Tulisan ini dimuat di Majalah REQuisitoire, volume 19/2012
Bagian Ketiga dari Tiga Tulisan
PENUNTUTAN JARINGAN PENYELUNDUPAN MANUSIA
Ferdinand T. Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
Tindak Pidana yang dilakukan Jaringan[1]
Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian mendefinisikan Penyelundupan Manusia sebagai perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak. Definisi ini menunjukkan bahwa tindak pidana penyelundupan manusia merupakan suatu tindak pidana yang secara praktis tidak dapat dilakukan oleh pelaku tunggal. Untuk dapat secara efektif memutuskan rantai penyelundupan manusia atau paling tidak menghambat pergerakan arus imigran gelap memasuki wilayah Indonesia dan keluar dari wilayah Indonesia maka penuntut umum seyogyanya melihat tindak pidana ini dilakukan oleh suatu jaringan sebagaimana kita melihat suatu gambaran puzzle yang utuh atau suatu gambar yang tersusun dari banyak mozaik, karena jika hanya melihat tindak pidana ini dilakukan oleh orang per orang maka benang merah yang menghubungkan antara pelaku satu dengan pelaku yang lain menjadi tidak tampak sehingga upaya penuntutan menjadi kurang berhasil guna. Seorang pelaku yang dituntut dan dihukum dapat dengan mudah digantikan tempatnya oleh orang-orang lain. Banyak yang bersedia karena imbalannya yang cukup menggiurkan, terutama bagi mereka yang berada dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah. Namun bila jaringan yang di hancurkan atau dirusak maka perlu waktu untuk membangun kembali jaringan itu atau untuk membuat jaringan baru. Hal lain mengapa penuntut umum seyogyanya melihat pelaku tindak pidana sebagai suatu jaringan adalah jika penuntut melihat pelaku tindak pidana ini adalah perorangan maka penuntututan akan menjadi terbatas pada orang itu saja, dan ini tidak menyusahkan jaringan karena orang yang dituntut dan dipidana itu dapat segera tergantikan. Konsekuensinya adalah disadari atau tidak penuntut umum justru tetap melestarikan operasi penyelundup manusia. Namun memang tetap harus diingat, konteks menjerat para pelaku sebagai suatu jaringan harus tetap berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang cukup dan tidak berdasarkan pada asumsi semata.
Skala operasi penyelundupan manusia cukup luas karena merupakan kejahatan lintas negara (transnational crime) yang paling sedikit melibatkan tiga wilayah, yaitu wilayah asal para imigran gelap (origin), wilayah transit atau penghubung (hub) dan wilayah tujuan (destination). Indonesia adalah wilayah transit atau penghubung yang sangat penting bagi para pelaku tindak pidana penyelundupan manusia karena wilayah perairannya di bagian selatan berbatasan langsung dengan wilayah perairan Australia bagian utara. Selain itu para penyelundup manusia sangat tergantung kepada kerjasama orang-orang setempat sebagai pelaksana atau pembantu pelaksana mobilisasi para imigran gelap melalui wilayah Indonesia. Tenaga-tenaga setempat yang memiliki pengetahuan, keahlian dan koneksi sangat berperan besar dalam kegiatan ini. Banyak peran yang mereka lakukan. Ada yang berperan sebagai pengangkut, penyedia alat angkut dan pengatur perjalanan baik melaui darat, laut maupun udara. Ada yang berperan sebagai penyedia akomodasi dan pengatur akomodasi. Ada yang berperan sebagai penyedia dokumen atau surat-surat identitas atau surat-surat perjalanan palsu atau dipalsukan, ada yang berperan sebagai fasilitator aliran dana ataupun sebagai penampung dan penyalur aliran dana. Ada yang berperan sebagai perekrut tenaga-tenaga lokal. Ada yang berperan sebagai perekrut imigran-imigran gelap baik yang masih ada diluar negeri, misalnya di Malaysia atau di Thailand maupun yang sudah berada di Indonesia namun belum menemukan orang yang menyeberangkan mereka ke wilayah Australia. Ada yang berperan sebagai penghubung (liaison) dengan oknum-oknum aparat agar tidak ada hambatan dalam pergerakan para imigran gelap beserta penyelundupnya. Ada yang berperan sebagai penyedia atau pengatur logistik seperti bahan bakar, bahan makanan, suku cadang dan perlengkapan alat angkut.
Selain melibatkan banyak orang dengan berbagai peran, tindak pidana penyelundupan manusia juga melibatkan pelaku dengan berbagai tingkat. Pada tingkat paling bawah (tingkat pertama) adalah pelaksana-pelaksana lapangan, tingkat kedua adalah para koordinator yang mengkoordinir kegiatan pelaksana lapangan, tingkat ketiga adalah pengendali yang mengendalikan kegiatan para koordinator dan berkoordinasi dengan pengendali. Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tidak membedakan derajat kesalahan pelaku berdasarkan peranannya. Selama unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi maka apapun peranannya para pelaku diancam dengan hukuman pidana yang berlaku pada pasal yang dilanggar. Walaupun demikian penggambaran peranan berdasarkan tingkat (level) ini dapat membantu hakim memahami dan karenanya meyakinkan hakim bahwa tindak pidana penyelundupan manusia adalah tindak pidana yang dilakukan oleh jaringan.
Dengan mengacu kepada peran dan tingkatan pelaku penyelundupan manusia sebagaimana disampaikan diatas maka modus operandi yang umum dipakai oleh para penyelundup manusia dan seyogyanya dipahami oleh penuntut umum adalah menggerakkan atau memobilisasi imigran gelap masuk kedalam wilayah keimigrasian Indonesia, mengatur akomodasi, transportasi dan logistik dan akses selama transit di Indonesia dan menggerakkan atau memobilisasi para imigran gelap keluar dari wilayah keimigrasian Indonesia.
Terkait dengan imigran gelap, tidak semua imigran gelap adalah murni imigran gelap atau orang yang diselundupkan. Dalam beberapa kasus terdapat imigran gelap yang berperan ganda, yaitu sebagai orang yang diselundupkan sekaligus berperan sebagai penyelundup. Modus operandinya adalah tokoh ini berasal dari kalangan yang sama dengan orang-orang yang diselundupkan (misalnya etnis nya atau kewarga negaraan atau adanya pertalian kekerabatan) yang kemudian mengatur keberangkatan para imigran gelap, biasanya adalah anggota kelompok atau komunitasnya. Setelah semua berada ditempat transit dan siap diberangkatkan ke wilayah tujuan, maka tokoh ini berubah peran dari penyelundup menjadi orang yang diselundupkan karena dia ikut bergabung dengan kelompok yang diselundupkan. Namun penuntut umum seyogyanya jeli untuk memilah para imigran gelap yang diduga menggunakan modus operandi ini. Harus dibedakan antara tokoh yang berperan sebagai pemimpin informal diantara kelompoknya yang membimbing atau mengarahkan kelompoknya masuk ke wilayah Indonesia dan keluar dari wilayah Indonesia ke wilayah tujuan dengan tokoh yang memenuhi unsur-unsur Pasal 120 Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang perbuatan yang dikategorikan sebagai penyelundupan manusia.
Penuntutan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia
Penuntutan tindak pidana penyelundupan manusia adalah hal yang baru bagi sebagian besar Jaksa karena disamping undang-undang yang mengatur tentang hal ini yaitu Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian masih relatif baru, yaitu baru diundangkan pada tanggal 5 Mei 2011, para jaksa juga masih lebih memahami Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian. Belum adanya sosialisasi internal dan petunjuk pelaksanaan dari Kejaksaan Agung RI membuat pejabat-pejabat baik di tingkat Kejaksaan Tinggi maupun ditingkat Kejaksaan Agung seringkali berbeda dalam mengambil keputusan terkait penanganan tindak pidana penyelundupan manusia.
Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan jaksa terkait hal ini. Pendapat pertama adalah tindak pidana keimigrasian dapat ditangani baik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Imigrasi maupun penyidik dari Kepolisian RI sebagaimana diatur dalam KUHAP. Namun ada juga yang berpendapat bahwa yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian hanyalah PPNS Imigrasi, dan Kejaksaan hanya bisa menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterbitkan oleh PPNS Imigrasi.
Walaupun ada dua pendapat yang berbeda ini, mayoritas Jaksa terutama yang bertugas didaerah-daerah dimana sudah terdapat perkara penyelundupan manusia menggunakan pendapat pertama, yaitu menerima SPDP baik dari PPNS Imigrasi maupun dari Penyidik Polri berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama adalah pertimbangan yuridis. Undang-undang keimigrasian yang baru memberikan wewenang kepada PPNS Imigrasi untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana imigrasi, namun pun demikian undang-undang ini tidak pernah membatasi kewenangan penyidikan atas tindak pidana imigrasi hanya kepada PPNS Imigrasi saja, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Bahkan undang-undang ini juga mengacu kepada KUHAP dalam hal penyidikan. Pada KUHAP sendiri jelas disebutkan bahwa penyidik terdiri dari penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Undang-undang imigrasi menegaskan otoritas PPNS Imigrasi untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian disatu sisi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 6 tahun 2011 memberikan pengertian penyidik tindak pidana keimigrasian (PPNS Keimigrasian) adalah pejabat Imigrasi yang diberi wewenang oleh undang-undang melakukan tindak pidana keimigrasian, namun di sisi lain tidak menafikan peran penyidikan oleh Polri jika kita merujuk pada Pasal 105 yang kemudian dilanjutkan dengan pasal 104 Undang-undang yang sama.
Jika kita cermati, Pasal 105 UU No.6 tahun 2011 PPNS keimigrasian diberi wewenang sebagai penyidik tindak pidana keimigrasian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Ketentuan yang dimaksud didalam undang-undang ini, walaupun urutannya terbalik, justru berada di pasal sebelumnya. Pasal 104 UU No.6 tahun 2011 mengatur bahwa penyidikan tindak pidana keimigrasian dilakukan berdasarkan hukum acara pidana. Selanjutnya, berdasarkan hukum acara pidana sebagaimana di KUHAP, penyidikan dilakukan oleh 2 institusi yaitu Polri dan Imigrasi. Pasal 1 angka 1 KUHAP mengatur bahwa Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Selanjutnya, Pasal 6 (1) KUHAP berbunyi: Penyidik adalah: (a) pejabat polisi negara Republik Indonesia; (b) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyelundupan manusia yang ditangani oleh Polri dan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan adalah: Ronald Nussy dkk yang di P21 oleh Kejaksaan Negeri Wonosari (tembusan ke Kejaksaan Tinggi Yogyakarta); Lukmianul Hakim bin Abdul Majid alias Bakor dan Timotius Omid Hussein Ali Jillarry alias Hamid kecil alias Omoy bin Majid yang di P21 oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (tembusan ke Kejaksaan Negeri Cibadak); Rasul Ahmad Yari bin Ahmad yang di P21 oleh Kejaksaan Tinggi Lampung; Subagiyo bin Maslan, Raden Ibrahim, Turmudi dan Agus Gogo alias Brewok yang di P21 oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (tembusan ke Kejaksaan Negeri Pontianak).
Selain mayoritas Jaksa di daerah-daerah tidak membedakan antara SPDP dari penyidik imigrasi atau SPDP dari penyidik Polri, hingga saat ini belum ada tercatat perkara penyelundupan manusia dengan menggunakan Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 yang ditolak oleh pengadilan negeri diwilayah manapun dengan alasan penyidiknya adalah Polri.
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Pengadilan Negeri Pontianak menerima dan mengadili perkara-perkara penyelundupan manusia yang disidik oleh Polda terkait, seperti perkara Rasul Ahmad bin Yari (Tanjung Karang) dan Subagiyo bin Maslan (Pontianak)
Pertimbangan kedua adalah pertimbangan efektivitas. Secara merata disemua daerah sumber daya manusia PPNS Imigrasi sangat terbatas jika dibandingkan dengan penyidik Polri. Jumlah imigran gelap bisa mencapai ratusan orang dan datang dengan tidak mengenal waktu. Penanganan imigran gelap dalam jumlah yang besar sudah merupakan kerumitan tersendiri, belum lagi ditambah dengan pola kerja para penyelundup manusia (people smuggler) yang berbentuk jaringan dan lapisan sehingga makin menambah kerumitan yang sudah ada. Dengan dilakukannya penyidikan baik oleh PPNS Imigrasi maupun penyidik Polri maka kerumitan-kerumitan tersebut dapat ditanggulangi bersama, sehingag proses penanganan tindak pidana ini dapat menjadi lebih efektif dan efisien.
Pertimbangan ketiga adalah telah terjalinnya koordinasi yang baik antara jaksa dengan penyidik Polri dan antara jaksa dengan PPNS Imigrasi sehingga segala kesulitan penanganan tindak pidana ini dapat dicarikan solusinya. Koordinasi juga terjalin antara sesama penyidik sehingga dapat saling membantu bilamana menemukan kendala dilapangan. Misalnya saja dibeberapa tempat dimana Penyidik Polri telah lebih dahulu menangani perkara penyelundupan manusia bersedia memberikan pendampingan kepada PPNS Imigrasi yang baru pertamakalinya melakukan penyidikan sehingga hasil penyidikannya dapat diterima dan dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum.
Sebagaimana telah disampaikan diatas, pola kerja penyelundup manusia berbentuk jaringan dan berlapis. Oleh karena itu Jaksa tidak dapat melihat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penyelundupan manusia sebagai suatu tindak pidana perorangan atau tindak pidana yang berdiri sendiri. Karena jika menggunakan sudut pandang yang demikian maka Jaksa akan melihat tindak pidana yang dilakukan oleh penyelundup manusia sebagai tindak pidana terputus, padahal untuk mendapat gambaran yang utuh jaksa harus menggunakan imajinasi konstruktif sehingga terlihat bahwa pelaku tersebut terkait dengan pelaku lainnya dan tindak pidana yang dilakukannya merupakan terkait dan merupakan bagian dari satu tindak pidana yang besar (grand crime) yang melibatkan banyak orang melalui mekanisme kerjasama dan koordinasi.
Bila jaksa tidak menggunakan imajinasi konstruktif maka yang terjaring hanya pelaku-pelaku yang memiliki peran kecil, yang dapat dengan mudah digantikan oleh pelaku-pelaku lainnya. Namun Jika jaksa melihatnya sebagai suatu jaringan maka bukan hanya pelaksana lapangan saja yang dapat terjaring namun aktor-aktor intelektual dan penyandang dananya juga dapat terjaring. Jika hal ini terjadi maka dapat melumpuhkan jaringan penyelundup atau paling tidak membuat mereka tidak dapat berfungsi untuk waktu yang lama. Sebaliknya bila jaksa tidak menggunakan imajinasi konstruktif, dan hanya menangani perkara tanpa berusaha mengembangkannya maka secara tidak sadar jaksa bisa berada didalam situasi dimana ia justru melanggengkan tindak pidana penyelundupan manusia dengan hanya menangani agen-agen kecil. Ditangkap dan dihukumnya agen-agen kecil sama sekali tidak mempengaruhi operasi penyelundupan karena banyak agen lain yang bersedia mengganti posisi agen-agen yang tertangkap. Hal ini lumrah karena keuntungan dari tindak pidana ini membuat para pelaku mengenyampingkan risiko hukum yang dihadapinya.
Jaksa, terutama jaksa peneliti harus jeli membaca berkas yang disampaikan oleh penyidik di Tahap I, untuk melihat apakah konstruksi penyidik sudah tepat. Selain itu juga untuk melihat kemungkinan adanya rekayasa perkara oleh penyidik. Jika hal itu tidak dilakukan maka Jaksa dapat kehilangan fungsi crime controlnya dengan melakukan pembiaran praktek-praktek kolusif dan koruptif dalam tindak pidana penyelundupan manusia.
End/
[1] Bagian ini diambil dari bab terkait penuntutan pada buku petunjuk bagi petugas lapangan dalam menangani tindak pidana penyelundupan manusia. Penelitian diadakan untuk merevisi buku panduan bagi petugas lapangan terkait penanganan penyelundupan manusia (people smuggling) tahun 2009 sehubungan dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Keimigrasian Nomor 6 tahun 2011 menggantikan Undang-undang Nomor 9 tahun 1992. Tim Peneliti dengan koordinator Prof. Adrianus Meliala (Dep. Kriminologi UI) berasal dari POLRI (Bareskrim dan Polair); Ditjen Imigrasi; Ditjen Pemasyarakatan; Kemenlu; FHUI dan Dep. Kriminologi FISIP UI. Penelitian ini didukung oleh the Australian Federal Police (AFP) dan difasilitasi oleh International Organization for Migration (IOM) dan berlangsung dari November 2011 hingga Februari 2012. Saat ini sudah memasuki tahap pembacaan draft final oleh expert readers dari instansi-instansi penegak hukum terkait.