Monday 12 December 2011

Antara Menjadi Baik atau Menjadi Benar

Kolom Majalan REQuisitoire Vol.14/2011, hal.66-68


Antara Menjadi Baik atau Menjadi Benar


Oleh: Ferdinand T. Andi Lolo



Banyak dari kita sangat siap untuk melakukan apa yang dianggap baik oleh lingkungan kerja kita namun tidak siap untuk melakukan kebenaran. Ketidak siapan inilah yang kemudian menciptakan budaya Asal Bapak Senang (ABS). Bawahan tidak memberikan kebenaran kepada atasannya, karena khawatir kebenaran itu akan menyakitkan atasannya. Berdasarkan masukan yang tidak benar maka atasan akan membuat kebijakan yang keliru. Bawahan tahu bahwa kebijakan itu keliru tetapi tetap menjalankannya juga untuk membuat “Bapak” senang. Untuk mereka yang bekerja di bidang pelayanan publik, seperti mereka yang bekerja di sektor peradilan, masyarakatlah yang akan menerima semua akibat dari politik ABS tersebut. Keadilan akan menjadi terdistorsi. Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala karena hukum yang dijalankan tidak lagi mengacu kepada Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi hukum yang berdasarkan kebijakan pimpinan dan kepentingan aparatnya.

Seorang direktur menempelkan dua peraturan (Rules) di dinding ruang kerjanya: Rule No.1: Boss is always right!, Rule No.2: if Boss is wrong see Rule No.1! Suatu ketika direktur tersebut mewawancarai dua pencari kerja di kantornya. Ketika ditanya “2+2 berapa?” kandidat 1 menjawab “4 pak” tetapi kandidat 2 menjawab “terserah Bapak saja.” Kandidat 2 dinyatakan lulus dan diterima bekerja. Banyak diantara kita sudah pernah mendengar lelucon diatas dan tertawa. Kita mentertawakan atasan yang memonopoli kebenaran dan bawahan yang selalu menemukan jalan pembenaran atas apapun tindakan atasannya. Tapi pernahkah kita mencoba merefleksikan lelucon tersebut pada keadaan riel dilingkngan kerja kita? Pernahkah kita meneliti bahwa selama karir kita sudah berapa banyak kita mengkompromikan atau menelikung fakta dan data hanya untuk membuat atasan mendengar apa yang ingin ia dengar, bukannya apa yang harus ia dengar?


Banyak diantara kita yang memilih bermain aman demi kelancaran perjalanan karir kita. Kita memilih tidak memiliki warna atau kita memilih untuk terus berubah warna agar dapat menyesuaikan dengan lingkungan kita walaupun untuk itu kebenaran yang akan menjadi korban pertamanya. Benarlah kata George Orwell: "During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act.” Ada kecenderungan orang menjadi “regular” dan jarang yang mau menjadi “revolusioner” karena menjadi revolusioner dapat berarti harus menegakkan kebenaran dan keadilan walaupun langit runtuh.


 Bagaimana kita mengetahui bahwa kebenaran sudah dikorbankan? Salah satu cara yang sederhana adalah menilik diri kita sendiri apakah kita menempatkan integritas diatas kepentingan atau sebaliknya. Sumpah atau Janji kita untuk sewaktu diangkat menjadi  penegak hukum bahwa kita akan menjalankan pekerjaan kita dengan penuh integritas (yang juga berarti kita harus bekerja dengan benar dan jujur) menjadi ingatan yang samar begitu kita melangkah meninggalkan tempat pendidikan dan pelatihan kita. Ketika kita terjun ke dunia kerja yang nyata, kita melihat tindakan dari rekan sekerja kita, para senior kita, atasan-atasan kita yang jauh berbeda dengan Sumpah dan Janji yang pernah kita ucapkan. Integritas, kebenaran dan kejujuran menjadi nilai-nilai usang karena tidak bisa digunakan untuk mengejar tahta dan harta serta turutan-turutannya.


 Parameter keberhasilan sudah bergeser. Yang berhasil adalah mereka yang bisa meroket ke puncak tangga organisasi. Proses tidak penting, yang penting hasil. Yang berhasil adalah mereka yang secara materi berkelimpahan. Cara mendapatkannya tidak penting, yang penting adalah apa yang didapat. Yang berhasil adalah mereka yang bisa menjadi teman semua orang. Kebenaran, kalau itu bisa mengganggu hubungan vertikal dan horizontal, tidak lagi penting untuk disampaikan. Yang penting adalah “zero enemy”.


Menjadi orang yang  “baik dan benar” dikantor merupakan keinginan umum mereka yang bekerja. Namun ketika sampai pada titik dimana seorang harus memilih apakah menjadi baik atau menjadi benar, banyak yang akan melakukan pilihan aman, yaitu menjadi “baik”. Menjadi “benar” tidak selalu memberikan hasil yang menggembirakan. Kita bisa menemukan diri kita terpental dari arus besar (main stream) kehidupan kantor. Karena kita tidak ‘play by the rules’ banyak dari kita yang akan termarginalisasi didalam organisasi dan harus menjalani karirnya sebagai kaum pariah.


Kita semua adalah orang yang berkehendak bebas. Kita bebas memilih apakah akan menjadi benar atau menjadi baik. Pilihan kita bukan karena naluri, tapi karena olah pikir kita. Jalan mana yang kita pilih? Menjadi baik atau menjadi benar? Tentu saja kita pun bebas tidak memilih salah satu, namun agaknya layak untuk direnungkan apa yang dikatakan Hannah Arendt, “The sad truth is that most evil is done by people who never make up their minds to be good or evil.”
























No comments:

Post a Comment