeda menghirup udara bebas. Berdasarkan undang-undang yang baru Sartika terancam hukuman antara 5 hingga 15 tahun. Tidak kurang dari itu. Ia akan dipenjara dalam waktu yang lama dan mungkin anaknya sudah tidak mengenalinya lagi ketika ia pulang ke kampungnya di daerah Bogor.

 

Lain lagi cerita Raden Ibrahim dari Kalimantan Barat. Suatu hari ia mendapat telepon dari Agus Gogo alias Agus Brewok untuk menjemput beberapa orang di daerah perkebunan di Entubuh yang masuk wilayah Entikong (Kalimantan Barat) tepat diperbatasan dengan Malaysia. Tepat seperti apa yang dikatakan Agus, Raden Ibrahim menemui beberapa warga negara Afganistan (berpaspor Pakistan) sudah menunggu disana. Mereka masuk dari wilayah Malaysia tanpa dokumen resmi ke wilayah  Indonesia melalui jalan tikus yang merupakan rute Tenaga Kerja Indonesia illegal masuk ke dan keluar dari Malaysia. Raden Ibrahim, yang merupakan petani setempat, hafal betul wilayah perkebunan itu dan memandu para imigran gelap melewati perkebunan hingga sampai di tepi jalan raya di Dusun Entikong bukanlah pekerjaan sulit baginya. Ditepi jalan sudah menunggu Subagiyo bin Maslan yang diperintahkan oleh Agus untuk menjemput para imigran gelap yang diantar oleh Ibrahim dan membawanya ke Bandara Supadio Pontianak untuk kemudian diterbangkan ke Surabaya. Rencananya dari Surabaya, rombongan ini akan dijemput oleh sindikat lain dan diatur keberangkatannya ke wilayah Australia, baik melalui perairan Jawa Timur ataupun melalui perairan Nusa Tenggara Timur. Tujuan para imigran gelap adalah masuk dan mendarat diwilayah Australia lalu kemudian minta suaka. Namun Subagiyo terlambat sampai ke bandara. Pesawat terakhir ke Surabaya, bahkan Jakarta, sudah lepas landas. Agus kemudian memerintahkan Subagiyo menemui Turmudi yang kemudian mengatur akomodasi bagi para imigran gelap itu hingga meninggalkan Pontianak. Para imigran gelap itu tidak pernah meninggalkan Pontianak. Mereka lebih dahulu ditangkap oleh penyidik Polda Kalimantan Barat dan diserahkan ke pihak Imigrasi, sedangkan Agus Brewok dan jaringannya berhasil digulung. Mereka yang berperan, walaupun hanya kecil diganjar 5 (lima) tahun oleh Pengadilan Negeri Pontianak, kecuali Agus Brewok yang masih menjalani persidangan. Raden Ibrahim tidak henti-hentinya menyesali nasibnya. Ia hanya mengantar para imigran gelap melintas perkebunan sampai ke jalan, dan mendapat upah 200 ringgit Malaysia (kurang dari Rp. 600 ribu) tapi harus mendekam dipenjara selama 5 tahun dan anak  istrinya kehilangan pencari nafkah satu-satunya dikeluarga.

 

Orang-orang seperti Sartika, Raden Ibrahim, Subagiyo dan Turmudi adalah orang-orang yang berada dihirarki terbawah dari suatu jaringan penyelundupan manusia, yang terorganisir secara rapih dan bekerja lintas negara. Upah yang mereka dapat tidaklah seberapa. Yang menikmati keuntungan dari bisnis besar ini adalah mereka bukanlah agen-agen lapangan seperti Sartika, tetapi para pengendali (controller) dan para pengambil keputusan (decision maker) yang hampir tidak pernah tersentuh hukum. Banyak dari pengendali dan pengambil keputusan ini sebelumnya adalah imigran gelap. Ketika melihat peluang bisnis haram di Indonesia, mereka beralih menjadi penyelundup manusia (People smugglers). Seorang imigran gelap berani membayar hingga USD. 15.000 atau sekitar Rp. 137 Juta mulai dari tempat asalnya hingga sampai diwilayah Australia. Timbul pertanyaan mengapa harus membayar begitu mahal dan menempuh perjalanan yang sangat berisiko hingga nyawapun menjadi taruhannya padahal ada cara yang lebih mudah, murah, aman dan tentu saja legal untuk masuk ke Australia?

 

Peraturan imigrasi yang semakin ketat baik di Australia maupun dinegara-negara transit (hub) seperti Thailand, Malaysia dan terutama Indonesia membuat banyak imigran tidak dapat memasuki Australia secara sah. Dengan dipetakannya negara-negara “pengekspor imigran gelap” maka warga negara dari negara tersebut akan sulit mendapatkan visa Australia.  Selain itu kebijakan imigrasi Australia terhadap para imigran dengan status pengungsi dianggap sangat menguntungkan para imigran gelap jika bisa mendapatkan status itu dan jalan pintas yang mereka lakukan adalah masuk secara tidak sah dan menyatakan dirinya pengungsi lalu minta diproses sebagai pengungsi. Sementara mereka diproses, maka segala kebutuhan hidupnya dipenuhi dengan standard yang jauh lebih baik dari negara asalnya. Hal ini tentunya lebih dipilih para imigran tersebut daripada harus masuk secara legal dan mengajukan permohonan sebagai pengungsi. Pada saat permohonan mereka diproses (bisa sampai bertahun-tahun dan belum tentu dikabulkan), mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan tidak atas tanggungan negara Australia. Jadi uang banyak yang dikeluarkan oleh para imigran gelap, diperhitungkan sebagai investasi untuk hidup yang lebih baik.

 

Magnet Austalia yang begitu besar, menarik imigran gelap untuk datang. Gelombang imigran gelap tidak pernah putus mengalir ke Australia, dan Indonesia adalah negara tujuan antara para imigran gelap tersebut, mengingat letak geografisnya yang paling dekat dengan wilayah Australia terluar yang menjadi tempat favorit para imigran gelap, yaitu Christmas Island dan Ashmore Reef. Data International Organization of Migration (IOM) tahun 2011 menunjukkan bahwa ribuan imigran gelap telah tertangkap ketika melintas Indonesia. Terbanyak dari mereka adalah warga negara Afghanistan (1.110 orang atau 50,6% dari total 2.193 orang) disusul oleh Srilanka, Iran, Myanmar (orang-orang Rohingya), Iraq, dan Pakistan serta negara-negara lain. Namun angka itu belum menggambarkan jumlah yang sebenarnya karena jumlah yang tidak terdeteksi bisa jadi lebih besar daripada yang terdeteksi.

 

Undang-undang imigrasi yang baru secara signifikan meningkatkan hukuman bagi para penyelundup manusia. Kartika adalah contoh nyata yang dapat menggambarkan peningkatan hukuman tersebut. Pertama kali masuk penjara, Kartika dihukum 1 tahun 7 bulan. Namun ketika untuk kedua  kalinya ia harus berurusan dengan hukum untuk perkara penyelundupan manusia, hanya berselang beberapa bulan dari waktu pembebasannya dalam kasus penyelundupan manusia yang pertama, ia harus bersiap-siap untuk paling tidak mendekam dipenjara selama 5 tahun, karena itulah hukuman minimum bagi penyelundup manusia.

 

Walaupun demikian imigran gelap tetap membanjiri Indonesia dan mereka tidak dapat melintasi wilayah Indonesia sendirian karena ini adalah teritori yang asing bagi mereka. Harus ada jaringan atau komplotan yang dapat mengatur masuknya mereka ke Indonesia dan mengantar mereka keluar dari Indonesia ke wilayah Australia. Dengan mengacu kepada teori Rational Choice,  maka dapat dijelaskan mengapa hukuman yang diperberat berlipat ganda tidak menjadi factor  pencegah (deterrent factor) bagi para penyelundup manusia. Walaupun risikonya jauh lebih berat, bagi penyelundup manusia keuntungan dari tindak pidana melebihi risikonya. Pekerjaan yang mereka lakukan tidak memerlukan waktu yang lama, klien mereka berani membayar mahal dan keuntungan jika dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan berlipat ganda. Jelas ini menjadi pilihan menarik bagi para pelaku. Faktor ini kemudian ditambah berbagai faktor lainnya yang membuat risiko dilapangan menjadi lebih kecil daripada risiko diatas kertas.

 

Masih lemahnya sistem pengamanan perbatasan Indonesia dan ditambah dengan luasnya wilayah Indonesia yang tidak dapat secara efektif dijaga oleh aparat yang jumlah sangat terbatas memberikan banyak peluang kepada para pelaku penyelundupan manusia. Namun ada faktor yang lebih menurunkan risiko hukuman bagi pelaku, yaitu faktor kolusi dan perilaku koruptif para aparat penegak hukum. Mereka menjalankan standar ganda. Disatu sisi secara formal mengupayakan pemberantasan penyelundupan manusia disisi lain melakukan aksi transaksional dengan para penyelundup manusia. Penyelundup sudah mempunyai jatah “koordinasi” dengan aparat, sehingga yang terjadi dilapangan, bila mereka harus tertangkap adalah proses rekayasa dan tebang pilih dengan mengorbankan agen-agen lapangan yang berperan kecil, sementara pengatur yang berperan besar dapat diloloskan. Kerja sama antara aparat dan pelaku adalah semacam kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisma) namun dalam konteks negatif. Salah satu modus operandinya adalah jika pelaku tertangkap, petugas dapat dengan mudah merubah status mereka dari seharusnya tersangka menjadi saksi korban. Atau saksi-saksi yang memberatkan pelaku, bisa di ”hilangkan” oleh petugas, sehingga perkara menjadi tidak kuat dan dapat dipatahkan di pengadilan.

 

Anggota jaringan dari hirarki terbawah sengaja dikorbankan untuk melindungi mata rantai diatasnya. Selain itu jika anggota terbawah ditangkap, tidak memutus atau merusak operasi jaringan, karena agen-agen lapangan dapat dengan mudah digantikan. Hal lain lagi, adalah pelaku dengan level menengah keatas adalah anjungan tunai mandiri (ATM) daur ulang bagi oknum-oknum petugas. Ketika mereka ditangkap, mereka akan dilepaskan lagi agar dapat beroperasi lagi. Ketika mereka dapat beroperasi lagi, maka mereka akan memiliki dana koordinasi untuk petugas. Begitulah siklusnya, mereka dapat berbisnis dan sebagian hasil bisnisnya dipakai untuk menghidupi petugas yang seharusnya membangkrutkan mereka.



[1] Tulisan ini merupakan bagian dari hasil observasi lapangan penulis di Sumatra dan Kalimantan selaku peneliti pada Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dalam rangka revisi buku petunjuk penanganan tindak pidana penyelundupan manusia untuk petugas lapangan.

No comments:

Post a Comment