Social Justice Now !
Indonesian Social Justice
Saturday 13 June 2020
Antisipasi Teror di Masa Pendemi Covid-19
Antisipasi Teror di Masa Pendemi Covid-19: Ketika semua perhatian tertuju kepada pandemi yang menimbulkan gejolak ekonomi dan tekanan sosial bagi semua lapisan masyarakat,...
Sunday 4 December 2016
Wednesday 18 June 2014
Tim Pusat Kajian Departemen Kriminologi Universitas Indonesia[1]
Catatan [04/06/2014]:
Tulisan ini adalah
final draft dari kajian akademik yang digunakan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia
sebagai dokumen pendukung dalam pengajukan izin pendirian Pusat Pemulihan Aset
Kejaksaan Agung RI kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia.
Persetujuan
pendirian Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI telah diberikan dengan Surat
No. B/949/M.PANRB/02/2014 tanggal 18 Februari 2014 sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-006/A/JA/3/2014 tanggal 20 Maret 2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung RI Republik Indonesia No. PER-009/A/JA/01/2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Pusat Pemulihan Aset tercantum pada Pasal 7 angka 11 huruf d dan Bab XIIIA Peraturan Jaksaa Agung Nomor 006 tahun 2014. Pada 20 Mei 2014 Jaksa Agung RI dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. KEP-JA/05/2014 telah mengangkat pejabat Eselon 2 Sebagai Kepala Pusat Pemulihan Aset dan dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. KEP-JA 421/C/2014 mengangkat pejabat-pejabat eselon 3 sebagai (1) Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Pemulihan Aset, (2) Kepala Bidang Pemulihan Aset I, dan (3) Kepala Bidang Pemulihan Aset 2.
BAB I
PENDAHULUAN
Korupsi
Transparency International (TI) sebuah lembaga non pemerintah
internasional yang berpusat di Berlin, Jerman, setiap tahun menerbitkan Indeks
Persepsi Korupsi (Corruption Perception
Index). Indeks ini, yang menempatkan negara-negara dalam ranking
berdasarkan tingkat korupsi mereka, merupakan acuan bagi badan-badan
internasional seperti PBB, Bank Dunia, International
Monetary Fund (IMF). Peringkat korupsi negara disusun berdasarkan penilaian
para ahli dan pendapat masyarakat.
Skala indeks ini berkisar antara 10 (paling bersih) hingga 0 (paling
korup). Berdasarkan indeks tersebut, Indonesia dikategorikan kedalam negara
yang tingkat korupsinya masih tinggi. Sejak tahun 2002 hingga 2011 skala
Indonesia hanya beranjak dari 1,9 poin (tahun 2002) menjadi 3,0 poin (tahun
2011). Pada tahun 2011 Indonesia berada pada ranking 100 dari 182 negara yang
disurvei oleh TI, bersama-sama dengan beberapa negara lain yaitu: Argentina,
Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Mexico, Sao Tome
& Principe, Suriname dan Tanzania. Sebagai perbandingan negara terbersih
adalah Selandia Baru (9,5 poin). Di tingkat ASEAN peringkat teratas diduduki
oleh Singapura (9,2 poin pada ranking ke 5).
Jika diperhatikan, ada kecenderungan bahwa pada negara yang lebih korup
dalam Indeks Persepsi Korupsi pendapatan perkapita penduduknya lebih rendah
dibandingkan negara yang lebih bersih. Berdasarkan data IMF, ASEAN dan World
Economic Outlook Database (April 2012), dalam konteks ASEAN, Indonesia
diperingkat 100 dengan pendapatan perkapita USD.3.797 pertahun; Vietnam
diperingkat 112 dengan pendapatan perkapita USD. 1.498 pertahun; Kamboja
diperingkat 164 dengan pendapatan perkapita USD.932 pertahun. Sedangkan
Singapura sebagai salah satu negara terendah tingkat korupsinya di Asia bahkan
di dunia (Peringkat 5) pendapatan perkapitanya USD.50.323 pertahun, atau lebih
dari 13 kali pendapatan perkapita Indonesia.
Dalam dekade terakhir sejak runtuhnya Rezim Orde Baru dan semakin
menguatnya tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang bebas dari
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta perkuatan
lembaga-lembaga hukum yang ada
penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi semakin gencar
dilakukan oleh tiga otoritas penegak hukum utama yaitu Kejaksaan, Kepolisian
dan KPK, namun kecenderungan orang melakukan korupsi hampir tidak pernah surut.
Kenyataan ini merupakan fenomena yang paradoksal karena ketika upaya
pemberantasan korupsi makin ditingkatkan maka seharusnya perkara korupsi makin
menurun.
Korupsi selalu menjadi topik yang menarik perhatian masyarakat dan media
menangkap ketertarikan masyarakat dengan memberikan prioritas pada
pemberitaan-pemberitaan terkait korupsi karena melibatkan banyak tokoh public (public figure) seperti politisi,
pejabat, tokoh-tokoh sosial kemasyarakatan, selebritis dan masih banyak tokoh
lain. Angka kerugian negara pertahunnya akibat korupsi juga sangat menakjubkan.
Memang tidak ada data otoritatif yang dapat menentukan dengan tepat berapa
kerugian yang terjadi, namun dari berbagai sumber diperkirakan kerugian yang
harus ditanggung oleh rakyat Indonesia adalah berkisar Rp. 2, 169 triliun.
Penyelundupan Manusia (People Smuggling)
International Organization for Migration (IOM) suatu badan internasional
yang menangani imigran memperkirakan kerugian akibat penyelundupan manusia ke
Australia melalui Indonesia paling tidak berkisar pada angka Rp. 28,8 triliun.
Para penyelundup manusia melihat Indonesia sebagai lahan yang menarik karena
selain letak geografisnya yang paling dekat dengan Australia, yang merupakan
salah satu negara tujuan favorit para imigran gelap, pengamanan wilayah
Indonesia dapat dikatakan longgar karena garis pantainya yang sangat panjang
sehingga menyulitkan aparat yang sumber daya dan logistiknya terbatas dan
disamping itu mentalitas aparat sendiri yang mudah disuap untuk bekerja sama
dengan para penyelundup. IOM mencatat bahwa penyelundupan manusia adalah bisnis
kejahatan yang berisiko rendah (karena hukum dan penegak hukum masih bersifat
transaksional) tapi membawa keuntungan tinggi (karena para imigran bersedia
membayar mahal untuk dapat diseberangkan dari pulau-pulau di perairan Indonesia
ke wilayah territorial Australia seperti di Christmas Island atau Ashmore
Reef). Tanpa adanya hambatan dalam sisi finansial maka para penyelundup dapat
beroperasi secara bebas dengan menyuap aparat dan penduduk lokal, menyediakan
logistik dan transportasi bagi para imigran gelap, serta membuat
dokumen-dokumen palsu yang semuanya memerlukan dana yang tidak sedikit.
Tindak Pidana Perikanan (Illegal Fishing)
Penelitian dari organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yaitu Food and Agriculture Organization (FAO)
pada tahun 2008 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp. 30
triliun per tahunnya akibat penangkapan ikan liar. Pada tahun yang sama data
Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan hanya sedikit dari kerugian
negara tersebut yang dapat diselamatkan. Estimasi keuangan negara yang dapat
diselamatkan dari kerugian pada tahun itu hanya Rp. 580 miliar atau kurang dari
2% dari total Rp. 30 triliun.
Sebenarnya ada potensi penerimaan negara bukan pajak dari kapal-kapal
yang dipergunakan dalam tindak pidana itu dan berhasil ditangkap oleh aparat.
Tercatat 131 unit kapal yang tertangkap dengan tonase antara 1 hingga 227 ton,
namun pada saat penelitian dilakukan oleh Pusat Kajian Kriminologi Universitas
Indonesia, peneliti tidak mendapat data mengenai bagaimana penyelesaian atas
kapal-kapal tersebut.
Pembalakan Liar (Illegal Logging)
Pada tahun 2003 Kementerian Kehutanan mencatat penebangan dan peredaran
kayu ilegal merugikan negara sebesar Rp.30,42 triliun per tahun. Temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010 mengkonfirmasi data Kementerian Kehutanan,
walaupun angkanya sedikit lebih rendah. BPK menyebutkan kerugian negara akibat
pembalakan liar pertahunnya adalah Rp. 30,3 triliun. penyelundupan kayu di
Papua saja telah merugikan negara sebesar Rp.7,2 triliun pertahun sementara
peredaran kayu illegal di wilayah sekitar pantai utara Jawa menimbulkan
kerugian mencapai Rp. 5,4 triliun pertahun. Kerugian ini akan bertambah secara
signifikan jika diakumulasikan dengan kerugian akibat perdagangan ilegal satwa
liar. Kementerian Kehutanan juga mencatat pada 2011 kerugian negara akibat
penangkapan, pengambilan dan pengangkutan satwa liar mencapai Rp. 6,2 triliun.
Dalam proses pembalakan liar itu para pelaku merusakkan ekosistem hutan
hingga 2,1 juta hektar pertahunnya. Kegiatan pembalakan merupakan kegiatan yang
melibatkan logistik yang besar seperti alat-alat/kendaraan berat, melibatkan
banyak orang yang bekerja secara terorganisir termasuk juga didalamnya
aparat-aparat yang korup. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, para pelaku
harus mengeluarkan modal investasi kejahatan yang besar pula. Jika dihitung
dengan dampak sosial maka kerugian akibat pembalakan liar akan semakin besar.
Tanpa adanya hambatan ke investasi dan aset-aset mereka, para pelaku kejahatan akan terus menghancurkan
hutan Indonesia dan menimbulkan berbagai masalah baik sosial, ekonomi maupun
politik.
Narkotika dan Obat Terlarang
Penelitian yang dilakukan bersama antara Badan Narkotika Nasional (BNN)
dan Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2012 tentang kerugian pribadi dan
sosial sepanjang tahun 2011 akibat penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang
mencapai angka Rp. 48,28 triliun. Para peneliti juga memprediksi pada tahun
2013 kerugian tersebut akan meningkat menjadi sekitar Rp. 57 triliun. Kerugian
pribadi diantaranya: biaya konsumsi narkoba; biaya perawatan dan pengobatan
atas penyakit yang terkait dengan narkotika dan obat-obatan terlarang; biaya
yang harus dikeluarkan pemakai atau keluarganya jika terjerat hukum. Total
kerugian pribadi mencapai Rp. 44,6 triliun. Selain kerugian pribadi ada juga
kerugian sosial yaitu beban yang harus ditanggung oleh masyarakat sebagai dampak
penyalah gunaan narkoba. Misalnya adanya biaya produktivitas yang hilang karena
sanak keluarga yang harus menunggu atau menjaga pengguna yang sakit atau sedang
direhabilitasi. Ada juga biaya yang harus dikeluarkan ketika pengguna terlibat
kecelakaan atau melakukan tindak pidana sehingga berurusan dengan hukum. Total
kerugian sosial pada tahun 2011 menurut BNN dan UI adalah berkisar Rp.3,8
triliun. Yang paling diuntungkan dalam penyalahgunaan narkoba adalah para
pelanggar hukum seperti produsen, bandar, pengedar dan oknum-oknum yang
memfasilitasi, mempermudah atau membantu tindak pidana ini. Tanpa adanya
gangguan atau hambatan finansial maka kegiatan mereka makin berkembang dari
tahun ke tahun karena kekuatan uang yang mereka miliki.
IDENTIFIKASI MASALAH
Paling tidak
ada tiga masalah dapat teridentifikasi dalam penanganan pelaku tindak pidana
berorientasi harta oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Pertama: Kejaksaan masih
menggunakan pola penanganan yang lebih mengutamakan pada penghukuman pelaku
sementara aset-aset pelaku yang terkait dengan tindak pidananya, baik secara
langsung maupun tidak langsung belum ditangani secara optimal.
Kedua:
Penanganan aset tidak dilakukan secara terintegrasi. Dalam setiap tahapan acara
pidana (penyidikan, penuntutan, dan eksekusi) ditangani oleh satuan-satuan
teknis/operasional yang berbeda sehingga aset-aset rawan hilang, rusak,
berkurang, berpindah secara ilegal, kehilangan nilai ekonomis terutama pada
saat transisi dari satu tahap ke tahap lain. Satuan-satuan kerja teknis/operasional
terlalu terbebani dengan penanganan teknis yuridis serta administrasi perkara
sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menangani aset-aset yang terkait
dengan perkara ditambah lagi mereka tidak memiliki cukup kapasitas maupun
kapabilitas untuk menangani aset-aset non konvensional seperti kapal, pesawat,
benda-benda berharga atau aset-aset yang memerlukan keahlian atau penanganan
khusus.
Ketiga: Mekanisme
penanganan aset yang kurang transparan dan akuntabel menimbulkan celah bagi
jaksa, pegawai kejaksaan atau pihak-pihak yang mempunyai akses ke aset-aset
dapat melakukan tindak pidana terhadap aset, misalnya penggelapan atau
pencurian aset.
Keempat: Pola
penanganan aset Kejaksaan saat ini masih problematik karena hanya bergerak
diakhir rangkaian acara pidana yaitu pada tahap eksekusi. Sehingga eksekutor
tidak memiliki kesempatan mengantisipasi timbulnya masalah yang terjadi pada
tahap-tahap sebelumnya (penyidikan dan penuntutan). Akibat nyatanya pada
Kejaksaan adalah sering terjadi ketidak sesuaian antara data Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dengan keadaan faktual dilapangan. Masalah ini terus berulang
membuat masalah aset menjadi temuan BPK sehingga menyulitkan Kejaksaan
mendapatkan penilaian baik dari sudut audit.
Pendekatan Pelaku
Penegakan
hukum belum berjalan optimal karena
masih ada celah (gap) didalam strategi
penegakan hukum. Strategi penindakan
saat ini berjalan timpang karena lebih mengutamakan elemen “pelaku”
sedangkan elemen “aset pelaku” kurang diperhatikan. Otoritas hukum lebih berorientasi kepada
pencarian, penangkapan dan penghukuman pelaku tindak pidana, sedangkan
penanganan aset-aset hasil tindak pidananya kurang ditangani dengan baik.
Preferensi dalam orientasi ini adalah keliru karena pada hakekatnya sasaran
utama para pelaku adalah aset, terutama dalam bentuk uang atau setara uang
walaupun motivasinya bisa berbeda-beda. Tindak pidana berorientasi harta terus
menjadi masalah karena akses para pelaku ke aset-aset hasil tindak pidananya
tidak secara efektif dihambat. Para penegak hukum terlalu sibuk memburu,
menangkap dan memenjarakan para pelaku, namun tidak terlalu serius merampas
aset yang justru merupakan darah dan udara bagi mereka. Kekeliruan strategi ini
memberikan pesan kepada para pelaku bahwa secara faktual “crime pays” -
Kejahatan itu menguntungkan. Karena “menguntungkan” maka makin banyak orang
yang kemudian terjun kedalam dunia kejahatan.
Tujuan
penjara sebagai penjeraan terhadap pelaku tidak tercapai ketika para pelaku
kejahatan masih memiliki akses ke aset mereka terutama uang sehingga dapat mengkompromikan
kondisi mereka.
Penanganan Aset yang
tidak terintegrasi
Secara de
facto Jaksa pada satuan kerja teknis memiliki tiga beban, yaitu: beban membuat
konstruksi perkara, beban administrasi perkara dan beban penanganan barang
bukti. Idealnya adalah jaksa hanya diberikan beban membuat konstruksi perkara.
Beban administrasi perkara diserahkan ke tenaga administrasi dan beban
penanganan barang bukti diserahkan kepada unit yang memiliki kualifikasi yang
relevan. Kondisi saat ini adalah Jaksa diberbagai tempat, bahkan di Kejaksaan
Agung sekalipun masih menangani perkara dan melakukan pekerjaan administrasi
perkara sekaligus karena terbatasnya tenaga administrasi yang mereka sendiri
juga (tenaga administrasi) harus mengerjakan berbagai pekerjaan administrasi
non pro justitia. Tenaga yang menangani aset-aset tidak ada pada tahap-tahap
penyidikan dan penuntutan. Sehingga beban itu dilimpahkan kepada Jaksa baik
selaku Jaksa Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sangat memberatkan
para Jaksa yang selain tidak memiliki waktu yang cukup juga tidak memiliki
keahlian atau kemampuan yang memadai dalam menangani aset.
Kurangnya Transparansi
dan Akuntabilitas
Mekanisme
saat ini yang tidak transparan dan akuntabel membuka terjadinya titik-titik
gelap (blindspot) dalam penanganan aset hasil tindak pidana. Tanpa adanya
pengawasan yang memadai, tanpa adanya sistem yang memungkinkan adanya
pengecekan, verifikasi dan konfirmasi maka para penegak hukum yang mempunyai
akses ke aset-aset hasil tindak pidana dapat melakukan tindak pidana terhadap
aset-aset tersebut atau tindak pidana ganda (double crime) artinya aset hasil
tindak pidana pelaku lalu menjadi obyek tindak pidana aparat. Dalam perkara
korupsi dikenal istilah double corruption yaitu harta hasil korupsi yang
dikuasai oleh penegak hukum kemudian dikorupsi lagi oleh aparat yang
menguasainya. Dalam konteks ini tindak pidana bertransformasi dari tindak
pidana eksternal (pelakunya adalah orang luar) menjadi tindak pidana internal
(pelakunya adalah aparat sendiri)
Sebagai
lembaga penegak hukum yang memiliki akses ke aset-aset hasil tindak pidana,
Kejaksaan juga memiliki titik-titik gelap. Titik-titik ini membuka peluang bagi
jaksa atau pegawai kejaksaan untuk berkolusi dengan para pelaku. Ada beberapa
modus operandi yang biasa dilakukan
untuk melakukan tindak pidana ganda. Jaksa misalnya tidak kunjung
merampas harta pelaku yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan melalui
putusan yang telah berkekuatan tetap (inkraacht),
padahal harta pelaku tersebut secara hukum telah menjadi kekayaan negara.[2] Disisi lain, praktek-praktek semacam
ini membuka peluang bagi pelaku untuk dapat menghindarkan aset-aset hasil
kejahatannya dari jangkauan negara. Hal ini pada gilirannya tidak membawa efek
jera dan efek cegah sehingga tindak pidana yang berorientasi harta tidak pernah
menunjukkan tendensi menurun.
Penanganan yang terpaku di Hilir
Mekanisme penanganan aset yang dijalankan Kejaksaan pada saat ini adalah mekanisme penanganan di hilir atau di akhir rangkaian acara pidana, yaitu pada tahap eksekusi. Mekanisme ini dijalankan oleh tiga satuan kerja yaitu “Tindak Pidana Khusus”, “Tindak Pidana Umum” dan “Pembinaan”. Karena hanya bergerak di hilir, maka Kejaksaan kehilangan kesempatan untuk menghilangkan atau meminimalisir masalah akibat tidak optimalnya penanganan aset ditahap-tahap awal acara pidana sehingga membuat aset-aset sulit untuk di eksekusi, baik karena masalah administrasi, finansial maupun karena masalah yuridis.
Kajian akademik ini bertujuan untuk membantu Kejaksaan Republik Indonesia untuk menelaah kemungkinan didirikannya suatu satuan kerja baru yang minim struktur namun kaya fungsi dan memiliki fleksibilitas untuk bergerak lintas satuan kerja dalam organisasi Kejaksaan; lintas instansi dalam rangka penegakan tugas pokok dan fungsi Kejaksaan di bidang pro yustisia; dan lintas yurisdiksi dalam rangka pelacakan, pengamanan dan pengembalian aset yang berada diluar yurisdiksi Indonesia untuk perkara-perkara yang menjadi tanggung jawab Kejaksaan.
Penegakan
hukum pada tindak pidana yang berorientasi pada harta tidak dapat berjalan
secara efektif jika pola penanganan yang diadopsi oleh penegak hukum masih
berorientasi pada strategi menghukum pelaku namun tidak menghilangkan alasan
utama bagi pelaku untuk melakukan kejahatan yaitu mendapatkan harta / aset.
Metode yang
lebih efektif adalah para penegak hukum menerapkan strategi ganda yaitu
strategi untuk menghukum pelaku dan strategi untuk memutus atau menghambat
secara signifikan akses pelaku ke aset-asetnya.
Kedua strategi tersebut jika secara simultan dijalankan akan menimbulkan
efek berganda bagi pelaku. Efek berganda itu adalah efek hukuman yang menyerang
baik fisik (merampas kemerdekaan atau membatasi kebebasan bergerak); dan
menyerang psikis (menimbulkan rasa malu, takut, dan jera) serta menyerang sisi
ekonomi (membuat pelaku kehilangan kendali finansial).
Hingga saat
ini masih ada celah dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berbasis
aset. Celah dimaksud adalah para pelaku tindak pidana masih tetap dapat
melakukan aktivitasnya untuk menghindar dari jeratan hukum dan memperkaya diri
sendiri dan/atau orang lain karena mereka masih memiliki akses ke aset-aset
hasil tindak pidana mereka sehingga mempunyai “posisi tawar” dan “daya beli”
yang tinggi. Penegakan hukum selama ini yang lebih terfokus kepada penindakan
pelaku (in personam) dan kurang
memperhatikan arti pentingnya menghambat atau menutup aset pelaku atau dengan
kata lain merampas aset hasil tindak pidananya (in rem) membuat tindak pidana berbasis aset, tetap tinggi.
METODE PENULISAN
Kajian ini
disusun dengan menggunakan beberapa metode yang relevan. Secara garis besar
metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan komparatif dengan
merujuk referensi-referensi terkait penanganan aset baik yang dilakukan oleh
Kejaksaan maupun oleh institusi penegak hukum lainnya. Selain itu
komparasi/perbandingan dalam bentuk studi lapangan komparatif juga dilakukan
antara satuan penanganan aset dibawah Kejaksaan RI (Satuan Tugas) dengan unit
penangan aset di yurisdiksi lain seperti US Marshall di Amerika Serikat, BOOM
di Belanda dan unit-unit lain seperti di Belgia, Belanda dan Thailand.
BAB II
LEGITIMASI KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN ASET
Wewenang Pro Justitia
Untuk
menjawab pertanyaan apakah Kejaksaan berhak melakukan penanganan atas aset,
terlebih dahulu harus diperjelas pengertian aset dalam konteks ini. Aset yang
dimaksud disini adalah aset yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Jika
diperhatikan dengan seksama, KUHAP pasal 1 angka 16 menerangkan tentang aset
yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Aset yang dimaksud adalah benda
bergerak, atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Terhadap aset-aset
tersebut dapat dikenakan tindakan penyitaan. Tindakan penyitaan yang dimaksud
dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan
atau menyimpan dibawah penguasaannya aset-aset terkait tindak pidana untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan. Jadi jelas
disini tindakan terhadap aset hanya dapat dilakukan oleh aparat penegakan hukum
karena tindakan ini adalah tindakan pro justitia. Aparat penegak hukum disini
adalah penyidik, baik itu penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau POLRI, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau
KPK (khusus korupsi) dan penyidik Kejaksaan (untuk tindak pidana korupsi dan
pelanggaran hak azasi manusia berat).
Penanganan
aset tidak hanya ada pada tahap penyidikan. Pada tahap penuntutan ada juga
penanganan aset. Setelah berkas penyidikan dinyatakan lengkap maka terjadi
penyerahan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Dalam tahap ini
hanya jaksa penuntut umum yang memiliki wewenang menangani aset karena dalam
sistem peradilan pidana Indonesia kewenangan penuntutan adalah dominus litis (domain) lembaga
Kejaksaan, tidak ada aparat penegak hukum lain yang diberikan wewenang oleh
undang-undang melakukan tindakan pro justitia di tahap penuntutan seperti
halnya di tahap penyidikan. Pada tahap peradilan, walaupun terjadi penyerahan
tersangka (menjadi terdakwa) dan berkas perkara (pelimpahan) dari penuntut umum
ke pengadilan, namun aset-aset yang merupakan barang bukti masih tetap dalam
penguasaan jaksa penuntut umum.
Wewenang Eksekutorial
Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dieksekusi oleh Kejaksaan
termasuk juga aset-aset yang telah diputuskan oleh pengadilan cara
penyelesaiannya. Sebagaimana penuntutan yang merupakan wewenang khas Kejaksaan,
wewenang eksekutorial juga merupakan wewenang khas Kejaksaan. Wewenang
eksekutorial ini meliputi pelaksanaan penetapan hakim dan juga pelaksanaan
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap[3]
“Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang [KUHAP] untuk…melaksanakan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap” pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP.
“Penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini [KUHAP] untuk…melaksanakan penetapan
hakim” pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP.
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa…”pasal 270 KUHAP.
“Jaksa mengirimkan tembusan berita
acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatanganinya…” pasal 278 KUHAP.
“Jaksa adalah pejabat fungsional yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai…pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap…” pasal 1 angka1 UU No.16
tahun 2004.
“Penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk…melaksanakan penetapan hakim.”
Pasal 1 angka 2 UU No.16 tahun 2004.
“Di bidang pidana, kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang… melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap…” pasal 30 ayat (1) huruf
b UU No.16 tahun 2004.
“Melaksanakan putusan pengadilan
termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang [kejaksaan] mengendalikan
pelaksanaan…putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan
disita untuk selanjutnya dijual lelang.” Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf b
UU No.16 tahun 2004.
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan
dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.” pasal 35 huruf a UU No.16
tahun 2004.
Dengan demikian pada setiap tingkatan peradilan pidana Kejaksaan memiliki
wewenang menangani aset-aset yang terkait tindak pidana. Ini merupakan
justifikasi dan legitimasi bagi Kejaksaan untuk bertindak sebagai Asset Recovery Office (ARO) terkait dengan
tugas pokok dan fungsinya dalam penyidikan (sebagai penyidik tindak pidana
tertentu); sebagai penuntut umum yang
menerima penyerahan aset pidana dari penyidik dan tetap menguasai aset hingga
ada keputusan pengadilan yang tetap, serta sebagai eksekutor yang melaksanakan
putusan dan atau ketetapan pengadilan dimana salah satu fungsinya adalah
melakukan penyelesaian (disposal) aset.
Wewenang Manajemen
Barang milik negara didefinisikan sebagai barang yang diperoleh atas
beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau berasal dari perolehan
lainnya yang sah [non APBN] [UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara pasal 1 angka 10 juncto PP 6 tahun 2006 tentang pengelolaan Barang milik
Negara/Daerah pasal 1 angka 1 juncto pasal 2 ayat (1) juncto Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan,
Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindah tanganan Barang Milik Negara Pasal 1
angka 1]. Walaupun telah mendefinisikan barang milik negara namun undang-undang
tidak mengklasifikasikan barang mana yang dapat dikategorikan sebagai barang
non APBN. Klasifikasi itu terdapat pada PP 6/2006. Menurut Peraturan Pemerintah
yang dimaksud dengan barang milik negara yang berasal dari perolehan non APBN
adalah barang milik negara yang relevan dengan konteks pemulihan aset, yaitu
barang-barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang atau barang-barang
yang diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.[4]
Dalam konteks Kejaksaan Agung, Jaksa Agung selaku pimpinan lembaga secara
ex officio berstatus sebagai “Pengguna Barang” namun secara fungsional
kewenangan dan tanggung jawabnya selaku pengguna barang dijalankan oleh Jaksa
Agung Muda Pembinaan.[5]
Jaksa Agung Muda Pembinaan mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab fungsional penggunaan
barang kepada kepala biro keuangan yang menyelenggarakan fungsi antara lain:
mengelola pendapatan dan uang milik negara serta Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP) Kejaksaan dan mengelola barang rampasan.[6]
Manajemen aset harus dilihat dalam konteks pro justitia/penegakan hukum
bukan dalam konteks manajemen pada umumnya.
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 38
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI mengatur penyelenggaraan
fungsi-fungsi Kejaksaan yang diantaranya adalah: “penyelamatan kekayaan negara”[7]
dan “ketatalaksanaan serta pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi
tanggung jawab [Kejaksaan].”[8]
Menteri Keuangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.08/2011
tentang pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari Barang Rampasan
Negara dan Gratifikasi mengakui dan menegaskan fungsi manajemen aset pro
justitia Kejaksaan seperti pada Pasal 8 dan Pasal 9 yang menyebutkan Jaksa Agung
sebagai pengurus barang rampasan negara.
“Jaksa Agung melakukan pengurusan
atas Barang Rampasan Negara sesuai ketentuan peraturang perundang-undangan.”
Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.08/2011.
“Dalam pengurusan Barang Rampasan Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Kejaksaan memiliki wewenang dan tanggung
jawab meliputi: melakukan penata usahaan; …melakukan penjualan secara lelang
Barang rampasan Negara…; melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik
dan pengamanan hukum terhadap Barang Rampasan Negara yang berada dalam
penguasaannya; mengajukan usul penetapan status penggunaan, pemanfaatan,
pemindahtanganan, pemusnahan dan penghapusan kepada Menteri [Keuangan]…” Pasal
9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.08/2011.
Disamping itu unit-unit penanganan aset, terutama penyelesaian aset sudah
merupakan bagian yang terintegrasi dengan struktur Kejaksaan. Unit-unit
tersebut melekat pada Bagian Pembinaan di Tiap-tiap satuan kerja Kejaksaan
diseluruh Indonesia. Pada Kejaksaan Agung terdapat Kantor Jaksa Agung Muda
Bidang Pembinaan yang lingkup tugasnya antara lain pengelolaan kekayaan milik
negara.[9]
Dibawah Kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan, terdapat Biro keuangan yang
menyelenggarakan fungsi [antara lain] pelaksanaan pengelolaan pendapatan dan
uang milik negara serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Kejaksaan [dan]
pelaksanaan pengelolaan barang rampasan.[10]
Pada Kejaksaan tinggi, dibawah Asisten Pembinaan, terdapat subbagian
Keuangan keuangan yang salah satunya terdapat urusan Pendapatan Negara dan
Barang Rampasan. Urusan Pendapatan Negara dan Barang Rampasan mempunyai tugas
antara lain melakukan pengelolaan barang rampasan.[11]
Pada Kejaksaan Negeri, dibawah Kepala Kejaksaan, terdapat Subbagian Pembinaan
yang salah satu tugasnya adalah melakukan pengelolaan teknis barang milik
negara yang menjadi tanggung jawabnya.[12]
Hal ini menunjukkan bahwa manajemen aset bukanlah hal baru bagi
Kejaksaan. Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi
sebenarnya bukanlah lembaga baru, namun merupakan peningkatan fungsi dari
satuan kerja yang telah ada agar lebih efektif dan efisien.
BAB III
MEKANISME PENANGANAN ASET
Secara umum
mekanisme penanganan aset di Kejaksaan dapat terbagi atas tiga periode, yaitu
periode sebelum Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi
(Satgassus) efektif bekerja yaitu sebelum 2011; periode Satgassus yang dimulai
dari 2011[13]
dan periode pasca Satgassus yang direncanakan akan dijalankan oleh Pusat
Pemulihan Aset sebagai satuan kerja integratif yang mendukung kegiatan satuan
kerja teknis/operasional.
Periode Pra Satgassus
Tidak jelasnya mekanisme penanganan aset dan begitu besarnya wewenang
jaksa ketika bersentuhan dengan aset merupakan kombinasi yang berbahaya. Wakil Jaksa Agung Darmono mengakui hal itu.
Darmono menyatakan bahwa potensi penyimpangan dalam penanganan aset dalam pada
lembaga Kejaksaan cukup besar mengingat kewenangan jaksa yang begitu luas
sehingga membuka banyak kesempatan bagi oknum kejaksaan untuk melakukan tindak
pidana.
Penyimpangan ini, menurut Darmono, dapat terjadi disemua lini mulai dari
tahap penyidikan, penuntutan hingga tahap eksekusi putusan pengadilan. Secara
spesifik Darmono menyebutkan bahwa penyimpangan terjadi pada penanganan
aset-aset pada suatu perkara yang juga [dapat] menjadi kekayaan negara.
Jenis-jenis aset tersebut menurut Darmono antara lain barang bukti; barang
rampasan; uang pengganti dan denda. Terhadap aset-aset inilah perlu diadakan
upaya penjagaan sehingga tidak berpotensi dimaanfaatkan oleh jaksa atau pejabat
lain.[14]
Pernyataan Wakil Jaksa Agung tersebut dikuatkan oleh Direktur Riset Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Maulana yang menyatakan bahwa
banyaknya perkara korupsi yang dihentikan oleh Kejaksaan dengan praktik-praktik
kolusif dengan koruptor yang tidak ingin asetnya dirampas oleh negara.[15]
Titik-titik gelap ini bukan hanya menimbulkan tindak pidana ganda namun
juga menimbulkan masalah lain yaitu terbengkalainya aset-aset karena kurangnya
kontrol dan tidak tertibnya administrasi
penanganan aset. Tidak akuntabel dan transprannya penanganan aset
mengakibatkan banyak aset yang kemudian
menumpuk dan kehilangan nilai ekonomisnya. Konsekuensinya adalah berkurangnya
atau bahkan hilangnya penerimaan negara. Aset-aset yang tidak ada
penyelesaiannya kemudian menjadi catatan permanen dalam audit oleh lembaga
audit negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan instansi yang
bersangkutan mendapat rapor merah.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dilakukan oleh BPK sebagaimana
tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2010 Periode 1
Januari sampai dengan 30 Juni 2010 tanggal 6 September 2010[16]
mengungkapkan fakta bahwa terdapat masalah serius dalam penanganan aset hasil
tindak pidana oleh Kejaksaan. Beberapa contoh masalah yang disebutkan dalam
laporan tersebut adalah:
-
Ketidak
patuhan dalam Pengelolaan pendapatan negara sehingga mengakibatkan kekurangan
penerimaan yaitu uang pengganti dari perkara-perkara korupsi dari
kejaksaan-kejaksaan negeri di lingkungan Kejaksan Tinggi Jawa Tengah yang belum
tertagih senilai Rp. 39.730.000.000,-[17]
-
Kekurangan
penerimaan yaitu: Pendapatan berupa uang rampasan dari perkara yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkraacht), denda tilang, dan jasa giro belum
disetorkan ke kas negara senilai Rp, 4.490.000.000,-[18]
-
Kelemahan
sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan yaitu Penggunaan mata anggaran
penerimaan (MAP) Kejaksaan Negeri Bangli untuk penyetoran hasil lelang barang
rampasan Rp.32.670.000,- dan biaya perkara senilai Rp.797.000,- tidak sesuai
dengan ketentuan.[19]
-
Kelemahan
sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan yaitu: Kejaksaan Tinggi
Jawa Tengah barang rampasan dari putusan pengadilan yang telah lama mempunyai
kekuatan tetap terlambat penyelesaiannya[20]
Direktur Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA),
Maulana, pada tanggal 15 Juli 2012 menyatakan bahwa berdasarkan temuan BPK
tahun 2008-2010 ditemukan 473 kasus penggunaan anggaran di Kejaksaan. Dari
kasus-kasus tersebut, dengan mengutip BPK, Maulana megemukakan bahwa Kejaksaan
berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 5,4 triliun. Posisi
Kejaksaan ini diikuti oleh Kementerian Keuangan dengan potensi kerugian negara
sebesar Rp. 5,35 Triliun serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di posisi
ketiga dengan potensi kerugian negara sebesar Rp. 3,3 triliun. Penyebabnya
menurut Maulana adalah tidak diterapkannya prinsip tata kelola keuangan yang
baik oleh Kejaksaan sehingga banyak uang rampasan dari terpidana yang tidak
kunjung dikembalikan kepada negara.[21]
Periode Satgassus
Mencermati banyaknya masalah dalam penanganan aset-aset hasil tindak
pidana sebagaimana tergambar dalam laporan-laporan hasil pemeriksaan BPK dan
temuan-temuan dilapangan Jaksa Agung Basrief Arief memerintahkan agar dicarikan
solusinya. Solusi yang kemudian dipilih adalah pembentukan Satuan Tugas. Dengan
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia[22] dibentuk Satuan Tugas Khusus
(Satgassus) Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi yang terdiri
dari 1 koordinator, 1 Ketua Pelaksana, 1 sekretaris dan 10 anggota. Satgas ini
dilantik pada 27 Januari 2011 dengan tugas untuk menyelesaikan proses
perampasan dan penyitaan barang hasil sita eksekusi[23] dengan wilayah kerja Indonesia dan
luar wilayah Indonesia.[24]
Prosedur kerjanya secara garis besar adalah unit yang bertanggung jawab
atas penuntutan menyerahkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap kepada
Kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan untuk kemudian ditindaklanjuti dengan
penanganan aset pelaku tindak pidana sesuai dengan amar pengadilan. Namun,
tidak semua putusan pengadilan yang memuat asset
recovery diserahkan kepada Satgassus untuk diproses. Hanya putusan-putusan
atas perkara pidana korupsi yang diadili oleh pengadilan-pengadilan yang
memiliki yurisdiksi di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) yang
diserahkan sedangkan putusan pengadilan diluar yurisdiksi DKI Jakarta belum
ditangani. Masih ada lagi pembatasan penyerahan kategori putusan. Tidak semua
putusan pengadilan atas perkara pidana yang diserahkan kepada satgassus, hanya
perkara korupsi saja yang ditangani dan tidak semua perkara korupsi di wilayah
DKI Jakarta yang diserahkan kepada satgassus, hanya putusan atas
perkara-perkara yang dikategorikan sebagai perkara besar dan penyelesaian asset recovery-nya berlarut-larut yang
ditangani oleh satgassus.
Jenis asset recovery yang
ditangani satgassus sangat terbatas. Secara umum proses asset recovery yang dilaksanakan oleh Satgassus baru dimulai
setelah proses penuntutan selesai. Artinya dalam alur penyelesaian perkara yang
dimulai dari penyelidikan hingga eksekusi, satgassus hanya ada dibagian hilir
ketika putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkraacht) telah dikeluarkan.
Konsekuensinya adalah apapun putusan yang berkaitan dengan eksekusi aset harus
dijalankan ole satgassus. Kesulitannya adalah dalam praktek dilapangan ada
putusan yang tidak jelas sehingga satgassus sulit mengeksekusinya misalnya
putusan yang hanya menyebut merk dan warna mobil tanpa keterangan detail,
misalnya nomor polisi, nomor rangka atau nomor chasisnya. Hal ini sangat
menyulitkan petugas satgassus karena mobil sejenis sangat jumlahnya tidak hanya
satu.
Hingga Desember 2011 baru dua Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan
yang diterbitkan untuk dilaksanakan oleh satgassus. Perintah yang pertama
diterbitkan pada 18 Februari 2011[25]
untuk menangani dan menyelesaikan barang rampasan perkara tindak pidana atas
nama terpidana:
1.
Hendra
Raharja, dan kawan-kawan;
2.
Andrian
Herling Waworuntu, dan kawan-kawan;
3.
Arie
Lestario;
4.
Widjanarko
Puspoyo;
5.
David
Nusa Wijaya;
6.
Edy
Tanzil;
7.
Muhammad
Hasyim;
8.
Sudjono
Timan;
9.
Mohammad
Hasan;
10.
Edward
Cornelis William Neloe, dan kawan-kawan.
Perintah yang kedua diterbitkan pada 23 September 2011[26]
untuk menangani dan menyelesaikan barang rampasan perkara tindak pidana atas
nama terpidana: Bambang Sutrisno, dan kawan-kawan dan atas nama terpidana Dra.
Hardieni Soegito.
Laporan Kemajuan Kinerja Satgassus[27]
No
|
Nama
Terpidana
|
Rencana
(unit)
|
Penyelesaian
(unit)
|
Persentase
Penyelesaian
|
1
|
Hendra Raharja dkk
|
203
|
0
|
0%
|
2
|
Andrian Herling Waworuntu
dkk
|
37
|
10
|
27%
|
3
|
Arie Lestario
|
64
|
0
|
0%
|
4
|
Widjanarko Puspoyo
|
4
|
0
|
0%
|
5
|
David Nusa Wijaya
|
352
|
11
|
3%
|
6
|
Edy Tanzil
|
0
|
0
|
0%
|
7
|
Muhammad Hasyim
|
2
|
0
|
0%
|
8
|
Sudjono Timan
|
0
|
1
|
?
|
9
|
Mohammad Hasan
|
21
|
0
|
0%
|
10
|
Edward C. William Neloe
dkk
|
9
|
0
|
0%
|
11
|
Bambang Sutrisno, dkk
|
0
|
0
|
0%
|
12
|
Dra. Hardieni Soegito
|
12
|
0
|
0%
|
Total
|
704
|
22
|
3%
|
Data diatas menunjukkan masih rendahnya kinerja Satgassus. Hanya 3% (22
unit) dari perencanaan penyelesaian aset (704 unit) yang dapat diselesaikan.
Penyebabnya adalah terjadi masalah dalam akurasi data dan tidak adanya
transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan aset ditingkat penyidikan dan
penuntutan serta dibiarkannya terbengkalai aset-aset yang ada sehingga
menyulitkan Satggassus dalam penyelesaiannya.
Periode pasca Satgassus
Kecepatan, fleksibilitas, efisiensi adalah tiga faktor kunci dalam
penanganan aset yang efektif. Dalam struktur besar Kejaksaan struktur pusat
adalah struktur yang paling mengakomodasi faktor-faktor kunci diatas untuk
menangani kompleksitas pekerjaan penanganan aset.
Kecepatan dan efisiensi
Walaupun berperan sebagai unsur penunjang bagi satuan-satuan kerja namun
Pusat bukanlah bagian dari satuan-satuan kerja, dengan demikian Kepala Pusat
tidak bertanggung jawab kepada kepala-kepala satuan kerja yang dalam konteks
ini adalah para jaksa agung muda yang merupakan unsur pembantu pimpinan. Kepala
Pusat bertanggung jawab langsung kepada unsur pimpinan, dan lebih spesifik lagi
adalah kepada Jaksa Agung.[28]
Dengan ditempatkannya Pusat dalam garis komando yang langsung dengan Jaksa
Agung maka hambatan birokrasi yang hirarkis dapat diminimalisir. Jika unit
pemulihan aset dikembangkan kedalam struktur seperti direktorat atau biro maka
alur tanggung jawab dari unit ini akan menjadi semakin panjang karena yang
berlaku di Kejaksaan adalah pertanggung jawaban berjenjang. Konsekuensinya
adalah rentang waktu komunikasi dan koordinasi sampai ke level Jaksa Agung
menjadi lebih lama padahal dalam hal-hal tertentu, seperti pelacakan aset
(asset tracing) memerlukan kecepatan dalam keputusan dan bertindak. Panjangnya
jenjang pertanggung jawaban dan panjangnya rentang waktu komunikasi pada
gilirannya membuat penangangan aset menjadi tidak efisien. Oleh karena itu
adalah lebih realistis jika pengelolaan aset ini dibentuk dalam struktur Pusat
dibandingkan dengan struktur dalam satuan kerja seperti direktorat atau biro
atau struktur se level lainnya.
Fleksibilitas
Selain cepat dan efisien, fleksibilitas juga merupakan elemen penting
dalam pergerakan unit pemulihan aset karena unit ini harus beroperasi di
berbagai bidang dimana aset berada dan tidak beroperasi berdasarkan pembagian
fungsi konvensional pada Kejaksaan seperti tindak pidana Umum, tindak pidana
khusus, dan perdata dan tata usaha negara. Jika ditempatkan sebagai bagian dari
salah satu satuan kerja operasional maka unit pemulihan aset akan terkungkung
pada fungsi konvensional satuan kerja terkait dan akan menjadi lebih sulit
bergerak lintas unit.
Lintas Unit Dalam Struktur Kejaksaan
Karena fungsinya Pusat memiliki fleksibilitas untuk bergerak lintas unit
kerja (fleksibilitas horizontal). Pusat adalah penunjang unit-unit tersebut
namun bukan bagian dari unit-unit dimaksud. Aset-aset terkait tindak pidana
atau diduga ada kaitnnya dengan tindak pidana tidak hanya berasal dari korupsi
(tindak pidana khusus) namun juga dapat berasal dari tindak pidana lain seperti
illegal fishing, illegal logging, terorisme, perdagangan orang, penyelundupan
manusia, perdagangan obat-obat terlarang, perdagangan senjata dan lain-lain
(tindak pidana umum) serta perkara-perkara perdata dimana ada kepentingan
pemerintah (perdata dan tata usaha negara). Jika Pusat tidak berbentuk pusat
tapi berbentuk lain, misalnya direktorat, dan berada dibawah satuan kerja
tertentu, misalnya dibawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus maka akan
terjadi banyak masalah. Diantaranya adalah aset-aset yang berasal dari satuan
kerja lain, misalnya tindak pidana umum tidak dapat ditangani oleh unit tindak
pidana khusus. Akibatnya adalah penangan aset kembali kepada pola lama yaitu
ditangani secara sektoral/parsial dan banyak tercipta daerah abu-abu dimana
aset-aset dapat hilang atau dihilangkan, tertukar atau ditukar, berkurang atau
dikurangi, berubah atau diubah dan banyak hal lain diluar prosedur.
Pusat bukan saja memiliki fleksibilitas horizontal namun juga
fleksibilitas vertikal, artinya Pusat dapat bergerak dalam struktur hirarkis
mulai dari tingkat Kejaksaan Agung hingga ke tingkat Kejaksaan Negeri. Bahkan
ke tingkat cabang kejaksaan negeri jika diperlukan. Pusat tidak akan mengambil
alih fungsi unit-unit yang selama ini telah ada dalam menangani aset-aset hasil
tindak pidana yaitu Pembinaan baik ditingkat Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi,
maupun Kejaksaan Negeri. Pusat menunjang kinerja Pembinaan dengan mengkoordinir
proses eksekusi aset-aset hingga pelepasan (disposal) serta proses kontrol aset
sehingga tidak ada aset yang tidak dapat dipertanggung jawabkan atau menjadi
tidak jelas keberadaannya.
Dengan mengacu pada kebutuhan akan fleksibilitas horizontal dan vertikal
sebagaimana dijelaskan diatas maka sudah tepat jika satuan tugas khusus
ditingkatkan dalam bentuk Pusat dan bukan dalam bentuk lain, seperti direktorat
atau bagian, karena jika dibentuk dalam bentuk unit yang berada dibawah satuan
kerja tertentu fleksibilitasnya akan sangat terganggu sehingga pada gilirannya
menghambat efektivitas dan efisiensi upaya pemulihan aset di Kejaksaan.
Lintas Instansi dalam Struktur
Nasional
Secara de jure Kejaksaan, Pusat merupakan unsur penunjang namun secara de
facto Pusat merupakan titik pusat operasi (operational central point). Dengan
Pusat sebagai titik pusat operasi upaya koordinasi antar instansi menjadi lebih
mudah, cepat, dan efisien karena instansi lain hanya perlu berkomunikasi dan
berkoordinasi dengan Pusat walaupun masalahnya ada diberbagai yurisdiksi
Kejaksaan di seluruh Indonesia.
Upaya pemulihan aset (termasuk juga didalamnya pendataan, pelacakan,
pengembalian, dan pelepasan) adalah upaya yang kompleks. Kejaksaan pada umumnya
dan Pusat pada khususnya memiliki keterbatasan kapasitas dan kapabilitas untuk
menangani sendiri upaya pemulihan aset tersebut. Diperlukan kerjasama antar
instansi / organisasi untuk secara sinergis. Ada berbagai kegiatan yang memerlukan
kerjasama misalnya: adanya keperluan Pusat untuk mengakses database yang
dimiliki oleh instansi-instansi lain seperti PPATK, Kemenkumham (Imigrasi),
Kementerian Keuangan (Bea Cukai), Kementerian Perhubungan (otoritas bandar
udara dan pelabuhan), Bank Indonesia (lembaga-lembaga perbankan) dan
badan-badan seperti BKPM, Bapepam, BNN, BNPT dan lain-lain.
Lintas Yurisdiksi
Dengan kemajuan teknologi terutama teknologi transportasi dan komunikasi
disertai dengan semakin longgarnya restriksi politis karena alasan-alasan
sosial ekonomi maka tindak pidana tidak lagi bersifat lokal, namun sudah
berkembang menjadi tindak pidana lintas negara. Banyak tindak pidana lintas
negara yang juga melibatkan aset, misalnya korupsi, perdagangan senjata,
perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang, perdagangan orang, penyelundupan
manusia, terorisme, pencucian uang dan sebagainya. Dalam konteks ini Pusat
menjalankan dua fungsi terkait dengan operasi luar negeri dan operasi yang
terkoordinasi dengan otoritas dari yurisdiksi lain. Dalam konteks formal Mutual
Legal Assistance (MLA) Pusat akan menjadi representasi Kejaksaan sebagai
Competent Authority dalam hal operasi pemulihan aset regional dan
internasional. Sebagai competent authority, Pusat berkoordinasi dengan
Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia selaku Central Authority yang
diamanatkan oleh undang-undang dan dengan competent authority lainnya seperti
Kementerian Luar Negeri, POLRI (Interpol), maupun pihak-phak penunjang seperti
Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Bea Cukai dan lain-lain.
Dalam konteks semi formal maupun non formal, kerjasama juga dilakukan
oleh Pusat mewakili Kejaksaan RI dengan rekan sejawat Kejaksaan (counterpart) di yurisdiksi lain seperti
Kejaksaan Agung maupun dengan organisasi-organisasi ARO seperti CARIN, APARIN,
GAFISUD dan lain-lain. Dalam konteks pemulihan aset Pusat juga dapat menjalin
kerjasama dengan organisasi jaksa regional seperti Organisasi profesi Jaksa
ASEAN dan organisasi jaksa internasional (IAP)
PENINGKATAN KINERJA
Peningkatan satgassus menjadi Pusat tidak hanya terkait dengan
peningkatan struktur dan personil namun juga untuk peningkatan. Banyak
keterbatasan kinerja satgassus yang harus diperbaiki oleh Pusat.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain adalah:
Keterbatasan Fungsi
Dilihat dari namanya maka Satgassus hanya memiliki fungsi yang terbatas,
yaitu melakukan penyelesaian atas barang rampasan dan barang sita eksekusi,
sementara aset-aset hasil korupsi yang belum berada dalam status itu (misalnya
sebagai barang bukti) belum dapat ditangani oleh Satgasssus. Jika diibaratkan
proses peradilan pidana, khususnya korupsi, adalah aliran sungai maka Satgassus
dibentuk untuk menyelesaikan masalah di hilir sementara masalah di hulu tidak
ditangani dengan baik. Proses asset
recovery baru dapat dimulai setelah pengadilan mengeluarkan putusan yang
bersifat tetap (inkraacht), artinya dalam suatu rangkaian proses peradilan
pidana, asset recovery adalah bagian yang terakhir. Oleh karenanya proses ini
sangat tergantung pada proses-proses sebelumya. Ketika proses-proses sebelumnya
tidak memberikan detail atau arah yang jelas, maka proses asset recovery
menjadi sangat sulit dan memakan waktu serta hasilnya pun menjadi tidak
optimal.
Keterbatasan Anggaran
Sumber pendanaan untuk pelaksanaan perintah tersebut dibebankan kepada
anggaran Kejaksaan tahun berjalan (Daftar Isian Proyek dan Anggaran atau DIPA).
Hampir tidak dimungkinkan untuk mendapatkan dana tambahan dalam tahun berjalan
bila semua anggaran untuk kegiatan asset recovery telah terpakai. Sebagai
konsekuensinya kegiatan asset recovery yang tidak mendapat dana penanganan akan
di tunda hingga tersedianya dana. Keterbatasan anggaran ini menghambat kegiatan
operasional satgassus. Aset-aset yang akan dirampas berada diberbagai wilayah
di Indonesia bahkan ada juga yang berada di luar negeri. Kegiatan asset
recovery adalah kegiatan operasional yang situasional. Sulit untuk
diprediksikan secara akurat sebelumnya berapa besar budget yang harus
disediakan. Ketika dana yang dialokasikan sudah habis, maka petugas tidak dapat
menjalankan tugasnya hingga tersedia dana pada tahun berikutnya (sekitar Bulan
Maret setiap tahunnya). Hal ini akan membuat penundaan dan pada gilirannya
menimbulkan tumpukan pekerjaan yang kemudian menjadi beban tambahan pada
pekerjaan ditahun berikutnya.
Keterbatasan dan inakurasi Data
Tidak adanya database yang akurat sehingga menyulitkan Satgas untuk
melacak, menemukan dan merampas aset-aset tersebut. Data/informasi yang
diperoleh satgassus pada umumnya diperoleh setelah proses persidangan selesai.
Satgassus tidak memiliki kesempatan untuk memverifikasi data sejak awal (sejak
tingkat penyelidikan, jika perkara korupsi-nya ditangani oleh Kejaksaan) atau
kesempatan untuk melakukan pencocokan data dengan keberadaan aset secara
faktual dilapangan. Banyak aset yang kemudian hanya menjadi data diatas kertas.
Dilapangan, aset-aset tersebut sangat sulit dilacak keberadaannya. Tidak
sesuainya data dan fakta sangat mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kerja
satgassus karena dengan sumber daya dan sumber dana yang terbatas harus
melakukan pekerjaan ekstra karena tidak akuratnya data.
Keterbatasan Sumber Daya Manusia
Penempatan personil satgassus lebih didasarkan kepada perintah dan bukan
didasarkan pada rekruitmen dengan pola tertentu yang dirancang khusus untuk
memenuhi kebutuhan satgassus, sehingga prinsip the right personnel in the right
place menjadi tidak terpenuhi. Kurang
cocoknya kualifikasi personil dengan kebutuhan kerja menghambat kemajuan
pekerjaan dalam beberapa hal.
Beban kerja yang tinggi akibat keterbatasan jumlah personil juga menjadi
kendala yang lain. Personil yang sudah ada mengalami kesulitan untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas melalui pelatihan-pelatihan dan studi
banding karena sebagian besar waktu kerja mereka yang efektif telah tersita,
sehingga hampir tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk peningkatan pengetahuan
masing-masing personel.
Minim insentif.
Tidak adanya insentif[29]
bagi unit-unit pelaksana dilapangan mengurangi motivasi bagi personel yang
menangani asset recovery. Tugas asset recovery merupakan beban kerja tambahan
bagi petugas-petugas di Kejaksaan-kejaksaan negeri atau Kejaksaan Tinggi
didaerah. Mereka enggan melakukan tugas ini karena selain tidak adanya insentif
juga karena tidak adanya anggaran yang khusus dipergunakan untuk kegiatan ini
yang memakan biaya yang tidak sedikit. Keterbatasan atau ketiadaan anggaran
tersebut mengakibatkan petugas lapangan seringkali harus membiayai operasi
sendiri, dan hal ini merugikan mereka secara finansial.[30]
Unit-unit Kejaksaan di daerah yang bertanggung jawab untuk melakukan
asset recovery (Sub Bagian Pembinaan pada Kejaksaan Negeri yang bertindak
sebagai eksekutor) enggan bekerjasama dengan Satgas karena hal itu merupakan
pekerjaan tambahan tanpa adanya insentif kepada mereka. Hal ini mempersulit
Satgas karena adanya keterbatasan personel Satgas, cakupan wilayah satgas yang
sangat luas dan dalam banyak hal pengetahuan lokal unit setempat sangat
membantu dalam upaya pelacakan dan pengembalian aset.
Putusan pengadilan yang tidak jelas
Tidak jelasnya putusan pengadilan terkait detail barang-barang yang
ditetapkan dirampas untuk negara sehingga menimbulkan masalah bagi akurasi
penentuan obyek dilapangan.[31]
Putusan pengadilan menjadi krusial bagi satgassus karena putusan tersebut menjadi landasan bagi
satgassus untuk melakukan pelacakan dan perampasan aset. Ketika referensi
kurang akurat, maka satgassus akan menemui kesulitan melakukan tindak lanjut (follow up) dilapangan.
BAB IV
MODEL – MODEL ACUAN PUSAT PEMULIHAN ASET
Ada beberapa model yang diperhatikan oleh satgassus sebagai alternatif
dan sebagai referensi dalam pembentukan Pusat. Diantaranya adalah Model
Indonesia (Direktorat Penindakan KPK); Model Belanda (BOOM) dan Model Amerika
(USMS). Pemilihan model yang sesuai dengan karakteristik Pusat tidak selalu
berarti mengadopsi secara utuh salah satu model, namun dapat berupa kombinasi
dari unsur-unsur yang relevan dari masing-masing model untuk diaplikasikan
dalam struktur, tugas pokok dan fungsi Pusat.
Direktorat Penindakan KPK [32]
Berbeda dengan dua institusi penyidik utama lainnya (Polri dan
Kejaksaan), KPK memiliki unit khusus yang menangani aset para tersangka
koruptor di tahap penyidikan.[33]
Unit-unit yang menangani penyidikan di Polri dan Kejaksaan memiliki dua fungsi
yang harus dijalankan secara simultan, yaitu fungsi penanganan perkara dan
fungsi penanganan aset-aset yang terkait dengan penanganan perkara. Dengan
volume penanganan perkara yang cukup tinggi, keterbatasan personil, kurangnya
anggaran, serta keterbatasan pengetahuan terkait manajemen, administrasi dan
pengamanan aset-aset maka fungsi kedua seringkali terabaikan padahal fungsi ini
memainkan peran yang sangat penting dalam upaya penegak hukum untuk memperkuat
efek jera dan efek tangkal bagi para mereka yang berpotensi untuk melakukan
tindak pidana.
Dua fungsi ini dijalankan oleh unit yang terpisah di KPK. Penanganan
perkara ditangani oleh Unit penyidik yang terfokus pada penemuan alat bukti
guna menentukan tersangka serta menyusun struktur perkara yang dapat diterima
oleh Unit penuntutan. Pelacakan, dan pengaman, administrasi dan manajemen aset
ditangani oleh unit khusus pelacakan.
Ada beberapa keterbatasan unit khusus pelacakan. Walaupun secara struktural
kedua unit ini memiliki posisi yang sama, namun secara operasional unit
pelacakan hanya dapat bekerja berdasarkan mandat dari unit penyidikan. Unit ini
tidak dapat melakukan tindakan secara pro yustisia. Penempatan unit ini dalam
struktur organisasi merupakan masalah tersendiri. Unit ini secara struktur
organisasi berada dibawah Direktorat Penuntutan padahal fungsi yang
dijalankannya masuk kedalam lingkup penyidikan. Akibatnya adalah rantai
birokrasi menjadi lebih panjang dan lebih rumit karena bersifat lintas sektoral
(sektor penyidikan dan sektor penuntutan).
Unit ini belum berfungsi sebagai one-stop unit, karena ketika perkara
berpindah dari domain penyidikan ke domain penuntutan maka penangan aset juga
harus berpindah sektor dari sektor penyidikan ke sektor penuntutan yaitu
berpindah ke Team Jaksa Penuntut Umum (JPU). Secara operasional tanggung jawab
tersebut berpindah ke JPU dan secara administratif tanggung jawab itu berpindah
ke bagian Rumah Tangga yang berada dibawah Kesekretariatan. Walaupun
perpindahan ini dapat dilakukan secara cepat karena telah tersedianya sistem
database yang terintegrasi dan telah tersusunnya protokol transfer namun hal
tersebut tetap saja menciptakan rantai birokrasi (red tape) yang baru yang
mengurangi efisiensi sistem penangangan perkara yang berasas cepat, murah dan
sederhana. Unit ini melihat bahwa sebenarnya akan lebih efisien jika unit ini
berada dibawah Deputy Penindakan yang membawahi Direktur Penyidikan dan
Direktur Penuntutan.
Selain hambatan internal, terdapat juga hambatan eksternal. Masih banyak
hambatan legal praktis dilapangan, misalnya adanya praktek “kuasa menjual”
dimana aset dikuasakan kepada orang lain, dan nama pelaku korupsi tidak muncul.
Bila hal ini terjadi maka Penyidik atau JPU tidak berani mengeluarkan otorisasi
untuk melakukan penyitaan. Hal ini disebabkan karena sistem hukum acara pidana
Indonesia masih menganut prinsip in persona (penyitaan ditujukan kepada orang)
bukan pada prinsip in rem (penyitaan ditujukan kepada barang).
Cakupan kerja unit ini bukan hanya yurisdiksi Indonesia, namun juga
diseluruh dunia, dimana aset-aset koruptor berada. Untuk aset-aset yang berada
diluar negeri, unit ini tidak dapat menanganinya sendiri, namun harus
menyerahkan prosedur penanganannya kepada Unit lain, yaitu unit internasional
yang berada dibawah PJKAKI untuk pembuatan Mutual
Legal Assstance (MLA) dan hal-hal lain yang terkait. Hal ini pun juga pada
gilirannya menciptakan rantai birokrasi lain.
Terlepas dari hambatan-hambatan birokratis diatas ada beberapa keuntungan
yang didapat oleh unit khusus pelacakan aset ini:
-
Dalam
pemilihan personil yang akan mengisi posisi pada unit ini, rekruitmen
didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas kandidat yang relevan dengan
kebutuhan operasional dan administratif unit. Unit diberikan keleluasaan untuk
menetapkan kriteria kandidat dan ikut aktif dalam proses seleksi. Sehingga
prinsip the right personnel on the right position dapat diterapkan;
-
Aset-aset
tersangka ditangani dengan lebih baik, karena unit ini berdedikasi untuk
melakukan hal itu dan personilnya
memiliki kapasitas dan kapabilitas, bila dibandingkan dengan unit penyidik yang
berada di Polri dan Kejaksaan yang konsentrasi penyidiknya terpecah antara
menangani perkara dan menangani aset; Penangan yang lebih baik dapat dilihat
dari: teridentifikasnya aset-aset tersebut secara akurat, pengamanan dan
manajemen yang memadai atas aset-aset tersangka diberbagai lokasi;
-
Mekanisme
kontrol aset yang menjadi barang bukti menjadi lebih transparan dan akuntabel
karena akses dapat dilakukan oleh dua unit yaitu unit pelacakan asset dan unit
penyidik atau pihak lain yang relevan, sementara dilembaga penyidikan lain,
kontrol atas aset lebih menjadi hak ekslusif penyidik dan tanpa mekanisme
kontrol yang jelas;
-
Proses
verifikasi aset sudah dilakukan sejak awal, yaitu dari proses penyidikan
sehingga data yang sampai kepada penuntutan kemudian juga tertuang dalam
putusan pengadilan adalah data yang terverifikasi, dengan lokasi dan kondisi
aset terdata dengan jelas, sehingga akan memudahkan proses aset recovery oleh
eksekutor di tahap akhir. Berbeda dengan
kedua lembaga penyidikan lainnya, yang bekerja secara parsial (antara
penyidikan, penuntutan dan eksekusi). Aset seringkali tidak terverifikasi dan
posisi serta kondisi aset seringkali tidak diketahui. Membuat proses asset
recovery menjadi rumit, memakan waktu dan berbiaya tinggi.
Unit khusus pelacakan aset ini tidak merujuk kepada model tertentu, namun
dibentuk sesuai dengan kebutuhan operasional KPK, sehingga dapat berfungsi
dengan lebih efektif dan efisien.
Walaupun demikian ada acuan yang dipakai ketika unit ini dibentuk.
Acuan-acuan tersebut antara lain adalah ICAC Hongkong; US Marshall; New South
Wales Attorney General (Australia) dan beberapa lembaga lain.
Bureau Ontneming wetsgeving Openbaar Ministerie (BOOM) atau dalam Bahasa
Inggrisnya Criminal Asset Deprivation Bureau of the Public Prosecution Service
(CADB) merupakan suatu biro yang dibentuk pada 1994 dan berada di bawah
Kejaksaan Belanda yang berfungsi sebagai suatu lembaga yang menangani aset-aset
yang merupakan barang bukti dalam perkara pidana dan juga menangani eksekusi
aset-aset hasil tindak pidana. Pembentukan biro ini berangkat dari pemikiran
bahwa uang atau harta berperan sangat penting didalam [banyak] tindak pidana.
Para pelaku tindak pidana [banyak] yang tidak jera melakukan kejahatannya
karena mendapat keuntungan dari kejahatan tersebut.
Pemerintah Belanda melalui Kejaksaan kemudian melakukan terobosan yaitu
menciptakan mekanisme yang mampu secara efektif mengurangi, menghambat dan,
jika mungkin, memutuskan akses para pelaku kejahatan ke aset-aset mereka.
Mekanisme inilah yang dijalankan oleh BOOM. Pesan yang ingin disampaikan oleh
biro ini kepada pelaku tindak pidana
atau calon pelaku tindak pidana secara ringkas dan tepat tergambar dalam motto mereka “crime does not
pay” atau secara bebas dapat diartikan “kejahatan tidak menguntungkan.”
Dengan fungsinya itu BOOM memainkan perang yang sangat strategis dalam
membantu Pemerintah Belanda menangani kejahatan yang melibatkan aset dalam
jumlah yang signifikan seperti pencucian uang (money laundering). Walaupun
sangat berhasil, BOOM tidak menangani semua perkara. Yang ditangani biro ini
hanyalah perkara-perkara besar yang bernilai minimum 100.000 Euro (ekuivalen
dengan Rp.1,2 Milyar).
Lingkup Tugas dan Koordinasi Dalam Negeri
Praktis lingkup tugas BOOM adalah area hukum acara pidana dari hulu ke
hilir, mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan (pre judgment) hingga ke
eksekusi dan pelepasan aset (post judgment). Dengan rentang wilayah tugas yang
lengkap, maka BOOM dapat secara efektif dan efisien mengkontrol dan menjalankan
manajemen aset-aset hasil tindak pidana. Selain itu BOOM juga dapat
meminimalisir potensi penghilangan, perpindahan atau perubahan aset yang
dilakukan oleh oknum-oknum petugas yang mempunyai akses ke aset-aset tersebut.
BOOM memainkan peran utama (central point) dalam mengkoordinasikan
tindakan berbagai unit Kejaksaan Belanda (Kejaksaan Negeri dan Kantor Penuntut
Umum pada Pengadilan Banding) dan Biro Penerimaan Yudisial (Central Justitie
Incasso Bureau-JCIB atau Central Judicial Collection Agency dalam Bahasa
Inggris). Pelaksanaan prosedur hukum acara yang berada dibawah koordinasi BOOM
adalah: penyitaan (seizure), perampasan (seizure) dan penyelesaian
(settlement).[35]
Selain dengan instansi-instansi diatas BOOM berkoordinasi dengan otoritas
penanganan aset dalam negeri lainnya seperti Kepolisian, Dinas Intelijen dan
Penyidikan Fiskal, dan Dinas Penyidikan Ekonomi. Lingkup tugas yang luas ini
menunjukkan bahwa BOOM merupakan lembaga yang beroperasi lintas instansi.
Lingkup Tugas dan Koordinasi Luar Negeri
BOOM tidak hanya beroperasi didalam wilayah yang merupakan yurisdiksi
Pemerintah Belanda namun juga beroperasi di luar negeri dengan pola kerjasama
internasional. Untuk aset-aset yang berada di luar negeri, BOOM berwenang untuk
mengajukan permintaan kepada otoritas hukum setempat untuk melakukan
investigasi dan melakukan penyitaan atas aset-aset. Hingga saat ini[36]
BOOM menangani aset-aset hasil sitaan yang berasal dari luar yurisdiksi Belanda senilai 660 Juta Euro
(ekuivalen Rp. 8,2 Triliun). Dalam melaksanakan operasi lintas batas BOOM
menjalin kerjasama dengan berbagai instansi dan jaringan yang luas, seperti jaringan
Asset Recovery Offices (ARO) yang tersebar di Eropa dan Amerika latin, Europol,[37]Interpol,
dan jaringan kedutaan besar. Lingkup wilayah operasi didalam dan diluarnegeri
menunjukkan bahwa BOOM adalah lembaga yang beroperasi lintas wilayah.
Kerjasama dengan otoritas asing terkait penanganan aset meliputi
penyidikan, pengamanan aset dan perampasan aset setelah adanya keputusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (final confiscation). Penyidikan
dilakukan oleh otoritas hukum asing atas permintaan BOOM melalui prosedur
Mutual Legal Assistance (MLA). Pengamaan aset dapat meliputi pembekuan
(freezing) dan penyitaan (seizure) aset oleh otoritas hukum asing atas
permintaan BOOM. Putusan Pengadilan
Belanda yang telah berkekuatan hukum tetap atas aset-aset hasil pidana yang
berada diluar yurisdiksi Belanda dapat dimintakan eksekusinya oleh BOOM kepada
otoritas setempat.
Jika dalam hubungan dalam negeri, BOOM bertindak sebagai koordinator (central point) bagi otoritas penanganan
aset hasil tindak pidana, dalam hubungan luar negeri BOOM bertindak sebagai
penghubung (contact point) antara
otoritas penanganan aset hasil tindak
pidana dari negara peminta dengan otoritas penanganan aset di Belanda (misalnya
Kepolisian). Hal ini dimungkinkan karena Pemerintah Belanda menetapkan BOOM
sebagai Asset Recovery Office (ARO) untuk Belanda.[38]
Personil
Jaksa yang bertugas di BOOM dibantu oleh personil berbagai kalangan. Hal
ini dimungkinkan mengingat kompleksnya operasi
penanganan aset. Dalam menjalankan tugasnya biro ini mendapat bantuan
dari profesi yang lain. Dukungan personil datang dari penasihat-penasihat hukum
yang menguasai bidang perdata atau hukum internasional, tata usaha dari Kantor
Kejaksaan, akuntan, petugas-petugas pelacak asset yang terlatih, dan tenaga administrasi.
Biro ini memiliki cabang dibeberapa daerah[39]
Insentif
Mekanisme insentif telah diterapkan pemerintah. Penerimaan negara yang
didapat dari kontribusi BOOM, sebagian dikembalikan ke BOOM untuk peningkatan
kapasitas dan kapabilitas biro tersebut. Tahun 2010 BOOM berhasil menyita aset
senilai sekitar 55 Juta Euro (ekuivalen Rp. 686, 7 Milyar) Hasil sitaan ini
telah dikembalikan BOOM kepada Kementerian Keuangan melalui Kementerian
Keamanan dan Keuangan. Sebagai insentif atas keberhasilannya pemerintah Belanda
mengucurkan tambahan dana kepada biro ini, yang kemudian digunakan untuk
peningkatan sarana dan prasarana sehingga hasil yang dicapai dapat lebih
optimal.
Dalam konteks kerjasama internasional, otoritas asing juga mendapat
insentif ketika melaksanakan putusan pengadilan Belanda untuk eksekusi
aset-aset hasil tindak pidana. BOOM memiliki otoritas untuk merundingkan dan
menyepakati pembagian aset hasil tindak pidana yang telah dieksekusi dengan
otoritas asing yang melakukan eksekusi.
Model Amerika (USMS) [40]
Amerika Serikat memiliki suatu lembaga yang menangani aset-aset hasil
tindak pidana, yaitu Asset Forfeiture Division. Divisi ini berada dibawah the
United States Marshals Service (USMS), yang merupakan bagian dari Kementerian
Kehakiman (DOJ atau Department of Justice) yang dipimpin oleh Jaksa Agung
Amerika Serikat. Di Department of Justice bagian yang menangani aset hasil
tindak pidana adalah Asset Forfeiture and Money Laundering Section (AFMLS).
Seksi inilah yang berkoordinasi dengan Divisi Asset Forfeiture USMS. Dalam
pelaksanaan dilapangan USMS berkoordinasi dengan Kantor-kantor Kejaksaan
diseluruh Amerika yang berjumlah 94 (Sembilan puluh empat) kantor.
Fungsi dan Lingkup Tugas
USMS merancang rencana pra penyitaan (pre-seizure
planning), melakukan penyitaan (seizure), mengelola aset-aset sitaan (asset
management), dan pelepasan aset (Asset Disposal). Dalam rencana pra penyitaan
USMS mengumpulkan data dan informasi aset yang akan disita, waktu penyitaan dan
mekanisme penyitaannya, dan yang terpenting adalah USMS menentukan apakah aset
tersebut harus disita atau tidak. Dalam tindakan penyitaan, USMS berwenang
untuk memindahkan aset dari pemilik (owner) atau yang menjaganya (custodian);
menutup akses pemilik atau orang yang menjaga aset itu; dan jika aset yang
disita itu berupa bisnis, maka USMS dapat menunjuk seseorang atau badan hukum
untuk menjalankan bisnis tersebut atas nama USMS.
Jaksa Agung AS memberikan wewenang kepada USMS untuk mengelola dan
melepaskan aset dengan cara-cara komersial yang layak. Aset-aset yang dikelola
oleh USMS dapat berbagai bentuk misalnya: uang tunai dan instrumen senilai uang
(seperti traveller cheque, saham, obligasi); barang-barang pribadi (seperti
barang seni, barang antik, perhiasan, mobil); property (seperti rumah, gedung
komersial, tanah kosong, bisnis)
Ada beberapa mekanisme pelepasan aset yang dilakukan USMS. Yang paling
sering adalah melalui lelang terbuka, baik ditingkat lokal (diwilayah aset
tersebut berlokasi) maupun ditingkat nasional. USMS dapat juga menggunakan jasa
perantara (broker) profesional untuk
melepaskan aset dimaksud. Dalam keadaan tertentu kontrol atas aset akan
dilepaskan dan diberikan kepada pihak ketiga. USMS dapat memusnahkan untuk
aset-aset yang tidak bernilai atau berbahaya/tidak diinginkan. USMS juga dapat
menyumbangkan aset ke badan-badan layanan sosial.
Insentif
Ada beberapa insentif yang didapat USMS. Aset-aset tertentu yang akan
dilepaskan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan tugas USMS (tetapi
dengan syarat-syarat yang amat ketat).
Untuk institusi hukum atau institusi lain yang bekerja sama dengan USMS
dalam penanganan aset dapat diikutkan dalam program Equitable Sharing, yaitu
hasil yang didapat dari pelepasan aset akan dikembalikan kepada kepada
institusi yang berpartisipasi. Hasil dari pelepasan aset ini diberikan kembali
sampai dengan 80% setelah dipotong biaya-biaya, namun tidak dapat diberikan
dalam bentuk uang tunai atau sejenisnya kepada para petugas. Pengembalian ini
diberikan dalam bentuk lain yang menunjang pelaksanan tugas lembaga yang
bersangkutan, misalnya untuk keperluan pelatihan, keperluan penyidikan dan pengadaan alat-alat pendukung operasi.
Selain personel USMS dan mitra USMS yang mendapat insentif, korban dari
suatu tindak pidana dimana USMS menyita aset dari tindak pidana itu juga
dimungkinkan untuk mendapat insentif yang dikenal dengan istilah “restitusi.”
Ada beberapa perkara dimana USMS memberikan restitusi, misalnya: Bayou Hedge
Fund, Bernard Madoff, Enron dan Health South. Pada tahun 2010 USMS
mendistribusikan sekitar USD.345 Juta (ekuivalen Rp. 3,3 triliun) sebagai
restitusi kepada para korban tindak pidana.
Personil dan Alat Kerja
Personil USMS Asset Forfeiture Division direkrut melalui prosedur
penerimaan pegawai yang terbuka, sehingga semua orang yang memiliki kualifikasi
seperti yang diperlukan oleh divisi ini menjadi kandidat potensial.
Perekrutannya dilakukan secara transparan dan setelahnya diberikan
pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas personil yang bersangkutan.
Kandidat dari berbagai keahlian direkrut oleh divisi, mulai dari tenaga
administrasi, tenaga manajerial, analis, spesialis operasi, akuntan, auditor
para ahli hukum dan lainnya.
Aset yang ditangani oleh USMS tercatat dalam database dan dapat dilacak
serta diketahui statusnya melalui suatu program komputer bernama Consolidated
Asset Tracking System (CATS). Setiap aset diberi nomor identitas dan deskripsi.
Dalam database tersebut juga ada nomor perkara dan nilai aset, lokasi
penyimpanan aset serta lamanya aset tersebut berada dibawah pengawasan USMS.
Dengan sistem ini pergerakan aset termonitor dari awal hingga akhir (mulai dari
penyitaan hingga pelelangan dan pemanfaatan aset) sehingga kecil kemungkinan
aset diselewengkan karena ada prosedur otorisasi yang ketat sebelum suatu aset
dapat dilepas.
Sistem pelacakan ini adalah sistem berbasis web dan didesain untuk
meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan mengikuti perkembangan perkara dan
informasi terkait perkara tersebut.
Koordinasi
Divisi Asset Forfeiture USMS berkoordinasi dengan lembaga-lembaga yang
berwenang menyita atau merampas aset hasil kejahatan. Dengan adanya divisi ini,
maka beban tugas para penyidik dan penuntut umum dapat diringankan karena
sebagian tanggung jawab lembaga-lembaga tersebut yang cukup menyita waktu dan
tenaga yaitu penanganan barang bukti dapat dialihkan ke divisi. Selain
unit-unit lain dalam lingkungan Department of Justice (termasuk juga
Kejaksaan), ada lembaga lain yang dapat berkoordinasi dan memanfaatkan layanan
divisi. Lembaga-lembaga itu antara lain: The Drug Enforcement Administration
(DEA); the Federal Bureau of Investigation (FBI); The Bureau of Alcohol,
Tobacco, Firearms and Explosives (ATF); the United States Postal Inspection Service, dan the United States
Department of Agriculture.
PEMILIHAN MODEL SEBAGAI
ACUAN
Dengan mengacu kepada fungsi Kejaksaan yang bergerak dalam tiga level,
mulai dari bidang penyidikan, penuntutan hingga eksekusi maka model yang
menjadi acuan pembentukan Pusat Pemulihan Aset adalah suatu unit kerja yang
bergerak dalam ketiga level tadi. Satgassus hanya bergerak dalam satu level
yaitu level eksekusi.
Dengan mengacu kepada kesamaan karakter antara Kejaksaan Belanda tempat
BOOM bernaung dan Kejaksaan Indonesia tempat satgassus bernaung dan dengan
mengacu kepada kesamaan rumpun hukum (civil law) serta mengacu juga kepada
kaitan historis antara lembaga penuntutan Belanda dan lembaga penuntutan
Indonesia maka pilihan yang paling logis adalah membentuk Pusat dengan
mekanisme kerja yang mengacu pada model Belanda (BOOM). Selain itu BOOM juga
merupakan acuan bagi Asset Recovery Offices yang ada di negara-negara Eropa.
Dengan mengacu kepada kesamaan dalam luasnya jaringan kerja unit-unit
penanganan aset maka pilihan yang paling logis adalah sistem teknologi dan
informasi dalam manajemen aset-aset yang berada dalam penguasaan Pusat dibangun
berdasarkan model Amerika (USMS) mengingat letak geografis kantor-kantor
pengelola aset di Amerika yang banyak dan berjauhan serta mencakup daerah yang
luas mirip dengan karakter kantor-kantor kejaksaan yang tersebar di Indonesia.
Salah satu tugas pokok dan fungsi Pusat adalah melakukan koordinasi dan kontrol
atas kegiatan unit-unit yang secara geografis tersebar itu, cara yang paling
efektif dan efisien adalah melalui jaringan teknologi dan informasi dan hal itu
dimiliki oleh Amerika yang telah berpengalaman lebih dari 40 tahun
mengembangkan dan menyempurnakan sistemnya.
Dari segi pendanaan/anggaran untuk kegiatan operasional dan manajemen,
Pusat tidak bisa menerapkan sistem Amerika karena sistem keuangan Indonesia
adalah single state account yang
tidak membedakan penerimaan negara dari kegiatan legal dan penerimaan negara
sebagai hasil penindakan hukum atas kegiatan ilegal. Amerika menganut double state account dimana penerimaan
negara dari hasil penindakan atas kegiatan illegal dimasukkan kedalam pos
keuangan penegakan hukum dan dipisahkan dari pos penerimaan dari
kegiatan-kegiatan legal.
Sebenarnya sistem Amerika lebih ideal bagi Pusat karena kegiatan
pemulihan aset (termasuk juga didalamnya asset tracing, asset recovery dan
asset repatriation) bukanlah kegiatan yang regular atau kegiatan yang selalu
dapat diprediksikan kapan akan terjadi. Dalam sistem Amerika selalu ada dana
siaga yang dapat digunakan sewaktu-waktu tanpa prosedur yang berbelit untuk
kepentingan penegakan hukum. Sementara dalam sistem one state account seperti Indonesia dan Belanda maka prosedur
pengeluaran dana untuk kegiatan operasional melalui mekanisme yang sama dengan
pengeluaran dana untuk kegiatan-kegiatan regular yang terstruktur dan
terencana, tidak dikenal unsur dadakan.
Karena kegiatan pusat kadang kala bersifat dadakan, tidak terstruktur dan
tidak terencana tergantung dinamika lapangan maka model konvensional yang
dijalankan selama ini tentu menyulitkan karena unsur waktu menjadi hal yang
krusial padahal unsur waktu (yang cepat) tidak terakomodasi dalam sistem
konvensional. Solusinya adalah mengadopsi sistem Australia dimana dapat
dibentuk pos anggaran khusus untuk pembiayaan kegiatan mendadak yang dapat
diakses tanpa melalui prosedur yang panjang dan berbelit. Pos anggaran ini
menjawab kebutuhan praktis akan terkait dengan kecepatan pencairan dana
operasional namun tidak melanggar prinsip one state account karena tidak menciptakan
account yang baru.
BAB V
PUSAT PEMULIHAN ASET DALAM STRUKTUR KEJAKSAAN
Setelah mendapat gambaran tentang model Pusat terkait dengan fungsinya,
mekanisme kerjanya serta anggaran / pendanaannya selanjutnya adalah pembentukan
cetak biru pusat dengan mengacu kepada pedoman dan batasan-batasan yang
digariskan oleh berbagai undang-undang dan peraturan. Untuk lebih memahami
bagaimana suatu Pusat terstruktur terlebih dahulu perlu memahami struktur
Kejaksaan secara umum.
Struktur Umum
Secara struktural organisasi Kejaksaan Agung Republik Indonesia terdiri
dari empat unsur. Pertama adalah Unsur pimpinan yang terdiri dari Jaksa Agung
selaku pimpinan dan penganggung jawab tertinggi Kejaksaan dan Wakil Jaksa Agung
yang membantu Jaksa Agung melaksanakan tugas dan kewenangannya.[41]
Kedua adalah Unsur pembantu pimpinan terdiri dari enam Jaksa Agung Muda
yang terdiri dari Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAM Bim); Jaksa Agung Muda
Intelijen (JAM Intel); Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum); Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus); Jaksa Agung Muda Bidan Perdata
dan Tata Usaha Negara (JAM Datun); dan Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was).[42]
Ketiga adalah unsur penunjang. Unsur penunjang terdiri dari dua struktur
yaitu Badan Diklat (Badiklat) dan Pusat (Pus). Badan Diklat adalah unsur
penunjang setingkat jaksa agung muda namun tidak dimasukkan kedalam unsur
pembantu pimpinan. Badan Diklat diposisikan oleh peraturan presiden sebagai
unsur penunjang tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pendidikan dan pelatihan
serta berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[43]
Pusat juga merupakan unsur penunjang tugas dan fungsi Kejaksaan serta berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[44]
Walaupun sama-sama berfungsi sebagai unsur penunjang namun Pusat tidak
setingkat dengan Jaksa Agung Muda atau
Badan Diklat. Hal itu dapat dilihat dari pejabat yang memimpin satuan-satuan
kerja tersebut. Jaksa Agung Muda dan Kepala Badan Diklat adalah pejabat setingkat
Eselon IA[45]
dan Kepala Pusat adalah pejabat setingkat Eselon IIA.[46]
Keempat adalah unsur Staf Ahli yang berada dan bertanggung jawab kepada
Jaksa Agung serta dikoordinir oleh Wakil Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat
memiliki staf ahli hingga 6 (enam) ahli. Para ahli bertugas memberikan telaahan
kepada Jaksa Agung mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahlian mereka
masing-masing.[47]
Struktur Khusus
Berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 pasal 38 ayat (3)
juncto pasal 39 ayat (2) suatu Pusat terdiri dari 1 (satu) Bagian dan
sebanyak-banyaknya 4 (empat) bidang. Bagian dan bidang berada dalam hirarki
yang sama dan dipimpin oleh pejabat setingkat Eselon IIIA.[48]
Kepala Pusat adalah pejabat setingkat eselon IIA. Peraturan Presiden juga
membolehkan adanya sub bagian dan sub bidang, masing-masing bagian dan bidang
dapat memiliki hingga 4 (empat) sub bagian atau sub bidang. Berdasarkan fungsi
dan peranannya maka Pusat Pemulihan Aset dapat memiliki struktur sebagaimana
diatur dalam Peraturan Presiden namun mengingat bahwa Pusat ini adalah pada
hakekatnya adalah unit yang kaya fungsi dan ramping struktur maka Pusat tidak
akan menggunakan semua pos yang tersedia untuk mengurangi rantai birokrasi.
Selain pos-pos diatas, dimungkinkan juga adanya pos tenaga ahli pada
Pusat berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 pasal 58 yang
tujuannya adalah untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, yang
dalam konteks ini adalah tenaga-tenaga ahli yang keahliannya relevan dengan
upaya asset recovery dan asset management dan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi Pusat. Peraturan presiden memberikan keleluasan kepada Kejaksaan, dalam
hal ini adalah Pusat, untuk merekrut tenaga-tenaga ahli apakah mereka berasal
dari pegawai negeri atau juga dari kalangan non pegawai negeri. Dalam konteks
pemulihan aset, ada beberapa tenaga ahli yang dapat membantu pelaksanaan kerja
Pusat, diantaranya adalah ahli terkait asset recovery dan transnational crime,
ahli pelacakan aset, ahli audit forensik, ahli penilai (appraiser), ahli informasi dan teknologi, ahli komunikasi dan
lain-lain.
Pusat dibentuk dengan Penetapan Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan
dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Per
Februari 2013 terdapat tiga Pusat dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung,
yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Penerangan hukum dan Pusat Data
Statistik Kriminial dan Teknologi Informasi.[49]
Secara organisatoris, masih di mungkinkan pengembangan struktur yang dapat
mengakomodasi hingga 6 Pusat.[50]
Dengan demikian dengan persetujuan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Jaksa Agung dapat menetapkan
meningkatkan status Satuan Tugas Barang Rampasan menjadi Pusat dan akan menjadi Pusat ke empat dalam struktur
organisasi Kejaksaan Agung.
Lingkup Operasi
Secara garis besar Pusat bergerak di tiga ranah yaitu ranah nasional dan
ranah regional dan internasional. Dalam ranah nasional, Pusat bergerak dalam
lingkup internal (antar unit dalam struktur kejaksaan) dan lingkup eksternal
(antar lembaga dan antar instansi dalam struktur penegakan hukum nasional).
Dalam ranah regional dan internasional Pusat bergerak baik dalam konteks
sebagai Asset Recovery Office maupun sebagai Kejaksaan Republik Indonesia dalam
hal operasi lintas yurisdiksi untuk melakukan tindakan pro yustisia, non pro
yustisia (intelijen, capacity building) maupun kerjasama internasional
(memberikan bantuan bagi lembaga-lembaga yustisi negara sahabat untuk
penanganan aset dalam yurisdiksi Indonesia).
Peran dan Fungsi
Kepala Pusat (Kapus) adalah pembuat kebijakan (policy maker); pembuat keputusan (decision maker) dan pengendali (controller)
atas seluruh kegiatan Pusat Pemulihan Aset baik yang bersifat operasional
maupun administratif. Wilayah yang menjadi wewenangnya adalah semua wilayah
dalam negeri baik internal kejaksaan maupun eksternal kejaksaan (antar
instansi/lembaga). Karena Pusat menjalankan fungsi Asset Recovery Office dan Asset
Management Office maka maka Kepala
Pusat secara ex officio adalah
juga contact person untuk Asset Recovery
Office and Asset Management Office negara-negara lain ataupun jaringan Asset
Recovery Office dan Asset Management Office seperti CARIN (Camden Asset Recovery Interagency Network). Dalam menjalankan tugas
sehari-harinya Kepala Pusat didukung oleh tiga pilar utama yaitu Kepala Bagian,
Kepala Bidang, dan Tenaga Ahli.
Hubungan antara Kepala Pusat dengan Kepala Bagian dan Kepala Bidang
adalah hubungan hirarkis (jalur komando), sedangkan hubungan antara Kepala
Pusat dengan Tenaga ahli adalah hubungan koordinatif dan konsultatif. Hubungan antara Kepala Pusat
dengan pimpinan-pimpinan satuan kerja yang lain adalah hubungan koordinatif
sedangkan hubungan antara Kepala Pusat dengan unsur pimpinan, terutama Jaksa
Agung adalah hubungan pertanggung jawaban langsung.
Kepala Bagian dalam Pusat adalah
Kepala Bagian Tata Usaha yang tugas pokok dan fungsi utamanya adalah
melaksanakan kegiatan administrasi personel, dokumen, keuangan, dan logistik.
Hubungan Kepala Bagian Tata Usaha dengan Kepala Bidang adalah hubungan
koordinatif dan hubungan antara Kepala Bagian Tata Usaha dengan tenaga ahli
adalah hubungan konsultatif.
Fungsi operasional dan manajemen dijalankan oleh Kepala Bidang Operasi
dan Manajemen tugas pokoknya adalah menjalankan operasi pendukung tindakan pro
justitia, keperdataan dan tindakan hukum
lainnya terkait dengan pelacakan, penguasaan dan pengembalian aset serta
menjalankan manajemen aset mulai dari hulu (masuknya aset kedalam sistem)
hingga hilir (keluarnya aset dari sistem). Hubungan Kepala Bidang dengan Kepala
Bagian adalah hubungan koordinatif sedangkan hubungan Kepala Bidang dengan
Tenaga ahli adalah hubungan konsultatif.
Kepala Bidang dibantu oleh dua Kepala Sub Bidang (Kasubbid) yaitu
Kasubbid Operasi dan Kasubbid Manajemen. Kasubbid Operasi melaksanakan operasi
dalam yurisdiksi Indonesia dan menjalankan kerjasama lintas negara terkait
dengan tindakan pro justitia, keperdataan dan tindakan hukum lainnya. Kasubbid
Manajemen melakukan manajemen penerimaan, pengelolaan, pengamanan hingga
penyelesaian aset baik untuk aset-aset baik untuk kepentingan penegakan hukum
dalam negeri maupun dalam rangka kerjasama internasional. Hubungan Kasubbid
operasi dan kasubbid manajemen dengan dengan Kepala Bidang Operasi dan
Manajemen adalah Hubungan hirarkis (jalur komando)
Pos tenaga ahli diisi oleh tenaga-tenaga yang memiliki keahlian khusus
dan relevan dengan pelaksanaan tugas operasional, manajemen dan administrasi
Pusat. Jumlah tenaga ahli disesuaikan dengan kebutuhan Pusat sehingga dapat
berkurang atau bertambah. Dari antara tenaga ahli ditunjuk seorang koordinator
oleh Kepala Pusat dengan mendengar masukan-masukan dari antara tenaga ahli,
kepala bagian dan kepala bidang. Posisi koordinator dalam struktur adalah
disetarakan dengan Kepala Bagian dan Kepala Bidang namun tidak dalam hubungan
hirarkis (jalur komando) dengan Kepala Pusat ataupun dengan pejabat-pejabat
lain dalam struktur Kejaksaan. Hubungan koordinator ahli dengan pejabat
struktural Pusat adalah hubungan konsultatif, kecuali dengan Kepala Pusat
hubungannya selain konsultatif adalah juga hubungan koordinatif terkait
pengambilan kebijakan.
Secara fungsional suatu pusat adalah unsur penunjang tugas dan fungsi
kejaksaan.[51]
Hal ini berarti dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kejaksaan ada dua
unsur yang berperan yaitu unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama dalam hal ini adalah satuan-satuan kerja yang
relevan, misalnya: tindak pidana umum, tindak pidana khusus dan perdata dan
tata usaha negara. Unsur penunjang dalam hal ini adalah Pusat Pemulihan Aset.
Sebagai penunjang tindakan pro
justitia satuan-satuan kerja kejaksaan, Pusat memiliki tujuh peran
yaitu:
-
peranan
pertama sebagai penunjang kegiatan teknis operasional seperti penyitaan,
perampasan, pelacakan dan pengembalian aset;
-
peranan
kedua sebagai penunjang administratif berupa pembuatan database aset;
-
peran
ketiga membantu pimpinan melalui mekanisme kontrol atas aset sehingga
memudahkan pimpinan mendapatkan informasi/data terbaru serta untuk membuat
kebijakan taktis dan strategis;
-
peran
keempat sebagai pengelola (manager) aset-aset yang dikuasai oleh satuan-satuan
kerja untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut nilainya tidak berkurang,
hilang, atau rusak;
-
Peran
kelima sebagai penunjang satuan kerja terkait dalam proses penyelesaian atau
pelepasan aset yang sudah berkekuatan hukum tetap melalui jalur-jalur yang
tepat untuk sehingga mendatangkan manfaat bagi negara, masyarakat dan institusi
kejaksaan sendiri.
-
Peran
keenam adalah berkoordinasi dengan satuan kerja lain seperti satuan intelijen
dan jaksa penyelidik untuk melakukan identifikasi atas aset-aset subyek hukum
yang menarik perhatian karena diindikasikan melakukan tindakan melawan atau
melanggar hukum.
-
Peran
ketujuh adalah melakukan penilaian (appraisal) atas aset-aset untuk mendapatkan
nilai indikatif untuk memberikan patokan harga dalam proses pelepasan aset.
LANGKAH KEDEPAN
Ke depannya Pusat mengantisipasi akan melakukan kegiatan bukan saja
penindakan tetapi juga pencegahan. Untuk penindakan bukan hanya untuk pemulihan
aset berdasarkan prinsip in persona (conviction
based) namun juga berdasarkan prinsip in rem (non conviction based). Lingkup pemulihan aset tidak terbatas pada
pemulihan secara pidana namun juga secara perdata mengingat Kejaksaan memiliki
kewenangan keperdataan dan sangat terbuka ruang untuk mengoptimalkan pemulihan
aset melalui jalur-jalur perdata. Sehingga Pusat akan memiliki opsi yang lebih
luas dalam penanganan aset apakah lewat jalur pidana atau perdata.
Pusat mengantisipasi munculnya legislasi baru terkait dengan perampasan
dan pemulihan aset yang menggunakan prinsip in rem. Landasan pemikirannya
adalah: negara adalah korban dan karena itu memiliki hak untuk mengambil
kembali harta yang diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana.
Kesulitannya adalah jika memakai sistem in personam seperti yang diterapkan
oleh KUHAP maka aset-aset yang dapat disita hanyalah aset-aset yang terkait
atau dapat dikaitkan dengan pelaku. Unsur pelaku dan aset harus ada dan
keduanya harus saling terkait. Pusat mengantisipasi legislasi perampasan dan
pemulihan aset akan menerapkan sistem in rem. Dalam sistem ini tidak diperlukan
adanya pelaku. Filosofinya adalah: “yang jahat itu adalah barang nya bukan
orangnya.” Jangkauan sistem ini lebih luas daripada jangkauan sistem in
personam karena aparat dapat merampas aset-aset yang tidak jelas kepemilikannya
atau kepemilikannya disamarkan atau barang-barang temuan. Sistem in rem
diaplikasikan dalam perampasan aset tanpa adanya pidana (non conviction based) sedangkan sistem in personam diaplikasikan
dalam perampasan aset dalam peristiwa pidana yang diketahui pelakunya (conviction based).
Pusat dapat bergerak dalam dua tataran yaitu tataran penanganan aset
terkait tindak pidana (menggunakan undang-undang yang telah ada) dan tataran
penanganan aset yang tidak atau belum terkait tindak pidana (menggunakan undang-undang
perampasan dan pemulihan aset). Tataran ini diperluas lagi dengan tataran
perdata yang memungkinkan para jaksa melakukan gugatan-gugatan perdata atau
meminta penetapan hakim terkait status
aset.
Jaringan internasional yang telah dirintis oleh satgassus seperti
tergabungnya satgassus dalam CARIN yang saat ini merupakan satu-satunya wakil
Asia akan lebih diperluas. Kerjasama sama akan dilakukan disegala lini, bukan
saja secara formal dengan bekerja sama dengan perangkat hukum dan
lembaga-lembaga/institusi negara atau pemerintah negara-negara sahabat tetapi
juga secara informal melalui jaringan-jaringan.
PENUTUP
KESIMPULAN
Orientasi penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berorientasi pada
harta/aset yang lebih menekankan pada menangkap dan menghukum pelaku terbukti
masih belum efektif untuk menekan angka tindak pidana. Salah satu parameter
yang jelas adalah indeks persepsi korupsi Indonesia yang tidak kunjung membaik
walaupun pemberantasan korupsi gencar dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti
Kejaksaan. Para pelaku tindak pidana masih bebas bergerak karena mereka masih
dapat membiayai operasi mereka dan menikmati hasil dari tindak pidana mereka.
Kejaksaan memiliki legitimasi yang sangat luas dalam penanganan aset
dalam rangka tindakan pro justitia mulai dari penyidikan hingga eksekusi,
demikian juga penanganan aset dalam rangka pelaksanaan wewenang Kejaksaan
dibidang perdata. Namun mekanisme penanganan aset saat ini masih belum terintegrasi
dan belum ada suatu unit yang didedikasikan untuk keperluan tersebut. Hal ini
menimbulkan efek berlebihnya beban jaksa, tidak terkontrolnya pergerakan aset
sehingga menimbulkan ekses-ekses seperti aset yang hilang, berkurang, berubah
bentuk sehingga mempengaruhi nilai keekonomiannya, serta rawan untuk
digelapkan.
Mekanisme penanganan aset selama ini yang hanya aktif di hilir (eksekusi)
namun kurang diberdayakan di hulu (penyidikan dan penuntutan) menimbulkan
banyak masalah terutama dengan pertanggung
jawaban Kejaksaan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Pendirian Pusat Pemulihan Aset membawa paradigma baru yaitu dilakukan dua
pendekatan secara simultan yaitu pendekatan pelaku yang dilakukan oleh satuan
kerja teknis dan pendekatan aset yang dilakukan oleh Pusat Pemulihan Aset
dengan tujuan memotong atau paling tidak secara signifikan menghambat akses
para pelaku kejahatan ke aset-aset mereka. Bagi pelaku aset-aset tersebut
ibaratnya darah atau oksigen. Jika hal yang vital itu dihambat maka pelaku akan
kehabisan upaya atau kekurangan pilihan untuk mempertahankan dirinya, melarikan
diri dari hukum atau mengulangi kejahatannya.
Upaya menjauhkan aset dari pelakunya adalah bagian dari pesan penegak
hukum kepada para pelaku kejahatan bahwa kejahatan itu tidak menguntungkan
(crime does not pay). Jika pesan ini diterima oleh pelaku atau calon pelaku,
mereka kemudian melakukan pilihan rasional yaitu tidak melakukan kejahatan
karena risiko dan biayanya lebih besar daripada keuntungan yang didapat. Penindakan
berupa perampasan aset dan pemulihan aset yang memiskinkan pelaku tindak pidana
disatu sisi dan mendatangkan keuntungan bagi negara melalui Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) adalah sasaran antara bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya
adalah jika angka kejahatan yang berorientasi harta dapat ditekan secara
signifikan karena pilihan para pelaku atau calon pelaku dikurangi dengan cara
menghilangkan alasan utama mereka (harta) dan masyarakat turun berperan serta
menghilangkan alasan utama tersebut dengan cara berbagi informasi dengan Pusat
Pemulihan Aset. Pada akhirnya Pusat Pemulihan Aset akan beralih peran dari
ujung tombak menjadi instrument, sedangkan masyarakat akan berperan lebih aktif
menjadi ujung tombak dan memanfaatkan instrument untuk menghambat tindak pidana
berorientasi harta.
Pusat Pemulihan Aset melakukan penanganan aset secara terintegrasi dengan
cara bergerak di tiga tataran yaitu penyidikan, penuntutan dan eksekusi. Hal
ini merupakan perubahan yang sangat signifikan dalam mekanisme penanganan aset
dan juga memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah-masalah kronis yang
dihadapi Kejaksaan. Dengan hadirnya Pusat Pemulihan Aset pada tiga tataran maka
tugas satuan kerja teknis dan tenaga administrasi menjadi sangat diringankan
karena pada perkara-perkara dimana terdapat aset-aset yang harus ditangani para
jaksa dan tenaga administrasi dapat berkonsentrasi pada menyusun struktur
perkara serta menjalankan administrasi perkara, sementara pekerjaan penanganan
aset akan dilaksanakan oleh Pusat Pemulihan Aset. Hal ini mengurangi beban
kerja jaksa dan tenaga administrasi karena aset sudah ditangani oleh satuan
yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Pusat penanganan aset yang bergerak ditiga ranah juga akan menutup atau
mengurangi kemungkinan terjadinya masalah pada aset-aset seperti berkurang,
hilang, rusak atau kehilangan nilai ekonomisnya karena hanya ada satu unit yang
menangani aset walaupun secara administrasi perkara berpindah dari satu tahap
ke tahap lain.
Pusat Pemulihan Aset yang bergerak di tiga ranah akan secara signifikan
mengurangi masalah terkait dengan ketidak sesuaian antara temuan Badan
Pemeriksa Keuangan dan aset-aset yang ada di tahap eksekusi dan juga
meminimalisir risiko aset-aset yang tidak dapat di eksekusi.
Pusat Pemulihan Aset tidak tumpang tindih atau mengambil alih tugas
satuan kerja teknis karena tugas pokok dan fungsinya berada pada level yang
berbeda dengan satuan kerja teknis. Pusat Pemulihan Aset berada pada level
terbawah atau pada level pelaksana lapangan (field operator) yang memperlancar
kerja satuan-satuan kerja teknis yang berada di level diatasnya.
Dalam konteks penerimaan negara, Pusat Pemulihan Aset jika sudah
berfungsi secara optimal akan mendatangkan keuntungan pada negara melalui
penerimaan negara bukan pajak dari hasil-hasil pelepasan aset (asset disposal).
Karena Pusat Pemulihan Aset dirancang dalam struktur yang ramping namun kaya
fungsi maka anggaran negara tidak terbebani karena rantai birokrasi yang
ringkas namun efektif dan efisien.
SARAN
Berdasarkan kajian diatas maka disarankan agar dibentuk Pusat Pemulihan
Aset pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang memiliki fungsi penunjang
satuan kerja teknis/operasional di Kejaksaan dan bergerak diranah pidana dan
perdata baik didalam negeri (melalui kegiatan lintas satuan kerja Kejaksaan dan
lintas instansi nasional) maupun diluar negeri (lintas yurisdiksi).
End/
[1]
Penulis Ferdinand T. Andi Lolo S.H,
LL.M, Ph.D, sebagian data terkait tindak pidana berorientasi harta diolah
dari data Tim Peneliti Asset Recovery Pusat Kajian Kriminologi, Universitas
Indonesia yang terdiri dari Iqrak Sulhin, Truly Hitosoro, Bayu.
[2]
Keterangan Direktur Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
Maulana dalam diskusi bertajuk “Sepuluh Kementerian/Lembaga Berpotensi terkorup
dan merugikan negara,” yang diadakan oleh FITRA pada 15 Juli 2012 sebagaimana
dikutip oleh Harian Kompas 16 Juli 2012.
[3]
KUHAP pasal 1 angka 6 juncto pasal 270 juncto pasal 278; UU No.16 tahun 2004
pasal 1 angka 1 dan angka 2 juncto pasal 30 ayat (1) huruf b.
[4]
PP 6/2006 pasal 2 ayat 2 huruf c dan d.
[5]
Permenkeu No.96/PMK.06/2007 pasal 3 ayat 3 huruf b.
[6]
PERJA No.PER-009/A/JA/01/2011 pasal 81 huruf f dan g.
[7]
Vide pasal 3 huruf c PERJA 009/2011.
[8]
Vide pasal 3 huruf b PERJA 009/2011.
[9]
Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan RI pasal 12 ayat (2).
[10]
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor
38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI pasal 81 huruf f
dan g.
[11]
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia pasal 506 juncto Pasal 407 ayat (3).
[12]
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia pasal 597.
[13]
Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi berdiri pada tahun 2010
namun baru mulai efektif pada 2011.
[14]
Tempo.co.id, 16 Juli 2012.
[15]
Harian Kompas 16 Juli 2012.
[16]
Vide surat Ketua BPK Nomor 85/S/I/09/2010 yang ditujukan kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI); Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI); Presiden
Republik Indonesia; Ketua DPRD Provinsi / Kabupaten /Kota di seluruh Indonesia;
Gubernur / Bupati / Walikota di seluruh
Indonesia.
[17]
IHPS I 2010 halaman 18; 133.
[18]
IHPS I 2010 halaman 43.
[19]
IHPS I 2010 halaman 131.
[20]
IHPS I 2010 halaman 131.
[21]
Harian Kompas, 16 Juli 2012.
[22]
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-X-361/C/11/2010 tanggal 25 November 2010
tentang Pembentukan Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang
Sita Eksekusi yang merupakan revisi dari Keputusan Jaksa Agung RI Nomor
KEP-X-308/C/10/2010 tanggal 27 Oktober 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas
Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi.
[23]
Dasar pertimbangan Jaksa Agung Muda Pembinaan dalam memerintahkan Satgas untuk
menyelesaikan proses perampasan barang perkara tindak pidana korupsi, contoh
Surat Perintah No. Prin-021/C/Cu.3/02/2011 tanggal 18 Februari 2011; Surat
Perintah No. Prin-170/C/Cu.3/2011 tanggal 23 September 2011.
[24]
Untuk saat ini belum ada kegiatan asset
recovery diluar negeri.
[25]
Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor Prin-021/C/Cu.3/02/2011.
[26]
Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor Prin-170/C/Cu.3/09/2011.
[27]
Update pertanggal 20 Oktober 2011,
data Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi
[28]
Perpres 38/2010 pasal 33.
[29]
Tidak selalu harus dalam bentuk insentif finansial. Bisa berbentuk lain seperti
pengembangan karir misalnya: penempatan pada jabatan struktural dan daerah
tertentu, kesempatan pendidikan lanjutan dan lain-lain.
[30]
Wawancara dengan Ketua Pelaksana Satgas Chuck Suryosumpeno (07 Oktober 2011)
dan Sekretaris Satgas Murtiningsih (21 Oktober 2011) di Kantor Satgassus,
Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan.
[31]
Wawancara dengan Ketua Pelaksana Satgas Chuck Suryosumpeno (07 Oktober 2011)
dan Sekretaris Satgas Murtiningsih (21 Oktober 2011) di Kantor Satgassus,
Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan.
[32]
Diolah dari wawancara dengan Daly Rustamblin penanggung jawab unit khusus
pelacakan aset pada Direktorat Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
pada 21 November 2011.
[33]
Satgassus baru mulai menangani aset-aset hasil korupsi pada level akhir
(setelah terbitnya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap) sementara unit
KPK sudah mulai aktif terlibat pada level yang lebih awal (tahap penyidikan).
[35]
Penyelesaian aset sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
tidak dikenal dalam sistem hukum acara pidana Indonesia. Di Kejaksaan,
mekanisme seperti ini masuk kedalam domain Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara
(DATUN) bukan domain Bagian Tindak Pidana Umum (PIDUM) atau Tindak Pidana
Khusus (PIDSUS).
[36]
Tahun 2012 menurut situs resmi BOOM yang diakses pada 28 Agustus 2012.
[37]
European Union Police Office, merupakan Dinas Intelijen Eropa yang menangani
tindak pidana. Europol mulai beroperasi 1 Juli 1999.
[38]
Berdasarkan Keputusan Dewan Uni Eropa (EU
Council Decision) Nomor 2007/845/JBZ ditetapkan bahwa negara-negara anggota
Uni Eropa harus menetapkan lembaga penghubung khusus (special contact point)
bagi penanganan aset hasil tindak pidana. Lembaga khusus ini bertugas untuk
mengadakan tukar menukar informasi dan berbagi pengetahuan tentang cara-cara
praktis terbaik penanganan aset hasil tindak pidana.
[39]
Leeuwarden, Zwolle, Amsterdam, Rotterdam dan Den Bosch.
[40]
Bagian dari tulisan ini diambil dari presentasi oleh (Ms). Kimberly Beal – USMS
yang disampaikan pada Third Annual Asset
Forfeiture Conference, Four Seasons Hotel, Jakarta 21-25 Mei 2012.
[41]
Perpres 38/2010 pasal 6 juncto pasal 8 ayat (2) juncto pasal 9 juncto pasal 10.
[42]
Perpres 38/2010 pasal 8 ayat (3).
[43]
Perpres 38/2010 pasal 29 ayat (1).
[44]
Perpres 39/2010 pasal 33 ayat (1).
[45]
Per JA No.PER-009/A/JA/01/2011 Pasal 483 ayat (1).
[46]
Per JA No.PER-009/A/JA/01/2011 Pasal 483 ayat (3).
[47]
Perpres 38/2010 pasal 32.
[48]
Per JA No.PER-009/A/JA/01/2011 Pasal 483 ayat (5).
[49]
Vide bagan struktur Organisasi Kejaksaan Agung pada Perpres 38/2010 juncto
Pasal 7 angka 11 Per-009/A/JA/01/2011.
[50]
Vide Perpres 38/2010 pasal 39.
[51]
Vide Perpres 38/2010 pasal 33 ayat 1.
Subscribe to:
Posts (Atom)