Sunday 7 April 2013


Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) 4 April 2013 hal.6


Membangkitkan Raksasa Tidur:
Kejaksaan dan Perampasan Aset Kejahatan

Oleh: Ferdinand T. Andi Lolo[1]

Media massa sedang gencar memberitakan kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus memburu aset-aset Irjen Polisi Djoko Susilo mantan Kepala Korps Lalulintas POLRI. Aset-aset tersebut terdiri dari tanah, bangunan, bisnis (SPBU, Salon) dan Mobil mewah yang ditaksir bernilai paling tidak Rp. 100 milyar. Berpedoman ketentuan gaji pokok dan tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Polri maka pejabat Polri setingkat Irjen berpenghasilan sekitar Rp. 13,8 juta perbulan atau sekitar Rp. 165,5 juta per tahun. Untuk mendapat kekayaan hingga Rp. 100 milyar Irjen Djoko harus bekerja paling tidak selama 600 (baca:enam ratus) tahun! Dengan catatan ia harus menabung seluruh penghasilannya dan tidak menggunakan sepeser pun.

Langkah KPK patut diapresiasi karena mengirim pesan yang jelas yaitu kejahatan itu tidak menguntungkan (crime does not pay) untuk membalikkan paradigma yang melihat  kejahatan sebagai hal yang menguntungkan (crime does pay). Para pelaku kejahatan sesungguhnya adalah mahluk yang rasional. Dengan mempertimbangkan antara keuntungan (benefit) dan risikonya (cost) mereka bisa menentukan pilihan apakah melakukan atau tidak melakukan kejahatan, dan kebanyakan pilihannya adalah “melakukan.” Hal ini bisa menjelaskan mengapa indeks persepsi korupsi kita tidak kunjung membaik. Hal ini juga bisa menjelaskan mengapa perdagangan narkoba, pembalakan liar, pencurian hasil laut, perdagangan orang dan penyelundupan manusia tetap marak. Selama motivasi para pelaku terhadap harta/aset tidak dihilangkan  selama itu juga kejahatan berorientasi harta terus terjadi bahkan bertambah.

Penegak hukum sudah mulai menyadari perlunya menyesuaikan orientasi penegakan hukum, bukan hanya mengejar dan menghukum pelaku tetapi juga memotong akses pelaku ke aset-asetnya yang merupakan “darah dan udara” bagi pelaku kejahatan yang termotivasi oleh harta. Efektif dari tahun 2011 suatu unit kecil beranggotakan 12 jaksa yang tergabung dalam satuan tugas khusus barang rampasan dan barang sita eksekusi Kejaksaan Agung telah bekerja mengembalikan aset-aset terpidana yang terbengkalai, diantaranya terdapat nama-nama seperti Edy Tanzil, Hendra Rahardja, Mohammad Hasan, Adrian Waworuntu, David Nusa Wijaya dan Mohammad Hasan. Dalam satu tahun operasinya barang rampasan yang berhasil dilacak dan dilelang senilai Rp.384,6 milyar, yang kesemuanya diserahkan pemenang lelang langsung ke kas negara tanpa melalui Kejaksaan, sebagai langkah untuk menghindari kebocoran didalam. Jumlah ini belum termasuk setoran tunai dan penyelesaian administratif serta penyelesaian lainnya yang jika ditotal akan setara dengan Rp.1,2 triliun.


Jika KPK yang hanya memiliki sekitar 160 personel penindakan dan hanya memiliki 1 kantor dapat melakukan perampasan aset yang diduga terkait dengan kejahatan dalam jumlah yang signifikan maka Kejaksaan berpotensi memultiplikasi apa yang dihasilkan oleh KPK. Sumber daya Kejaksaan sangat besar karena didukung oleh sekitar 8.000 jaksa yang berkualifikasi penindakan; memiliki 1 kantor pusat (Kejaksaan Agung) dengan 31 Kejaksaan Tinggi dan 393 Kejaksaan Negeri serta 87 Cabang Kejaksaan Negeri.
Sumber daya  ini didukung oleh  kewenangan yang luas yang memungkinkan jaksa menangani bukan saja perkara korupsi tapi juga perkara-perkara lain seperti narkoba dan perkara lainnya. Bahkan bukan itu saja Kejaksaan mempunyai jangkauan yang sangat luas karena dapat bergerak didua ranah bukan hanya pidana tetapi juga perdata (melalui jaksa pengacara negara) dan terlebih lagi dalam bergerak didua ranah tersebut Kejaksaan memiliki fungsi intelijen yustisial yang dapat memanfaatkan jaringan intelijen internal maupun bantuan komunitas intelijen lembaga lain untuk akurasi data aset-aset yang disembunyikan pelaku.
Masih belum cukup dengan hal diatas, Kejaksaan sesuai hakekatnya dapat bergerak ditiga tataran peninndakan hukum (pro justitia) yaitu penyidikan, penuntutan (yang menjadi wewenang khas seorang jaksa atau dominus litis) dan eksekusi (wewenang eksekutorial). Sangat disayangkan dan menjadi kerugian bagi rakyat jika potensi Kejaksaan ini tidak dioptimalkan.
Ibarat raksasa yang sedang tidur, Kejaksaan perlu diberdayakan. Selama ini ada beberapa hal yang membuat lembaga ini “tertidur.” Kejaksaan masih melakukan pendekatan pelaku dan belum melakukan pendekatan aset. Jaksa masih terpaku pada upaya menghukum para pelaku secara fisik namun belum secara efektif menghambat akses mereka terhadap aset. Didalam praktek hukum yang masih bersifat transaksional seperti sekarang ini, uang menjadi panglima. Seorang pelaku dapat mengatur prosedur sesuai dengan keinginannya sehingga efek gentar jera yang ingin disampaikan oleh hukum tidak pernah menjangkau baik pelaku maupun calon pelaku. Selain itu kurang transparannya dan kurang akuntabelnya sistem penanganan membuat banyak aset hilang, berpindah tangan, rusak, berkurang atau berubah bentuk baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan membuat negara kehilangan pendapatan non pajaknya.

Hambatan-hambatan yang menghalangi bangunnya sang raksasa harus dihilangkan. Hambatan terbesar adalah perubahan paradigma. Kejaksaan masih merupakan institusi hukum yang masih tinggi tingkat resistensinya terhadap reformasi. Niat reformasi masih  dalam tataran retorika pada level atas, dan masih diimplementasikan dengan setengah hati oleh jajaran dibawah. Untuk menjadi efektif dan menakutkan bagi pelaku kejahatan penanganan aset tidak bisa lagi dilakukan dalam “gelap.” Nilai-nilai Integritas, yang dalam konteks ini adalah bekerja dengan jujur dan transparan; akuntabilitas; dan profesionalisme harus menjadi pedoman bagi para jaksa yang menangani aset mengingat signifikannya jumlah aset yang dikuasai dan rawannya aset-aset tersebut disalah gunakan.

Kejaksaan yang berdaya akan menjadikan momok yang menakutkan bagi pelaku kejahatan, apalagi jika besarnya daya jangkau Kejaksaan terhadap aset-aset pelaku ditambah dengan kerjasama antara penegak hukum dan dengan lembaga-lembaga terkait, maka aset-aset yang dilarikan bahkan keluar negeri sekalipun dapat dilacak dan dikembalikan. Untuk aset-aset diluar negeri Kejaksaan bergerak dengan payung UU 1/2006 pasal 9 ayat (2) yang memberikan kewenangan operasional pada Kejaksaan dan pelaksanaannya didukung secara administratif oleh institusi terkait seperti Kemenkumham dan Kedubes RI. Contoh kerjasama itu misalnya upaya Kejaksaan yang didukung oleh Kedubes RI di Swiss dalam mengembalikan aset perkara Century.

Pada akhirnya Kejaksaan dan penegak hukum lainnya hanyalah instrumen dan rakyatlah yang paling diuntungkan. Jaring yang yang ditebar untuk merampas kembali harta rakyat semakin luas dan semakin rapat untuk memisahkan pelaku dari hartanya dan tidak sekadar mengirim mereka ke penjara (yang tidak benar-benar membuat pelaku terpenjara).








[1] Peneliti pada Proyek Asset Recovery Pusat Kajian Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia.