Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) 4 April 2013 hal.6
Membangkitkan Raksasa Tidur:
Kejaksaan dan Perampasan Aset Kejahatan
Oleh: Ferdinand T. Andi Lolo[1]
Media massa sedang gencar memberitakan kiprah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus memburu aset-aset Irjen Polisi Djoko
Susilo mantan Kepala Korps Lalulintas POLRI. Aset-aset tersebut terdiri dari
tanah, bangunan, bisnis (SPBU, Salon) dan Mobil mewah yang ditaksir bernilai
paling tidak Rp. 100 milyar. Berpedoman ketentuan gaji pokok dan tunjangan
kinerja pegawai di lingkungan Polri maka pejabat Polri setingkat Irjen
berpenghasilan sekitar Rp. 13,8 juta perbulan atau sekitar Rp. 165,5 juta per
tahun. Untuk mendapat kekayaan hingga Rp. 100 milyar Irjen Djoko harus bekerja
paling tidak selama 600 (baca:enam ratus) tahun! Dengan catatan ia harus menabung
seluruh penghasilannya dan tidak menggunakan sepeser pun.
Langkah KPK patut diapresiasi karena mengirim pesan
yang jelas yaitu kejahatan itu tidak menguntungkan (crime does not pay) untuk
membalikkan paradigma yang melihat
kejahatan sebagai hal yang menguntungkan (crime does pay). Para pelaku
kejahatan sesungguhnya adalah mahluk yang rasional. Dengan mempertimbangkan
antara keuntungan (benefit) dan risikonya (cost) mereka bisa menentukan pilihan
apakah melakukan atau tidak melakukan kejahatan, dan kebanyakan pilihannya
adalah “melakukan.” Hal ini bisa menjelaskan mengapa indeks persepsi korupsi
kita tidak kunjung membaik. Hal ini juga bisa menjelaskan mengapa perdagangan
narkoba, pembalakan liar, pencurian hasil laut, perdagangan orang dan penyelundupan
manusia tetap marak. Selama motivasi para pelaku terhadap harta/aset tidak
dihilangkan selama itu juga kejahatan
berorientasi harta terus terjadi bahkan bertambah.
Penegak hukum sudah mulai menyadari perlunya
menyesuaikan orientasi penegakan hukum, bukan hanya mengejar dan menghukum
pelaku tetapi juga memotong akses pelaku ke aset-asetnya yang merupakan “darah
dan udara” bagi pelaku kejahatan yang termotivasi oleh harta. Efektif dari
tahun 2011 suatu unit kecil beranggotakan 12 jaksa yang tergabung dalam satuan
tugas khusus barang rampasan dan barang sita eksekusi Kejaksaan Agung telah
bekerja mengembalikan aset-aset terpidana yang terbengkalai, diantaranya
terdapat nama-nama seperti Edy Tanzil, Hendra Rahardja, Mohammad Hasan, Adrian
Waworuntu, David Nusa Wijaya dan Mohammad Hasan. Dalam satu tahun operasinya
barang rampasan yang berhasil dilacak dan dilelang senilai Rp.384,6 milyar,
yang kesemuanya diserahkan pemenang lelang langsung ke kas negara tanpa melalui
Kejaksaan, sebagai langkah untuk menghindari kebocoran didalam. Jumlah ini
belum termasuk setoran tunai dan penyelesaian administratif serta penyelesaian
lainnya yang jika ditotal akan setara dengan Rp.1,2 triliun.
Jika KPK yang hanya memiliki sekitar 160 personel
penindakan dan hanya memiliki 1 kantor dapat melakukan perampasan aset yang
diduga terkait dengan kejahatan dalam jumlah yang signifikan maka Kejaksaan berpotensi
memultiplikasi apa yang dihasilkan oleh KPK. Sumber daya Kejaksaan sangat besar
karena didukung oleh sekitar 8.000 jaksa yang berkualifikasi penindakan;
memiliki 1 kantor pusat (Kejaksaan Agung) dengan 31 Kejaksaan Tinggi dan 393
Kejaksaan Negeri serta 87 Cabang Kejaksaan Negeri.
Sumber daya ini
didukung oleh kewenangan yang luas yang
memungkinkan jaksa menangani bukan saja perkara korupsi tapi juga
perkara-perkara lain seperti narkoba dan perkara lainnya. Bahkan bukan itu saja
Kejaksaan mempunyai jangkauan yang sangat luas karena dapat bergerak didua
ranah bukan hanya pidana tetapi juga perdata (melalui jaksa pengacara negara)
dan terlebih lagi dalam bergerak didua ranah tersebut Kejaksaan memiliki fungsi
intelijen yustisial yang dapat memanfaatkan jaringan intelijen internal maupun
bantuan komunitas intelijen lembaga lain untuk akurasi data aset-aset yang
disembunyikan pelaku.
Masih belum cukup dengan hal diatas, Kejaksaan sesuai
hakekatnya dapat bergerak ditiga tataran peninndakan hukum (pro justitia) yaitu
penyidikan, penuntutan (yang menjadi wewenang khas seorang jaksa atau dominus
litis) dan eksekusi (wewenang eksekutorial). Sangat disayangkan dan menjadi
kerugian bagi rakyat jika potensi Kejaksaan ini tidak dioptimalkan.
Ibarat raksasa yang sedang tidur, Kejaksaan perlu
diberdayakan. Selama ini ada beberapa hal yang membuat lembaga ini “tertidur.”
Kejaksaan masih melakukan pendekatan pelaku dan belum melakukan pendekatan
aset. Jaksa masih terpaku pada upaya menghukum para pelaku secara fisik namun
belum secara efektif menghambat akses mereka terhadap aset. Didalam praktek
hukum yang masih bersifat transaksional seperti sekarang ini, uang menjadi
panglima. Seorang pelaku dapat mengatur prosedur sesuai dengan keinginannya
sehingga efek gentar jera yang ingin disampaikan oleh hukum tidak pernah
menjangkau baik pelaku maupun calon pelaku. Selain itu kurang transparannya dan
kurang akuntabelnya sistem penanganan membuat banyak aset hilang, berpindah
tangan, rusak, berkurang atau berubah bentuk baik karena kelalaian maupun
karena kesengajaan membuat negara kehilangan pendapatan non pajaknya.
Hambatan-hambatan yang menghalangi bangunnya sang
raksasa harus dihilangkan. Hambatan terbesar adalah perubahan paradigma. Kejaksaan
masih merupakan institusi hukum yang masih tinggi tingkat resistensinya
terhadap reformasi. Niat reformasi masih
dalam tataran retorika pada level atas, dan masih diimplementasikan
dengan setengah hati oleh jajaran dibawah. Untuk menjadi efektif dan menakutkan
bagi pelaku kejahatan penanganan aset tidak bisa lagi dilakukan dalam “gelap.”
Nilai-nilai Integritas, yang dalam konteks ini adalah bekerja dengan jujur dan
transparan; akuntabilitas; dan profesionalisme harus menjadi pedoman bagi para
jaksa yang menangani aset mengingat signifikannya jumlah aset yang dikuasai dan
rawannya aset-aset tersebut disalah gunakan.
Kejaksaan yang berdaya akan menjadikan momok yang
menakutkan bagi pelaku kejahatan, apalagi jika besarnya daya jangkau Kejaksaan
terhadap aset-aset pelaku ditambah dengan kerjasama antara penegak hukum dan
dengan lembaga-lembaga terkait, maka aset-aset yang dilarikan bahkan keluar
negeri sekalipun dapat dilacak dan dikembalikan. Untuk aset-aset diluar negeri
Kejaksaan bergerak dengan payung UU 1/2006 pasal 9 ayat (2) yang memberikan
kewenangan operasional pada Kejaksaan dan pelaksanaannya didukung secara
administratif oleh institusi terkait seperti Kemenkumham dan Kedubes RI. Contoh
kerjasama itu misalnya upaya Kejaksaan yang didukung oleh Kedubes RI di Swiss
dalam mengembalikan aset perkara Century.
Pada akhirnya Kejaksaan dan penegak hukum lainnya
hanyalah instrumen dan rakyatlah yang paling diuntungkan. Jaring yang yang
ditebar untuk merampas kembali harta rakyat semakin luas dan semakin rapat
untuk memisahkan pelaku dari hartanya dan tidak sekadar mengirim mereka ke
penjara (yang tidak benar-benar membuat pelaku terpenjara).
No comments:
Post a Comment